Benarkah Petrus Pernah Jadi Paus Di Roma? - Yesus Allah Sejati

Yesus Allah Sejati

Yesus Allah Pencipta Langit Bumi

Artikel Terbaru

Home Top Ad

Post Top Ad

Jumat, 22 Desember 2017

Benarkah Petrus Pernah Jadi Paus Di Roma?

Benarkah Petrus Pernah Jadi Paus Di Roma?

1.Pernyatan-Pernyatan dari saudara kita Kristen Katolik:

Sebagai pemimpin, sebagai wasit

Hari Minggu  7 Feb 2010 yang lalu adalah hari yang penting bagi para penggemar football di Amerika. Beribu-ribu orang, kalau tidak berjuta-juta orang, menonton pertandingan Super bowl ini melalui televisi. Di tengah hiruk pikuknya pertandingan ini, sebenarnya kita sebagai umat beriman dapat belajar sesuatu. Yaitu, bahwa meskipun ada peraturan yang jelas dalam permainan football ini, tetapi toh ternyata dalam pelaksanaannya dibutuhkan wasit yang mengawasi jalannya pertandingan, agar peraturan permainan dapat dilaksanakan dengan baik.

Demikianlah analogi sederhana ini pernah digunakan oleh Cardinal Henry Newmann untuk menggambarkan tugas Magisterium (Wewenang Mengajar) dalam kehidupan Gereja. Walau sudah ada aturannya yang tertulis dalam Kitab Suci, namun tetap diperlukan otoritas untuk menerapkannya, dan tugas ini dilakukan oleh Magisterium dengan melibatkan Tradisi Suci, yang berawal dari kuasa yang diberikan oleh Yesus kepada Rasul Petrus, yang atasnya Kristus mendirikan Gereja-Nya (Mat 16:18).

Di luar perkiraan banyak orang, sesungguhnya doktrin tentang keutamaan Paus ini, mempunyai dasar yang cukup jelas dan paling mudah dibuktikan. Demikianlah yang akan kami jabarkan dalam artikel seri mengenai keutamaan Petrus (the Primacy of Peter), yang dituliskan dengan mengambil sumber utama dari buku karangan Stephen K. Ray, Upon this Rock, San Francisco: Ignatius, 1999. Ray, yang adalah seorang convert dari evangelis Protestan, menyadari bahwa masalah utama yang memisahkan umat Katolik dan Protestan adalah hal otoritas. Protestan percaya hanya kepada otoritas Kitab Suci, sedangkan, Gereja Katolik pada kesatuan antara Kitab Suci, Tradisi suci dan Magisterium. Artikel seri berikut ini dituliskan untuk menunjukkan dasar pengajaran Gereja Katolik tentang keutamaan Rasul Petrus, yang bersumber dari Kitab Suci, pengajaran para Bapa Gereja dan fakta sejarah:
1. Keutamaan Petrus (the Primacy of Peter) menurut Kitab Suci ( bagian 1)
2. Bukti sejarah tentang keberadaan Rasul Petrus di Roma (bagian 2)
3. Tanggapan terhadap mereka yang menentang keberadaan Petrus di Roma (bagian 3)
4. Keutamaan Petrus (the Primacy of Peter) menurut Dokumen awal Gereja (bagian 4)
5. Keutamaan Petrus (the Primacy of Peter) menurut selama 500 tahun Gereja awal (bagian 5)
6. Keutamaan Petrus (the Primacy of Peter) menurut ajaran Gereja Katolik, dalam Konsili Vatikan I dan Konsili Vatikan II. (bagian 6- selesai)
Mari kita sekarang memulai bagian pertama yaitu Keutamaan Petrus (the Primacy of Peter) menurut Kitab Suci.

Keutamaan Petrus dalam kitab Perjanjian Baru

1. Yesus memilih kedua belas rasul, yang dimulai dengan Simon Petrus. Banyak ayat dalam Kitab Suci yang selalu menyebutkan Petrus sebagai yang pertama dari semua rasul yang lain, dan Yudas di urutan terakhir (lih. Mat 10:1-4; Mrk 3:16-19; Luk 6:14-16; Kis 1:13). Kadang-kadang para rasul disebut sebagai Petrus dan teman-temannya (Luk 9:32). Petrus sering berbicara atas nama semua rasul (Mat 18:21; Mrk 8:29; Luk 12:41; Yoh 6:69). Nama Petrus ditulis di dalam Alkitab sebanyak 191 kali (162 kali sebagai Petrus atau Simon Petrus, 23 kali sebagai Simon, and 6 kali sebagai Kephas). Sebagai perbandingan, Yohanes hanya disebut sebanyak 48 kali. Archbishop Fulton Sheen pernah menghitung bahwa semua nama rasul digabungkan hanya disebut 130 kali. Semua hal ini menunjukkan keutamaan Rasul Petrus jika dibandingkan dengan rasul-rasul yang lain. ((Stephen K. Ray, Upon this Rock, (San Francisco: Ignatius, 1999), p. 23))

2. Rasul Petrus memegang peran sebagai yang “pertama” di banyak kesempatan. Di awal pemberitaan-Nya, Yesus memilih untuk mengajar orang banyak dari perahu Simon (Luk 5:3). Rasul Petruslah yang berinisiatif untuk berjalan di atas air (Mat 14: 28-31). Rasul Petruslah yang dipilih oleh Tuhan Yesus untuk mengambil koin dari mulut ikan untuk membayar pajak bagiNya dan bagi Petrus sendiri (Mat 17: 24-27). Petruslah yang menerima wahyu dari Allah Bapa sehingga dapat mengenali identitas Yesus sebagai Putera Allah (Mat 16:16).
Yesus mengubah nama Petrus, yang semula bernama Simon, menjadi Kepha/ Petrus yang artinya, “Batu Karang” untuk menunjukkan penugasan yang baru yang diberikan oleh Kristus kepadanya (Mat 16:13- 20)
Walaupun demikian, Petrus juga ditegur oleh Yesus atas pengertiannya yang keliru tentang Mesias (Mat 16:23). Maka kita mengenal sifat dasar Petrus yang pemberani namun sering terlalu cepat bertindak, tanpa berpikir terlalu jauh, seperti terlalu cepat menjanjikan kesetiaan sebagai seorang martir namun kemudian malah menyangkal Yesus tiga kali; walaupun ia akhirnya bertobat (Mat 26:35; Luk 22:57-62). Di lain kesempatan ia terlalu cepat menggunakan pedang untuk memotong telinga Malkus (Yoh 18:10). Namun demikian, sesungguhnya Petrus mempunyai hati yang lembut, dan peka terhadap dosa dan kelemahannya (Luk 5:8; 22:61-62).

Kelemahan Petrus ini tidak mengubah kenyataan bahwa ia tetaplah terhitung sebagai “yang pertama” di antara para rasul. Petrus selalu disebut pertama kali di antara para rasul yang dipilih Yesus, untuk melihat-Nya dimuliakan di atas gunung Tabor (Mrk 9:2-9, 2 Pet 1:18); untuk mempersiapkan Perjamuan Terakhir (Luk 22:8); dan untuk melihat Yesus setelah kebangkitan-Nya (Luk 24:34; 1 Kor 15:5). Petruslah yang secara khusus didoakan oleh Yesus dan diberi tugas untuk menguatkan saudara-saudaranya yang lain (lih. Luk 22:32; Yoh 21:15-17). Segera setelah Yesus naik ke surga, Petrus mengambil alih kepemimpinan para rasul dengan mengambil inisiatif untuk memilih pengganti Yudas yang mengkhianati Yesus (Kis 1:15-26). Setelah Pentakosta, Petrus tampil mewakili para rasul mengkhotbahkan pesan Injil (Kis 1:14-40) yang mengkibatkan 3000 orang untuk dibaptis pada hari itu.

3. Setelah Pentakosta, peran kepemimpinan Petrus-pun jelas terlihat: Petrus mengubah kebiasaan Gereja yang hanya membaptis umat Yahudi, dengan membaptis Kornelius, umat non- Yahudi, beserta seisi rumahnya (Kis 10 dan 11). Paulus pun menemui Petrus (Kepha) dan tinggal bersamanya selama 15 hari (Gal 1:18), selanjutnya Paulus mendatangi Petrus lagi di Yerusalem dengan menjabarkan Injil yang diberitakannya (Gal 2:2) agar usahanya tidak percuma. Rasul Petrus juga membuat keputusan otoritatif di Konsili Yerusalem mengenai sunat (Kis 15). Sesudah Konsili Yerusalem, Rasul Petrus mengadakan perjalanan ke banyak daerah untuk mendirikan gereja-gereja pada daerah kekuasaan Kaisar Roma, untuk menyebarkan Injil ke ujung bumi, sesuai dengan pesan Kristus (lih. Kis 1:8). Akhirnya, ia menuju Roma (yang disebut Babilon 1 Pet 5:12-13) yang dianggap sebagai pusat dunia pada saat itu, untuk juga mendirikan gereja di sana, dan akhirnya wafat sebagai martir, bersama dengan Rasul Paulus.

Dari siapa saja kita mengetahui keutamaan Petrus?

1. Rasul Yohanes.
Andreas mula-mula bertemu dengan Simon, saudaranya, dan ia berkata kepadanya: “Kami telah menemukan Mesias (artinya: Kristus).” Ia membawanya kepada Yesus. Yesus memandang dia dan berkata: “Engkau Simon, anak Yohanes, engkau akan dinamakan Kefas (artinya: Petrus) (Yoh 1: 40-42).

Di Injilnya yang ditulis sekitar tahun 90-100 (60 tahun setelah kejadian), Rasul Yohanes masih mengingat kejadian tersebut, di mana Yesus memberi nama “Batu Karang” kepada Petrus. Perjanjian Lama mengajarkan kepada kita bahwa perubahan nama sejalan dengan panggilan/ penugasan yang baru dari Allah (lih. Kej 17:5; 32:28; 41:45), dengan demikian Rasul Yohanes mengakui misi Simon yang baru sebagai “Batu Karang.”

2. Rasul Matius
Matius selalu menuliskan Petrus dalam urutan pertama dari keduabelas rasul. Secara khusus, ia menuliskan Pengakuan Petrus (Mat 16: 13-20) yang menunjukkan keutamaan Rasul Petrus.
3. Lukas
Demikian pula dengan Lukas, yang menuliskan Petrus di urutan pertama, misalnya saat menuliskan kisah Yesus dimuliakan di atas gunung (Luk 8: 45: 9: 28, 32), dan para murid mengakui bahwa Kristus telah menampakkan diri kepada Simon (Petrus) (Luk 24:33-34) sesaat setelah kebangkitan-Nya.

4. Markus
Demikian pula Markus, dengan menuliskan bahwa malaikatpun saat memberitakan kebangkitan Yesus menyebutkan nama Petrus secara terpisah, sedangkan para rasul yang lain tergabung dalam “murid- murid-Nya” (Mrk 16:6-7).

5. Rasul Paulus
Dengan mengakui bahwa kepada Petruslah pertama Kristus menampakkan diri setelah kebangkitan-Nya (1 Kor 15:3-6). Kepada umat di Galatia, Paulus mengatakan bahwa ketika akhirnya ia “berhubungan dengan Gereja” setelah tiga tahun mewartakan Injil, ia menghubungi Rasul Petrus yang disebutnya sebagai ‘Kepha’ (Gal 1:17-18), dan dengan demikian ia mengakui keutamaan Petrus yang adalah “Batu Karang” yang ditunjuk oleh Kristus.

6. Konsili Yerusalem (49-50)
Kis 15 menjabarkan Konsili Yerusalem dimana Rasul Petrus berbicara untuk menyelesaikan konflik yang dihadapi oleh jemaat pada saat itu, yaitu mengenai masalah sunat. Setelah Petrus membuat keputusan yang mengikat semua umat beriman, maka semua umat terdiam, dan menerima keputusan ini. Paulus dan Barnabas kemudian mengisahkan pengalaman mereka, dan Yakobus menjabarkan pelaksanaan praktis yang harus dilakukan sesuai dengan keputusan Petrus. [Maka jika Yakobus membuat khotbah penutup di Konsili Yerusalem, itu disebabkan karena Yakobus adalah uskup Yerusalem, dan bukan karena ia mempunyai keutamaan di atas Petrus. Sebab yang disampaikannya juga hanya mendukung keputusan Petrus, dan bukan ia yang pertama kali membuat keputusan untuk menyelesaikan konflik yang ada].

Kita mengetahui bahwa Konsili Yerusalem mempunyai ciri-ciri seperti Konsili-konsili lainnya dalam sejarah Gereja: a) pertemuan para pemimpin seluruh Gereja; b) penetapan aturan yang mengikat semua umat Kristen, c) bersangkutan dengan hal iman dan moral, d) keputusannya ditulis sebagai pernyataan Gereja, e) Petrus memimpin seluruh kongregasi. ((The Acts of the Apostles, Navarre Bible (Dublin: Four Court Press 1992), 160-161))

7. Rasul Petrus sendiri
Umat Protestan ada yang berpendapat bahwa Petrus bukan pemimpin Gereja, dengan mengutip surat 1 Pet 5:1, di mana Rasul Petrus menyebut dirinya sebagai “teman penatua” (a fellow elder). Namun jika kita membaca ayat- ayat berikutnya, kita melihat bahwa Rasul Petrus mengajar para penatua tersebut dengan otoritas seorang pemimpin. Maka jika Petrus mengatakan sebagai “teman penatua”, ia seperti layaknya presiden sewaktu menyebut rakyatnya sebagai ‘saudara sebangsa dan setanah air’, tentu tidak berarti bahwa sang presiden tidak memiliki otoritas atas rakyatnya. Di sini Petrus menyatakan bahwa ia adalah ‘teman penatua’ untuk mengakui keberadaan mereka sebagai para pemimpin Gereja seperti dirinya, namun tentu Rasul Petrus menyadari atas kepemimpinannya atas mereka, oleh sebab itu ia  mengarahkan/ menasihati mereka.

8. Tuhan Yesus Kristus
Dengan memberikan nama “Batu Karang” kepada Petrus dan mengatakan bahwa Ia akan mendirikan jemaat/ Gereja-Nya atasnya (Mat 16: 15-19). Ayatnya sebagai berikut:
Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.”
Jemaat/ Gereja ini akan disertai oleh Kristus sampai akhir jaman,
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Dengan demikian, Yesus menyatakan bahwa Ia telah memilih Petrus dari antara para rasul-Nya yang lain untuk memimpin Gereja, yaitu dengan memberikan kunci Kerajaan-Nya dan kuasa untuk ‘mengikat dan melepaskan’ (ay. 19). Maka dari ayat ini, setidaknya terdapat empat hal penting, yaitu: a) Petrus sebagai “Batu Karang”; b) Petrus yang kepadanya diberikan kunci Kerajaan Sorga dan diberi kuasa untuk ‘mengikat dan melepaskan’; c) Karena Yesus menjanjikan bahwa Gereja-Nya tak akan dikuasai oleh maut sampai akhir jaman, maka kuasa ‘mengikat dan melepaskan’ tersebut tidak dapat salah, dan berlaku juga pada para penerus Rasul Petrus. d) Yesus hanya mendirikan satu Gereja (bukan gereja-gereja) dalam pimpinan Petrus. Mari kita melihat satu- persatu point ini.

Petrus sebagai “Batu Karang”

“Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” (Mat 16:18)
RSV: And I tell you, you are Peter, and on this rock I will build my church, and the powers of death shall not prevail against it.
Gereja Katolik mengartikan “Batu Karang” ini sebagai Petrus, yang menerima nama barunya ini karena pengakuan imannya bahwa Kristus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup. Namun demikian, banyak umat Protestan yang tidak mengartikannya demikian.
  • Kalangan Protestan banyak yang mengartikan bahwa dalam bahasa Yunani, dikatakan bahwa Petrus adalah “Petros”  dan batu karang adalah “petra“. Dan ini berarti bahwa Petros dan petra tidak sama, karena petros artinya batu kecil dan petra artinya batu besar/ batu karang; sehingga tidak mungkin Yesus mendirikan Gereja-Nya di atas Petrus (petros), melainkan di atas pengakuan Petrus (petra).
  • Dari tata bahasa Yunani: Penggunaan Petros dan petra adalah karena tata bahasa Yunani, yang mengenal masculin dan feminin, yang diterapkan bukan hanya terhadap manusia, namun juga terhadap benda-benda. Jadi, dalam hal ini diterjemahkan “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petros dan di atas petra ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.”Padahal sebenarnya, perbedaan ini disebabkan karena kata Petra tidak dapat digunakan untuk menggantikan nama Petrus, karena kalau demikian sama saja dengan memakai nama Michelle untuk Michael atau Fransiska untuk Fransiskus.
  • Namun pada jaman Yesus, bahasa yang dipakai adalah bahasa Aram, sehingga sebenarnyanya Yesus mengatakan, “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Kefas dan di atas Kefas ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” Yesus memberikan nama Kefas (Petrus) kepada Simon jauh sebelum pengakuan ini, yaitu pada waktu Yesus bertemu dengan Petrus, dimana Yesus berkata “Engkau Simon, anak Yohanes, engkau akan dinamakan Kefas (artinya: Petrus).” (Yoh 1:42).
  • Selanjutnya, mari kita tinjau dari kelogisan kalimat: Kalau kita menafsirkan bahwa Petros adalah Petrus dan kemudian Petra adalah pengakuan Petrus, maka akan terlihat tidak logis, sebab bunyinya kira-kira menjadi seperti berikut ini:Yesus berkata kepada Petrus: “Engkau adalah Petrus dan di atas pengakuanmu Aku akan mendirikan Gereja-Ku…”Dua kalimat tersebut tidak berhubungan. Dan kalau kita melihat dari bahasa Greek, dikatakan “Aku pun (memakai “kai“) berkata kepadamu, “Engkau adalah Petrus, dan  (memakai kata “taute” (this very)) di batu karang ini, Aku akan mendirikan Gereja-Ku”. Kai (dan) mengindikasikan bahwa kata benda yang dipakai harus merujuk kepada kata benda sebelumnya. Perhatikan, bahwa yang digunakan adalah kata dan, bukannya tapi. Jadi hal yang sedang dibicarakan adalah hal yang sama, yaitu Batu Karang (Kepha/ Petrus), yang sejak saat itu menjadi nama baru bagi Simon, sehingga ia tidak lagi dipanggil Simon, tetapi Petrus.
W.F. Albright, seorang ahli Kitab Suci Protestan yang dikenal secara internasional sebagai “the dean of biblical studies” menulis demikian, “… Tidak ada bukti bahwa Petrus atau Kepha adalah sebuah nama sebelum jaman Kristen…. Petrus sebagai Batu Karang akan menjadi pondasi dari komunitas di kemudian hari. Yesus… di sini memakai bahasa Aram, bukan Ibrani… Seseorang harus membuang interpretasi yang menyatakan bahwa ‘batu karang’ ini merupakan pengakuan iman Petrus atau pengakuannya akan kemesias-an Yesus. Untuk mengabaikan keutamaan Petrus di antara para murid pada jemaat perdana adalah sebuah pengingkaran suatu bukti…..” ((W.F. Albright  dan C. S. Mann. The Anchor Bible: Matthew (Garden City, NY: Doubleday & Co., 1971), p. 195))

Albright tidak sendirian dalam mengungkapkan interpretasi ini, sebab banyak ahli kitab suci Protestan lainnya, yang juga mengakui bahwa Petruslah Batu Karang yang dimaksud dalam pernyataan Yesus ini. Silakan klik di sini untuk membaca pengajaran mereka, antara lain Oscar Cullmann (Lutheran), Eduard Schweizer, Francis W. Beare dan Thomas G. Long (Reformed), D.A Carson, Herman Ridderbos, Caig Blomberg, Craig Keener (Evangelis Protestan), R. T France (Anglikan).

Senada dengan Albright, Cullmann menuliskan, “Tapi apa yang dimaksudkan oleh Yesus ketika mengatakan: “Di atas Batu Karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku?” Ide para Reformer bahwa Ia [Yesus] mengacu kepada iman Petrus adalah sangat tidak terbayangkan (inconceivable)…. Sebab tidak ada referensi yang mengacu kepada iman Petrus. Yang ada, paralel/ perbandingan antara “Kamu adalah Batu Karang” dan “di atas Batu Karang ini Aku akan membangun” menunjukkan bahwa Batu Karang yang kedua adalah sama dengan Batu Karang yang pertama. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Yesus mengacu kepada Petrus, yang kepadanya Ia telah memberi nama Batu Karang. Ia telah menunjuk Petrus… Dalam hal ini exegesis Gereja Katolik benar, dan semua usaha gereja Protestan untuk menghapuskan interpretasi ini harus ditolak.” ((Oscar Cullmann, dalam artikel “Rock” (petros, petra) trans. and ed. by Geoffrey W. Bromiley, Theological Dictionary of the New Testament (Eerdmans Publishing, 1968), volume 6, p. 108))

Maka di sini kita melihat, bahwa dengan memberi nama “Batu Karang” kepada Simon, maka Ia memberikan kepada Petrus identifikasi yang sangat penting, yang bahkan mengacu kepada diri-Nya sendiri (lih. 1 Kor 10:4). Namun ini tidaklah aneh, sebab memang Yesus mengidentifikasikan Gereja-Nya sebagai Tubuh-Nya sendiri dan Ia adalah Kepalanya (lih. Ef 5:22-33).

Petrus sebagai pemegang Kunci Kerajaan Allah dan diberi kuasa “mengikat dan melepaskan”

1. “Kunci” yang diberikan di sini maksudnya adalah kuasa untuk memimpin dan mengatur Kerajaan Sorga. Dan karena Kerajaan Sorga yang ada di dunia ini adalah Gereja, maka Rasul Petrus (dan para penggantinya) diberi kuasa untuk memimpin Gereja. Karena Gereja direncanakan oleh Yesus untuk terus eksis sampai akhir jaman (Mat 16:18; 28:19-20), maka kuasa memimpin ini diberikan juga kepada para penerus Rasul Petrus.

Di Perjanjian Lama, tugas “pemegang kunci” ini telah digambarkan oleh Elyakim (Yes 22) yang diberi tanggungjawab untuk memegang kunci Rumah Raja Daud, sebagai pengatur rumah tangga, yang menjadi simbol kekuasaan Kerajaan Yehuda, “Maka pada waktu itu Aku akan memanggil hamba-Ku, Elyakim bin Hilkia: Aku akan mengenakan jubahmu kepadanya dan ikat pinggangmu akan Kuikatkan kepadanya, dan kekuasaanmu akan Kuberikan ke tangannya; maka ia akan menjadi bapa bagi penduduk Yerusalem dan bagi kaum Yehuda. Aku akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya: apabila ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka.” (Yes 22:20-22)

Dengan diberikannya kuasa ini kepada Elyakim, tentu bukan berarti Elyakim menjadi “lebih tinggi daripada” Raja Daud. Pemberian kunci ini hanya dimaksudkan agar Elyakim menjadi pengurus, pengajar bagi kerajaan raja Daud tanpa ia menjadi lebih tinggi dari Raja Daud. Di PB, oleh Yesus, Sang Raja keturunan Daud, kerajaan Yehuda disempurnakan menjadi Gereja-Nya yang dibangun di atas Rasul Petrus (Mat 16:18-19). Dengan analogi yang sama, kuasa yang diberikan oleh Yesus kepada Rasul Petrus juga tidak membuat Petrus lebih tinggi daripada Yesus. Sebab biar bagaimanapun, Yesus tetaplah Sang Pemilik kunci yang menguasai kunci itu. Pada PL tugas mengatur rumah tangga kerajaan Daud diberikan kepada Elyakim, sedangkan pada PB, tugas mengatur Kerajaan Allah (yaitu Gereja) diberikan kepada Rasul Petrus dan para penerusnya.

Maka istilah ‘kunci’ ini adalah untuk menggambarkan pemberian kuasa yang penuh dan otoritas/ kuasa yang penuh, absolut dan tertinggi yang diberikan kepada Petrus -tentu setelah Kristus sendiri. Jadi “kunci” ini bukanlah hanya berarti kunci pintu masuk saja (pembuka pintu bagi orang-orang yang belum mengenal Kristus untuk mengimani-Nya), tetapi seluruh kunci bagi semua pintu rumah/ Kerajaan Allah tersebut, yang menyangkut seluruh kepemimpinan umat beriman. Tugas ini kemudian dijalankan oleh Magisterium (Paus dan para uskup dalam persekutuan dengan Paus), yaitu tugas/ wewenang untuk mengikat atau melepaskan dalam hal pengajaran iman dan moral (Mat 16:19; 18:18).

2. Menurut ajaran para Bapa Gereja yang akan dibahas di artikel berikutnya, kuasa “mengikat dan melepaskan” adalah kuasa mengajar dan kuasa untuk mengampuni dosa (Mat 16:19). Menurut Suarez, seorang Teolog Scholastik yang menggabungkan ajaran St. Gregorius dan St. Maximus, kuasa memegang kunci ini meliputi tiga hal, yaitu kuasa memberikan sakramen- sakramen, kuasa memimpin/ mengatur dan kuasa untuk mendefinisikan ajaran iman dan moral. ((lihat Suarez, De Poenit., disp xvi.)) Jadi di sini “kunci” bukan sesuatu yang dibagi-bagikan sama rata kepada semua pengikut Kristus. Interpretasi “kunci” di PB harus dilihat dalam konteksnya seperti di PL, sebab di PL pemberian kunci kerajaan Yehuda hanya diberikan kepada Elyakim, maka di PB, juga hanya kepada Rasul Petrus. Sedangkan karena Yesus menginginkan agar Kerajaan-Nya/ Gereja-Nya terus bertahan sampai akhir jaman (Mat 28:19-20), maka pemberian “kunci”/ wewenang ini berlangsung terus sampai kepada para penerus Petrus. Dan karena secara prinsip: yang diberi wewenang selalu tidak pernah mengatasi Yang Memberi wewenang, maka Petrus (dan penerusnya) yang diberi wewenang tidak akan pernah menjadi lebih tinggi daripada Kristus Sang Pemberi wewenang. Sebab apapun yang ditetapkan oleh Petrus adalah yang menjadi ketetapan Kristus. Petrus hanya menjalankan tugas, sesuai dengan wewenang yang diberikan kepadanya.

Flavius Josephus, seorang ahli sejarah di abad ke -1 menuliskan bahwa umat Yahudi pada saat itu memahami istilah “mengikat dan melepaskan” sebagai otoritas untuk mengatur, yang mengikat atau melepaskan masyarakat dari suatu kewajiban, untuk menghukum atau untuk mengampuni, dan untuk menentukan sesuatu sebagai sesuatu yang sah atau tidak sah. Kuasa ‘mengikat dan melepaskan’ ini diberikan oleh Ratu Alexandra (76-67 BC) kepada kaum Farisi. Kuasa inilah yang sering menjadi pertentangan antara para Rabi golongan Shamma dan Hillel, pada jaman Yesus, karena yang diikat oleh golongan yang satu dilepaskan oleh yang lain, demikian sebaliknya. Di sini Josephus tidak meragukan bahwa maksud ungkapan ‘mengikat dan melepaskan’ itu berkaitan dengan otoritas. ((Stanley L. Jaki, The Keys of the Kingdom (Chicago: Franciscan Herald Press, 1986), p.43))  Maka Yesus mengakhiri kesimpangsiuran ini dengan memberikan otoritas yang benar kepada Petrus, yang dipercayakan untuk memimpin Gereja-Nya.

3. Sebenarnya pemberian “kunci” dan wewenang selama pemimpin pergi sejenak, merupakan sesuatu yang wajar. Kita di duniapun menerapkannya, jika seorang pemimpin perusahaan bepergian selama beberapa waktu, maka ia akan memberikan kuasa kepada wakilnya yang akan berkuasa mengatur selama ia pergi. Hal yang sama terjadi pada Mat 16:13-19. Yesus memberikan kuasa kepada Petrus (dan para penerusnya), karena Ia menyadari tak bisa selamanya berada di dunia secara fisik untuk memimpin umat-Nya.

Kuasa ‘mengikat dan melepaskan’ yang bersifat tidak mungkin salah (infallible)

Kuasa infalibilitas yang diberikan Kristus kepada Petrus dan para penerusnya adalah berdasarkan perkataan Yesus,  “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mat 16:19) Karisma infalibilitas ini diberikan oleh Tuhan Yesus untuk melindungi Gereja dari kesalahan dan perpecahan, yang menghantar Gereja kepada “alam maut” (ay. 18). Tanpa kuasa wewenang mengajar yang dijamin tidak salah ini, maka Gereja tidak mempunyain patokan yang pasti  dalam hal ajaran iman dan moral. Jika demikian halnya, maka kebenaran menjadi sesuatu yang relatif dan tiap pribadi dapat mengklaim pemahamannya yang paling benar, lalu memisahkan diri dari kesatuan Gereja, dan ini tidaklah dikehendaki oleh Kristus, sebab Ia menghendaki agar Gereja-Nya selalu bersatu (lih Yoh 17:20-23).

Maka yang dibicarakan dalam hal infalibilitas ini bukanlah mencakup segala sesuatu tentang diri Petrus dan para penerusnya; dan bahwa mereka tidak mungkin salah sebagai manusia. Ini adalah pandangan yang sangat keliru! Contoh yang sering diajukan untuk menyanggah infalibilitas Petrus adalah kisah Paulus yang pernah menentang Rasul Petrus karena kesalahannya (Gal 2: 11-14). Namun yang salah di sini bukanlah ajaran Petrus, tetapi sikapnya yang tidak konsisten dalam menerapkan keputusan Konsili Yerusalem perihal menyikapi kesamaan kedudukan umat yang bersunat dan tidak bersunat.  Maka hal ini bukan bukti yang menentang infalibilitas. Sebab sebagai manusia Petrus (dan para penerusnya) bisa salah, namun yang tidak bisa salah di sini hanya ketika ia sedang menjalankan perannya sebagai Petrus, pemimpin Gereja, pada saat ia mengumumkan ajaran iman dan moral secara definitif yang berlaku untuk seluruh Gereja.

Karisma infalibilitas ini tidak berlaku dalam segala hal, namun hanya dalam hal iman dan moral, yaitu pada saat mereka mengajarkan dengan tindakan definitif, seperti yang tercantum dalam Dogma dan doktrin resmi Gereja Katolik. Maksud infalibilitas di sini adalah Yesus memberikan kuasa kepada Petrus dan para penerusnya untuk memberikan pengajaran yang tidak mungkin salah dalam hal iman dan moral, yang merupakan ketentuan yang ‘mengikat’ manusia di dunia dan kelak diperhitungkan di sorga.

Kepemimpinan dan Karisma infalibilitas ini diberikan juga kepada para penerus rasul Petrus

Mungkin ada umat Protestan yang beranggapan bahwa kuasa memimpin Gereja dan karisma infalibilitas ini hanya diberikan kepada Petrus saja, tetapi tidak kepada para penerusnya. Namun ini sungguh tidak masuk akal, karena Kristus berjanji akan menyertai Gereja-Nya sampai akhir jaman. Jika para rasul dan Gereja awal saja memerlukan pemimpin, apalagi Gereja-Nya di kemudian hari! Sebab, banyak dari jemaat awal mendengar pengajaran langsung dari Kristus sendiri dan para rasul-Nya namun, setelah para rasul wafat, maka Gereja bahkan semakin membutuhkan adanya otoritas kepemimpinan yang dapat menjaga kemurnian ajaran-ajaran mereka agar dapat diturunkan dengan baik tanpa ‘dikorupsi’.

Maka jika Yesus memberikan kuasa untuk “mengikat dan melepaskan” tersebut kepada para rasul (Mat 18:18), namun Rasul Petrus menerima karisma ini secara pribadi pada saat Tuhan Yesus memberikan kepadanya “kunci” kerajaan surga. Tuhan Yesus mengetahui pentingnya otoritas ini, dan karena itu, tidak mungkin Yesus memberikan kuasa ini kepada Petrus dan para penerusnya, tanpa jaminan bahwa Ia akan menghindarkan mereka dari mengajarkan ajaran yang sesat pada saat mereka menjalankan tugas mereka sebagai gembala Gereja.

Yesus hanya mendirikan satu Gereja, dan Gereja-Nya ini adalah yang dipimpin Petrus

Pada Mat 16:18, Yesus mengatakan akan mendirikan Gereja-Nya (bukan gereja- gereja), dan ini sejalan dengan pengajaran-Nya di ayat-ayat yang lain misalnya:
“Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala.” (Yoh 10: 16)

“Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.” (Luk 22: 31-32)

“Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku. Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu: Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.”

Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Kata Yesus pula kepadanya untuk kedua kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: /”Apakah engkau mengasihi Aku?” Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

Sejak awal Yesus bermaksud mendirikan hanya satu Gereja, dan Ia telah memilih Petrus sebagai pemimpinnya. Ia sudah menyadari bahwa Petrus akan jatuh menyangkal Dia, namun Ia juga mengetahui bahwa sesudah itu, Petrus akan insaf. Yesus secara khusus mendoakan Petrus supaya ia dapat bangkit untuk menguatkan para murid yang lain. Di sini Yesus menugasi Petrus untuk menjadi pemimpin, yang menggembalakan kawanan murid-Nya yang lain. Maka Yesus tidak pernah bermaksud untuk mendirikan Gereja yang dikoyakkan oleh banyak perpecahan dan persaingan antar denominasi. Ia juga tidak mungkin menginginkan adanya “kesatuan yang tidak kelihatan”, sebab hanya kesatuan yang kelihatan-lah yang dapat dilihat oleh dunia. Jika di suatu komunitas Kristen yang terkecil sekalipun membutuhkan seorang pengajar, pemimpin dan pemersatu, seperti halnya peran ayah dalam keluarga, maka menjadi sangat nyata bahwa Gereja di seluruh dunia memerlukan seorang pemimpin. Kristus sepenuhnya mengetahui akan hal ini, sehingga Ia menunjuk Petrus sebagai pemimpin Gereja-Nya di dunia untuk menggembalakan kawanan umat pilihan-Nya (lih. Yoh 21:15-17).

Jika otoritas kepemimpinan di Gereja ini diabaikan, maka yang terjadi adalah perpecahan gereja, dan ini sudah terbukti sendiri dengan adanya banyak sekali denominasi Protestan (sekitar 28.000). Perpecahan ini umumnya dimulai dengan ketidaksesuaian pemahaman dalam hal doktrin baik iman maupun moral antara para pemimpin gereja Protestan, dan karena tidak ada otoritas yang mengaturnya, masing-masing bebas memisahkan diri dan mendirikan denominasi yang baru.

Gereja sebagai pilar kebenaran

Gereja yang dipimpin oleh Petrus dan para penerusnya yang mengajarkan ajaran yang tidak mungkin salah itulah yang dimaksudkan oleh Rasul Paulus ketika mengatakan demikian, “Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat [Gereja] dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.” (1 Tim 3:15). Demikianlah, kita ketahui bahwa memang Gerejalah yang melanjutkan secara turun temurun ajaran Kristus dan para rasul, baik yang lisan (dalam Tradisi Suci) dan yang tertulis (dalam Kitab Suci). Kita tidak dapat menyangkal fakta bahwa Magisterium Gereja Katolik-lah yang menentukan kanon Kitab Suci di abad ke 4 melalui Tradisi Suci, sehingga umat Kristiani sekarang mempunyai Kitab Suci.

Sebagai umat Katolik, kita sudah selayaknya bersyukur kepada Tuhan, atas janji Tuhan yang telah dibuktikannya selama lebih dari 2000 tahun ini, bahwa Gereja-Nya yang dipimpin oleh Petrus dan para penerusnya, selalu mengajarkan Kebenaran, sehingga dapat terus bertahan dalam kesatuan, dengan Kristus sebagai Kepalanya.

Syukur bagi-Mu ya Tuhan, atas karunia kepemimpinan Petrus dan para penerusnya dalam Gereja Katolik. Bantulah kami agar dapat selalu hormat dan taat kepada pengajaran mereka, sebagai tanda hormat dan ketaatan kami kepada-Mu yang telah memilih mereka. Amin.”

[Bersambung ke artikel Keutamaan Petrus (2): Bukti sejarah tentang keberadaan Rasul Petrus di Roma-- Keutamaan Petrus Menurut Katolik Bagian 1]

2.Pernyatan dari saudara kita Kristen Katolik:

Salah satu pandangan yang menolak keutamaan Paus mengatakan bahwa Petrus tidak pernah ke Roma dan karenanya tidak mungkin mendirikan Gereja di Roma. Alasannya, karena di Kitab Suci tidak tertulis eksplisit demikian. Artikel ini memaparkan kenyataan yang sebaliknya. Bahwa meskipun tidak secara tertulis dengan detail di Kitab Suci, fakta sejarah dan bukti tulisan para Bapa Gereja menyatakan bahwa Petrus pernah beberapa kali ke Roma, dan akhirnya wafat di sana sebagai martir.

Pertama- tama kita harus menyadari bahwa Kitab Suci bukanlah merupakan buku sejarah di mana segala fakta harus lengkap tersusun secara kronologis. Namun apa yang tidak tercatat di Kitab Suci bukannya berarti tidak terjadi. Untuk mengetahui hal ini, maka di samping membaca Kitab Suci, kita perlu melihat bukti-bukti yang lain yaitu bukti sejarah dan tulisan para Bapa Gereja. Berikut ini saya sertakan tulisan yang mengambil sumber utama dari Stephen K. Ray, Upon This Rock, (San Francisco: Ignatius, 1999).

Pelayanan Rasul Petrus setelah Pentakosta

Rasul Petrus memulai karya Apostoliknya di Yerusalem, untuk memberitakan Injil kepada umat Yahudi. Iapun mengadakan perjalanan ke Samaria, untuk memperkenalkan Keselamatan kepada orang-orang Samaria (Kis 8:4-25), Yoppa (Kis 32-43), dan Kaisarea. Ia lalu membaptis Kornelius, seorang pemimpin prajurit Roma. Kemudian ia kembali ke Yerusalem untuk memberitakan bahwa bangsa- bangsa lain (non- Yahudi) telah menerima Injil dan menerima Roh Kudus seperti mereka para murid yang adalah bangsa Yahudi (Kis 10:40; 11:18).

Kemudian kita ketahui terjadi penganiayaan di Yerusalem, dan Rasul Yakobus dipenggal oleh Kaisar Herodes Agrippa (42-44AD) (Kis 12:2). Petrus lalu dipenjara dan secara ajaib dibebaskan oleh seorang malaikat (Kis 12:7), Petrus kemudian ke Yerusalem (sekitar 44), dan kemudian berangkat ke tempat lain (Kis 12:7), maka kita mengetahui bahwa Petrus memang terus menerus mengadakan perjalanan untuk menyebarkan Injil di daerah Timur, dan tinggal cukup lama di Antiokhia (Gal 2:11-21). Selama masa ini juga Petrus mengadakan perjalanan ke Roma, seperti yang nanti akan dijabarkan lebih lanjut. Ia juga menjelajahi daerah Asia Kecil: Pontus, Galatia, Kapadosia, Asia dan Bitinia (1 Pet 1:1), juga Korintus.

Sejarah juga mencatat Petrus sebagai pemimpin Gereja di Antiokhia. ((Eusebius, Church History 3, 36, NPNF2, 1:166 dan Origen, In Lucam, Homily 6, 938A: Petrus menunjuk Evodius untuk menggantikannya sebagai Uskup di Antiokhia, Evodius digantikan oleh Ignatius yang kemudian menjadi martir di Roma tahun 106)) Selanjutnya, Rasul Petrus kembali ke Yerusalem untuk menghadiri Konsili Yerusalem pertama (49-51). Konsili ini diadakan sekitar 8 tahun setelah wafatnya Yakobus Rasul saudara Rasul Yohanes (St. James the Greater) yang wafat sebagai martir sekitar tahun 44, di masa pemerintahan raja Herodes Agrippa I. Rasul Yakobus yang berbicara dalam Konsili Yerusalem adalah kerabat Yesus, anak Alfeus, yang menjadi uskup Yerusalem (St. James the Less), yang menutup sidang Yerusalem berdasarkan arahan Rasul Petrus (lih. Kis 15: 6-20).

Setelah Konsili Yerusalem, memang tak banyak ayat Kitab Suci yang menuliskan keterangan tentang Rasul Petrus dan perjalanannya, kecuali suratnya sendiri yang dikatakannya ditulis dari Babilonia, yang menjadi sebutan kota Roma pada saat itu (1 Pet 5:13). Meskipun tahun-tahun akhir hidupnya tidak ditulis di kitab PB, namun tulisan-tulisan para Bapa Gereja dan bukti sejarah sangat jelas mengacu kepada fakta bahwa Rasul Petrus memang pernah tinggal di Roma, mendirikan Gereja di Roma, dan akhirnya wafat di sana sebagai martir.

Berikut ini adalah daftar perjalanan Rasul Petrus, menurut para ahli sejarah, dan juga berdasarkan Alkitab: ((sumber: Warren Carroll, The Founding of Christendom, A History of Christendom, vol.1., Front Royal, Va: Christendom College Press, 1985, p. 422))

Pelayanan Apostolik St. Petrus (30-67)

Tahun 30 Kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus, Pentakosta
30-37 Petrus memimpin Gereja di Yerusalem.
38-39 Perjalanan Petrus di Samaria dan di pantai Palestina.
40-41 Petrus di Antiokhia
42 Dipenjara di Yerusalem, dibebaskan, dan keberangkatan ke tempat lain
42-49 Persinggahan yang pertama di Roma
49 Diusir dari Roma oleh edict Claudius yang menentang kaum Yahudi
49-50 Di Yerusalem, dalam Konsili Apostolik [seperti tertulis dalam Kis 15].
50-54 Di Antiokhia, Bitinia, Pontus, Asia dan Kapadokia
54-57 Persinggahan yang kedua di Roma: Injil Markus ditulis di bawah pengarahan Petrus
57-62 Di Bitinia, Pontus dan Kapadokia, Markus di Alexandria, Mesir
62-67 Persinggahan yang ketiga di Roma, menuliskan surat 1 Pet dan 2 Pet Markus ada bersama Petrus di Roma.
67 Dibunuh sebagai martir di Roma, dikuburkan dekat Nekropolis di Vatikan.

Bagaimana Kitab Suci menuliskan keberadaan Petrus di Roma dan kematiannya di sana

1. Surat Petrus yang pertama mengatakan,
“Dari Petrus, rasul Yesus Kristus, kepada orang-orang pendatang, Dengan perantaraan Silwanus, yang kuanggap sebagai seorang saudara yang dapat dipercayai, aku menulis dengan singkat kepada kamu untuk menasihati dan meyakinkan kamu,… Salam kepada kamu sekalian dari kawanmu yang terpilih yang di Babilon, dan juga dari Markus, anakku. (1 Pet 1:1, 5:12-13)

Babilon di sini merupakan istilah/ sebutan bagi kota Roma. Sebab Roma telah menganiaya Gereja, sebagaimana Babilon telah menganiaya umat Allah di jaman PL (2 Raj 24). Umat Yahudi saat itu menyebut kota Roma sebagai Babilon ((lihat Orac, Sybil.5, 159-; 4 Esdras 3:1; Apoc. Baruch, vis. 2,1; Why 14:8; 16:19; 17:5; 18:2,10,21)), karena melihat kesamaan ciri- ciri antara Babilon [kota dunia yang tak bermoral, sombong, tak ber-Tuhan] yang disebut oleh para nabi (Yes 13; 43:14; Yer 50:29; 51:1-58) dengan kota Roma pada saat itu.

Menjelang kematiannya, Rasul Petrus menulis demikian, “Sebab aku tahu, bahwa aku akan segera menanggalkan kemah tubuhku ini, sebagaimana yang telah diberitahukan kepadaku oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” (2 Pet 1: 14)

2. Injil Yohanes menuliskan bahwa Tuhan Yesus sudah menubuatkan kematian Petrus, demikian:
“Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki. Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: “Ikutlah Aku.” (Yoh 21:18-19).

Injil Yohanes ditulis tahun 90-100, sekitar 30 tahun setelah Petrus wafat sebagai martir. Pada saat Yesus mengucapkan nubuat itu, tentu Rasul Yohanes belum sepenuhnya memahami, tetapi ketika sudah digenapi, ia menyadari bahwa perkataan itu mengisahkan bagaimana Petrus akan mati. Tradisi mengatakan Petrus mati disalib terbalik, pada jaman Kaisar Nero (64-67).

Jadi perkataan Yesus, “Ikutlah Aku” tidak saja berupa ajakan untuk mengikuti-Nya dalam kehidupan, tetapi juga dalam kematian-Nya, yaitu dengan cara disalibkan. Di sini, Petrus sesungguhnya memenuhi janjinya kepada Yesus untuk memberikan nyawanya bagi-Nya (Yoh 13:37).

Bukti- bukti bahwa Rasul Petrus mendirikan gereja Roma dan akhirnya mati di sana

1. St. Klemens dari Roma, dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus (96): ((1 Klemens 5: 1-6. Klemens adalah murid rasul Petrus dan ditahbiskan oleh Petrus, mengisahkan peran Petrus dan kematiannya))

“…. Perhatikanlah teladan yang luhur dari generasi kita sendiri… Pilar yang terbaik [yaitu Gereja Roma] telah dianiaya…. Mari memusatkan mata hati kita kepada Rasul-rasul yang baik itu: Petrus, yang menderita… tidak hanya mengalami satu atau dua kali tetapi banyak kesulitan, dan karenanya pergi ke tempat kemuliaan yang sesuai…. Paulus menunjukkan jalan kepada penghargaan atas ketahanan [iman]… telah beralih dari dunia ini ke tempat yang suci… Terhadap kedua orang ini yang telah hidup dalam kekudusan harus ditambahkan banyak sekali orang yang menderita penganiayaan… yang menjadi contoh yang bersinar di tengah-tengah kita.”
Kesaksian St. Klemens ini penting, karena St. Klemens adalah Paus yang ketiga setelah Rasul Petrus. Urutan Paus: Petrus (sampai 67), Linus (67-79, lih. 2 Tim 4:21),  Anacletus (79-85) dan Klemens (85-96). ((Urutan ini diketahui dari tulisan St. Irenaeus, dalam Against Heresies, 3,3,3, ANF, 1:416))

2. St. Ignatius dari Antiokhia (35-107), Uskup Antiokhia, yang adalah murid Rasul Yohanes, dan kemungkinan juga adalah murid rasul Petrus, karena Petruspun pernah tinggal di Antiokhia. Sebelum wafatnya sebagai martir di Roma, ia menulis 7 surat yaitu kepada gereja- gereja di Ephesus, Magnesia, Tralles, Philadelphia, Smyrna, kepada Polycarpus, dan  juga gereja Roma. Topik suratnya antara lain mengenai kelahiran Yesus, hirarki, Ekaristi, Kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi. St Ignatius adalah Bapa Gereja pertama yang menggunakan istilah “katolik” untuk menjelaskan Gereja universal untuk membedakannya dari gereja heretik yang bersifat lokal. Kepada semua gereja itu, ia memerintahkan kesatuan dan harmoni, kecuali kepada gereja di Roma, karena ia mengetahui bahwa gereja Roma telah mempunyai otoritas dari para Rasul: “Ignatius, yang juga disebut Theoforus, kepada Gereja yang telah menerima belas kasihan di dalam Kemuliaan yang transenden… yang juga memimpin di tempat utama di daerah kekuasaan Roma… Tidak seperti Petrus dan Paulus, saya tidak mengeluarkan perintah kepadamu….”

3. St. Papias (60-130) murid Rasul Yohanes yang menjadi Uskup Hieropolis, dan St. Klemens dalam bukunya Hypotyposes, seperti dikutip oleh Eusebius (325), menyetujui bahwa Markus disebut dalam surat Rasul Petrus yang pertama, yang ditulis di Roma, yang disebut sebagai Babilon. ((Church History 2, 15, NPNF 2, 1:116))

4. Phlegon (117-138 masa Kaisar Hadrian) seperti dikutip oleh Origen.
“Phlegon, (Kaisar Hadrian diperkirakan menulis dengan nama budak yang dikasihinya ini) dikatakan oleh Origen sebagai “salah sangka/ mencampur adukkan” antara Yesus dengan Petrus di dalam tulisannya. Ini adalah sangat penting karena itu membuktikan bahwa Petrus pada saat itu telah dikenal luas di Roma, sampai kaisarpun menyangka bahwa Petrus adalah yang mendirikan iman Kristiani. ((lih. Origen, Against Celsus 2, 14, ANF 4:437, lih. NPNF 2, 1:129, n.7)).

5. St. Dionisius (166-174) Uskup Korintus, menulis kepada Paus Soter di Roma, seperti yang dikutip oleh Eusebius:
“Bahwa keduanya baik Petrus dan Paulus sama-sama wafat sebagai martir … ditegaskan kembali oleh Uskup Dionisius, kepada suratnya kepada gereja Roma, “Kamu juga telah, dengan teguranmu, menghasilkan tanaman yang telah ditaburkan oleh Petrus dan Paulus di Roma dan Korintus, sebab mereka berdua telah menanam di Korintus dan mengajar kami, dan keduanya juga mengajar di Italia, dan wafat sebagai martir pada saat yang sama.” ((The Letter of Dionysius of Corinth to Soter of Rome, yang dikutip oleh Eusebius, History of the Church, 2, 25, 8 in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:45))

6. Gaius (Caius, 198-217) seorang Imam Roma:
“…Ia (Nero) membantai para rasul. Oleh karena itu, tertulis bahwa Paulus dipenggal kepalanya di Roma dan demikian juga Petrus disalibkan di bawah kepemimpinan Nero. Tentang Petrus dan Paulus ini sesuai dengan fakta bahwa nama mereka tetap ada di kuburan sampai saat ini. Ini juga dikonfirmasikan oleh Caius, anggota gereja Roma, di bawah kepemimpinan Zephyrinus, Uskup Roma (198-217)…..Saya dapat menunjukkan kubur para rasul itu, sebab jika kamu ke Vatikan atau ke jalan Ostian, kamu akan menemukan kubur mereka yang meletakkan dasar Gereja ini.” ((Bagian dari tulisan Disputation with Proclus, yang dikutip Eusebius, Church History 2, 25,5, NPNF2, 1:129-30))

Dari tulisan ini kita ketahui bahwa lokasi kuburan dua rasul tersebut telah dihormati dan dikenal cukup luas di Roma. Ia tidak mungkin mengatakan hal ini dengan begitu yakin jika fakta yang sesungguhnya tidak demikian.

7. St. Irenaeus (130-200), murid Polikarpus yang adalah murid Rasul Yohanes, Uskup Gaul:
“….Tradisi diperoleh dari para rasul, dari Gereja yang sangat besar, sangat ancient, sangat luas dikenal, yang didirikan dan diatur di Roma oleh kedua rasul yang sangat mulia, Petrus dan Paulus …. Para rasul yang terberkati ini, setelah mendirikan dan membangun Gereja, mempercayakannya ke tangan Linus jabatan episkopat….” ((St. Irenaeus, Against Heresies, 3,3,2-3, dalam ANF 1:415-16))

8. Tertullian (160-225). ((Sebelum Tertullian bergabung dengan bidaah Montanist, ia adalah seorang apologis Kristen yang handal. Maka Gereja Katolik memperhitungkan juga tulisan-tulisannya sebelum ia memisahkan diri dari kesatuan dengan Gereja Katolik)).

“Bergabunglah dengan Gereja- gereja para rasul, di mana kursi (cathedrae) Rasul masih ada; di mana tulisan-tulisan mereka yang otentik dibacakan…. Jika kamu ada di dekat Italia, kamu mempunyai Roma, yang dari mana otoritas kami berasal. Betapa bahagianya Gereja itu, yang kepadanya para Rasul menumpahkan darah mereka, Petrus menjalani kisah sengsara seperti Tuhan kita [disalibkan] dan Paulus dimahkotai dengan mati dipenggal seperti Yohanes Pembaptis.” ((Tertullian, The Demurrer against the Heretics 32, 1, in Jurgens, Faith of the Early Fathers 1: 122)).

“Di Roma Nero adalah yang pertama untuk menodai iman yang berkembang dengan darah. Petrus diikat oleh orang lain (Yoh 21:18), ketika ia dipaku di kayu salib. Paulus memperoleh kelahiran yang sesuai dengan kewarganegaraan Roma, ketika di kota itu ia dilahirkan kembali dengan kemartiran yang luhur.” ((Tertullian, Antidote against the Scorpion 15, 3, in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:152.))

9. Origen dari Alexandria (185-254)
“Sementara itu para rasul yang kudus dan para murid Penyelamat kita tersebar ke seluruh dunia…. Parthia… ditentukan untuk Thomas, …Scythia untuk Andreas, Asia untuk Yohanes… Petrus…telah berkthotbah di Pontus, Galatia, Bitinia, Kapadosia, dan Asia kepada umat Yahudi yang tercerai berai. Dan akhirnya, setelah datang ke Roma, ia [Petrus] disalibkan terbalik, sebab ia memohon untuk disalibkan dengan cara demikian…. Paulus,[juga] menjadi martir di Roma, di bawah kekuasaan Nero. Fakta- fakta ini dikumpulkan oleh Origen…” ((Origen, Commentary on Genesis, seperti dijabarkan oleh Eusebius, Church History 3, 1, NPNF 2, 1:132-33)).

10. Eusebius, (260- 340) Uskup Caesarea dan Bapa Sejarah Gereja.
“Tahun kedua dari duaratus lima olympiad: Rasul Petrus, setelah mendirikan Gereja di Antiokhia, dikirim ke Roma, di mana ia tinggal sebagai uskup di kota tersebut, berkhotbah selama dua puluh lima tahun… Tahun ketiga dari duaratus lima olympiad: Markus Penginjil, interpreter Rasul Petrus mengabarkan Kristus ke Mesir dan Alexandria…. Tahun keempat dari duaratus sebelas olympiad: Nero adalah yang pertama… mengadakan penganiayaan umat Kristen, yang karenanya Petrus dan Paulus wafat dengan mulia di Roma.” ((Eusebius, The Chronicle 42, 43, 68, Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1: 291)).“Di  jaman Claudius [Kaisar Roma, 41-54 AD], penyelenggaraan alam semesta…. membawa kepada Roma seorang rasul yang terkuat dan terbesar, yang dipilih untuk menjadi juru bicara dari rasul-rasul yang lain, yaitu Rasul Petrus… ” ((Eusebius, History of the Church, 2, 14, 6, Williamson trans, 49)).“Para pendengar Petrus di Roma yang yakin akan terang agama yang sejati, tidak puas dengan mendengarkan ajaran lisan tentang pesan ilahi, mereka memohon dengan segala cara untuk mempengaruhi Markus (yang Injilnya kita punyai sekarang), kerena ia adalah murid Petrus, untuk meninggalkan kepada mereka ringkasan tertulis tentang perintah-perintah yang telah mereka terima secara lisan,dan oleh karena itu [ia] bertanggungjawab menuliskan apa yang kita kenal sebagai Injil Markus….Klemens mengutip kisah ini dalam Outline buku VI, dan dikonfirmasi oleh Uskup Papias dari Hierapolis…, bahwa Markus disebut oleh Petrus di suratnya yang pertama, yang dikatakannya ditulis di Roma itu sendiri, seperti yang diindikasikan olehnya ketika ia menyebutkan kota itu secara figuratif sebagai Babilon.” ((Eusebius, History of the Church, 2, 15, Williamson trans, 49))

11. Petrus dari Alexandria (d. 311)
Petrus, Rasul yang dipilih pertama dari antara para rasul, setelah sering ditangkap dan dibuang di penjara, dan diperlakukan denga kejam, akhirnya disalibkan di Roma. Dan Paulus…, yang tahan dalam menghadapi berbagai kejahatan,…diserahkan kepada pedang dan dipenggal di kota yang sama.” ((Peter of Alexandria, Penance, canon.9, dalam Jurgen, Faith of the Early Fathers, 1:259))

12. Lactantius dari Afrika (240-320)
“Ketika Nero memerintah, Petrus datang ke Roma, melakukan banyak mukjizat yang dikerjakan oleh kuasa Tuhan yang diberikan kepadanya, mempertobatkan banyak orang kepada kebenaran dan mendirikan bait Allah yang kokoh dan teguh. Ketika hal ini dilaporkan kepada Nero, ia melihat bahwa tak hanya di Roma, tetapi dimana-mana sejumlah besar orang telah mencampakkan penyembahan berhala, dan… memeluk agama yang baru tersebut…. Ia [Nero] menugaskan untuk menghancurkan bait Allah dan kebenarannya. Ialah yang pertama-tama menganiaya para pelayan Tuhan. Petrus disalibkannya, dan Paulus dipancungnya.” ((Lactantius, The Deaths of the Persecutors 2, 5, ditulis 316 dan 320, dalam Jurgen, Faith of the Early Fathers, 1: 272)).

13. St. Cyril dari Yerusalem (315- 386)
“[Simon Magus], setelah diusir oleh para rasul, datang ke Roma …. Ia menipu kota Roma sehingga Claudius mendirikan patungnya yang bertuliskan, “Simoni Deo Sancto” (kepada Simon Tuhan yang kudus). Ketika penipuan meluas, Petrus dan Paulus, pasangan yang luhur, pemimpin Gereja, tiba [di Roma] dan meluruskan kesalahan …. Sebab Petrus ada di sana, yang membawa kunci-kunci Kerajaan Surga.” ((Catechetical Lectures 6, 14-15, NPNF 2, 7:37-38))

14. Paus St. Damasus I ( 304- 384)
“Rasul Paulus yang terberkati… dimahkotai dengan kematian yang agung bersama dengan Petrus di kota Roma pada jaman Kaisar Nero… keduanya sama-sama mengkonsekrasikan Gereja Roma kepada Kristus Tuhan; dan dengan kehadiran mereka  dan dengan kemenangan yang mereka capai di barisan terdepan mengatasi semua yang lain di semua kota di dunia. Oleh karena itu, keuskupan/ tahta suci yang utama adalah yang dipimpin Rasul Petrus di Gereja Roma, yang tidak mempunyai noda, atau cacat atau apapun yang sejenisnya.” ((St. Damasus I, Decree of Damasus, 3, 382, dalam Jurgens, Faith of the Early Fathers 1:406))

15. Doktrin Addai (Dokumen gereja Siria 400).
“[…. Aggai yang mentahbiskan imam-imam di Siria, dibunuh sebagai martir pada saat mengajar di gereja oleh anak Abgar. Penerusnya, Palut, diharuskan ke Antiokhia untuk menerima konsekrasi episkopal, yang diterimanya dari Uskup Serapion, Uskup Antiokhia] yang juga menerima penumpangan tangan dari Zephyrinus, Uskup dari kota Roma dari penerusan penumpangan tangan dari imamat  Simon Petrus (Kepha), yang diterimanya dari Tuhan kita, ia [Petrus] yang menjadi Uskup di Roma selama 25 tahun pada masa Kaisar Nero yang bertahta di sana selama 13 tahun lamanya.” ((Doctrine of Addai di Actholic Encyclopedia (New York: Robert Appleton Co., 1909), 5:88.))

Di sini terlihat bahwa sejak awal Gereja Siria mempunyai garis apostolik, dan pemimpinnya tidak saja menerima penumpangan tangan dari keuskupan Antiokhia, tetapi juga Roma.

16. Liber Pontificalis (abad 4, disusun sekitar abad 6,7) memuat kisah Kepausan
“Pada saat yang sama Kaisar Konstantin Agustus membangun, atas permohonan Uskup Silvester, sebuah basilika bagi Rasul Petrus yang terberkati…dibaringkan di sana jenazah Petrus… Peti mati ditutup di semua sisinya dengan tembaga…. Dan di atasnya ia membangun tiang-tiang porphyry… Ia membuat atap kubah di basilika, yang dilapis emas, dan di atas jenazah Petrus yang terberkati, di atas tembaga yang menutupinya, ia memasang sebuah salib dari emas murni, dengan berat 50 lbs…”
Adalah sangat tidak mungkin untuk meragukan bahwa pada abad ke- 4 Kaisar Konstantin memang telah membangun basilika bagi Rasul Petrus. Sebab pada saat abad 15-16, ketika basilika ini dirubuhkan untuk dibangun kembali menjadi basilika yang kita kenal sekarang, terlihat bahwa batu- batu bata yang digunakan memiliki cap Kaisar Konstantin abad ke-4. Pada tahun 1594, saat sedang menggali untuk pondasi untuk altar, para penggali menemukan lubang yang dalam, dan ketika disinari, terlihatlah sebuah salib emas [seperti deskripsi di atas] yang terletak di dasar lantai yang gelap. Paus Klemens VIII, yang dipanggil untuk menyaksikannya, memerintahkan agar lubang ditutup kembali …. Penemuan itu menunjukkan bahwa basilika tersebut memang telah dibangun di abad ke-4, untuk menghormati tempat Petrus dibunuh sebagai martir. ((lihat James Shotwell and Louise Ropes Loomis, The See of Peter, (1927, reprint, New York: Columbia Univ. Press, 1991), 102-3)).

17. Catalogus Liberianus (ditulis 354)
“….setelah kenaikan-Nya Petrus yang terberkati mendirikan episkopat…. Petrus, 25 tahun, 1 bulan, 9 hari, adalah Uskup dalam pemerintahan Kaisar Tiberius, dan Gaius, dan Tiberius Claudius dan Nero…. Ia [ Petrus] menderita bersama Paulus, 29 Juni, dalam pemerintahan Nero.” ((Catalogus Liberianus, dalam Shotwell and Loomis, The See of Peter, 107, ini cukup sesuai dengan kerangka tahun yang dibuat oleh Warren Carroll dalam bukunya, Founding of Christendom. Selanjutnya Catalogus Liberianus juga menyebutkan tanggal dan tempat kemartiran Petrus dan Paulus, yaitu 29 Juni, Petrus di Katakombe dan Paulus di Jalan Ostian, menurut Feriale Ecclesiae Romanae))

18. Optatus dari Milevis (370)
“Kita harus mengetahui siapa yang mendirikan tahta suci dan di mana. Kalau kamu tidak tahu, akuilah… Tetapi kamu tidak dapat memungkiri bahwa tahta suci keuskupan didirikan pertama kali di kota Roma oleh Petrus dan bahwa di sana duduklah Petrus, pemimpin dari semua rasul, yang mana ia disebut sebagai Kepha.” ((Optatus Milevis ditulis oleh Uskup Milevis dari Afrika, yang menuliskan Against Parmenian the Donatist, yang merupakan karya tulis yang menentang bidaah Donatism dan menjadi titik permulaan bagi karya St. Agustinus melawan bidaah yang sama)).

19. St. Agustinus dari Hippo (400)
“Jika urutan episkopal secara turun temurun adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan, adalah lebih lagi dalam hal kepastian, kebenaran dan keamanan, kita mengurutkannya dari Petrus sendiri, yang kepadanya, sebagai seorang yang mewakili seluruh Gereja, Tuhan Yesus berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” Petrus digantikan oleh Linus, Linus oleh Klemens, Klemens oleh Anacletus, Anacletus oleh Evaristus, Evaristus oleh Sixtus, Sixtus oleh Telesforus, Telesforus oleh Hyginus, Hyginus oleh Anicetus, Anicetus oleh Pius, Pius oleh Soter. Soter oleh, Alexander, Alexander oleh Victor, Victor oleh Zephyrinus oleh Callistus, Callistus oleh Urban, Urban oleh Pontianus, Pontianus oleh Anterus, Anterus oleh Fabian, Fabian oleh Cornelius, Cornelius oleh Lucius, Lucius oleh Stephen, Stephen oleh Sixtus, Sixtus oleh Dionisius, Dionisius oleh Felix, Felix oleh Eutychian, Eutychian oleh Caius, Caius oleh Marcellus, Marcellus oleh Eusebius, Eusebius oleh Melchiades, Melchiades oleh Sylvester oleh Markus, Markus oleh Julius, Julius oleh Liberius, Liberius oleh Damasus, Damasus oleh Siricius, Siricius oleh Anastasius. Dalam urutan ini tidak ada satupun uskup Donatist ditemukan.” ((St. Augustinus, To Generosus, Letter 53, 2 Jurgens, Faith of the Early Fathers, 3:2))

Fakta bahwa Rasul Petrus pernah ke Roma tidak pernah dipertanyakan oleh St. Agustinus. Ia malah menggunakan fakta ini untuk mendukung argumennya melawan bidaah Donatism. Suatu pertanyaan mengapa Luther dan Calvin yang sama- sama merupakan ‘murid’ St. Agustinus dan mempelajari tulisan-tulisannya, dapat mempunyai pandangan berbeda dengan St. Agustinus ini.

20. St. Hieronimus /Jerome (342- 420) yang disebut sebagai Doctor of the Church, dan ahli Kitab Suci yang terbaik di masa Gereja awal.

Simon Petrus,… saudara Andreas Rasul, dan ia sendiri adalah pemimpin para rasul, setelah menjadi uskup di Antiokhia dan pemberitaan kepada kaum Yahudi yang tersebar… di Pontus, Galatia, Kapadosia, Asia dan Bitinia, di tahun kedua pemerintahan Kaisar Claudius, pergi ke Roma untuk mengusir Simon Magus, dan mendirikan di sana tahta suci selama dua puluh lima tahun sampai tahun terakhir Nero, yaitu ke-empat belas. Oleh Nero ia dipaku di kayu salib dan dimahkotai dengan kemartiran, kepalanya di bawah terarah pada tanah, sedangkan kakinya terangkat tinggi, sebab ia berkeras bahwa ia tidak layak untuk disalibkan dengan cara yang sama dengan Tuhan-nya….Ia dikuburkan di Roma di Vatikan, dekat  Via Triumphalis, dan dirayakan dengan penghormatan seluruh dunia.” ((St. Jerome, De Viris Illustribus 1 dan 5, dalam Shotwell and Loomis, See of Peter, 115- 116))

Tidak ada seorangpun saat itu yang menentang/ menolak pernyataan historis St. Jerome. St. Jerome adalah seorang terpelajar yang sempurna (par excellence) yang belajar di Roma dan menjelajahi dunia Kristen. Ia mempunyai akses kepada dokumen-dokumen sejarah dan keterangan yang sekarang sudah punah. Maka masa 25 tahun masa kepemimpinan Petrus di Roma tidaklah dipermasalahkan oleh para ahli sejarah, yang dipersoalkan hanya kapan tepatnya masa tersebut dimulai, dan berkaitan dengan kejadian apa. ((lihat. Philip Hughes, History of the Church, 1, New York: Sheed & Ward, 1947) 64)) Nampaknya Rasul Petrus berada di Roma secara sporadis antara tahun 42 sampai 62; ia memimpin Gereja bahkan saat ia aktif melakukan perjalanan untuk menyebarkan Injil, dan melakukan tugasnya sebagai pengurus rumah tangga dari Kerajaan Allah.

Mengapa menentang fakta keberadaan Rasul Petrus di Roma?

Jelaslah dari bukti-bukti di atas ini, bahwa kenyataan bahwa Petrus memimpin Gereja Roma hanya diragukan pada jaman modern saja, yang disebabkan oleh ide “Sola Scriptura“. (Sola Scriptura sendiri sesungguhnya malah tidak Alkitabiah, karena Kitab Suci tak pernah mengajarkan tentang sola/ hanya Kitab Suci satu-satunya sebagai sumber kebenaran, selanjutnya tentang Sola Scriptura. “Sola Scriptura” adalah doktrin yang baru lahir di jaman Reformasi Protestan, di abad ke 16, walaupun dikatakan bahwa cikal bakalnya sudah ada di jaman John Wycliffe (1329- 1384) dan Jan Hus (1373- 1415), yang mengatakan bahwa ajaran yang tidak tertulis secara eksplisit di Kitab Suci tidak dapat dikatakan sebagai “mengikat” bagi semua umat beriman. Jadi mereka berpendapat bahwa karena Petrus tidak pernah mengatakan secara eksplisit bahwa ia ada di Roma (bagi mereka Babilon bukan Roma) maka Petrus tidak pernah ke Roma, atau umat tidak dapat yakin akan fakta tersebut. Mereka mengabaikan semua bukti-bukti di luar kitab Perjanjian Baru, walaupun bukti- bukti itu begitu kuat.

Mereka mengatakan hal Petrus memimpin Gereja Roma dan wafat sebagai martir sebagai cerita dongeng/ legenda, seperti yang dikatakan oleh Loraine Boettner dalam bukunya Roman Catholicism. ((Lihat Loraine Boettner, Roman Catholicism (Philadelphia: Presbyterian and Reformed Pub. Co., 1962), 117)). Padahal, jika benar Rasul Petrus tidak pernah ke Roma, tentulah banyak tulisan pada jaman itu yang menyangkalnya, mengingat tulisan yang menuliskan fakta ini begitu banyaknya. Tetapi mengapa tak ada satupun tulisan pada jaman itu yang menyanggahnya? Mengapa tak ada yang menyanggah tulisan Klemens, Ignatius, Dionisius, Gaius, St. Agustinus dan St. Jerome? Jika Petrus wafat di tempat lain, mengapa tidak ada tempat/ kota lain yang mengklaim tulang- tulangnya atau dikenal sebagai tempat wafatnya Rasul Petrus? Bahkan tulisan para heretik dari Gnostics dan Ebionites di abad awal tidak pernah menempatkan lokasi lain bagi kemartiran Petrus maupun tahta suci, selain di Roma. Perlu kita mengingat bahwa meskipun penganiayaan umat Kristen di bawah pemerintahan Nero juga tidak secara eksplisit tertulis di PB, tetapi kita juga tidak dapat mengabaikan bukti/ data sejarah yang menyatakan bahwa penganiayaan yang mengerikan itu memang pernah terjadi.

Maka jika keberadaan Petrus di Roma ditolak oleh sebagian orang, umumnya karena pandangan mereka yang menentang ajaran dan otoritas Gereja Katolik. Dengan menganggap Petrus tidak pernah ke Roma, maka mereka seolah dapat beranggapan bahwa tidak pernah ada keutamaan Petrus dan tahta suci/ keuskupan Roma. Anggapan ini memaksa banyak orang untuk menentang begitu banyaknya fakta sejarah, demi mendukung tradisi baru “Sola Scriptura” itu.
Selanjutnya tentang oposisi dari pihak Protestan akan disampaikan dalam artikel selanjutnya. Namun sebagai penutup artikel bagian ke- 2 ini, mari kita membaca tulisan Oscar Cullman, seorang Protestant scholar, tentang hal ini,
“Kita tidak mempunyai bahkan sedikitpun jejak yang menunjukkan ke tempat yang lain yang dapat dianggap sebagai tempat kematian-nya [Petrus]…. Adalah hal lain yang penting di sini, bahwa di abad-abad kedua dan ketiga, ketika beberapa gereja berada dalam persaingan dengan Gereja Roma, tidak pernah terjadi satupun dari antara mereka yang menentang klaim bahwa Roma adalah tempat wafatnya Petrus sebagai martir.” ((Oscar Cullmann, Peter: Disciple, Apostle, Martyr, trans. Floyd V. Filson (Philadelphia: Westminter Press, 1953), p. 114-15))
[bersambung ke artikel Keutamaan Paus (3): Tanggapan terhadap mereka yang menentang keberadaan Petrus di Roma--Keutamaan Petrus Menurut Katolik Bagian 2)

3.Pernyatan dari saudara kita Kristen Katolik:

Harus diakui, bahwa banyak orang karena satu dan lain hal tidak percaya akan pengaruh Rasul Petrus dalam sejarah Gereja. Mereka umumnya menutup mata terhadap fakta sejarah yang begitu jelas menyatakan bahwa Rasul memang pernah tinggal di Roma, mendirikan Gereja di sana, dan akhirnya wafat sebagai martir di sana. Dewasa ini, dengan adanya akses yang semakin besar terhadap bukti- bukti sejarah dan terjemahannya, kita dapat mengetahui kenyataan yang sebenarnya, sehingga banyak para ahli dan komentator Protestan-pun mulai mengakui kebenaran ini.

Beberapa keberatan utama Protestan

Jika diperhatikan, terdapat beberapa keberatan Protestan tentang keberadaan Rasul Petrus di Roma, yang jika diringkas adalah sebagai berikut:

1. Mereka menganggap kata “Babilon” tidak sama dengan Roma.
Bukti sejarah menunjukkan bahwa pada abad- abad awal Gereja awal menggunakan kata figuratif Babilon untuk menggambarkan kota Roma. Pengertian ini tidak pernah dipertanyakan sampai pada sekitar masa Reformasi.

Allan Stibbs  seorang komentator Protestan, mengatakan, “Hanya pada dan sejak Reformasi, beberapa orang mulai condong untuk menganggap kata [Babilon di 1 Pet 5:13] secara literal mengacu kepada Babilon di Mesopotamia atau stasi militer yang bernama Babilon di Mesir.” ((The First Epistle General to Peter, Tyndale New Testament Commentaries (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1959), p. 176 ))

2. Mereka menganggap Rasul Petrus tidak pernah ke kota Roma.
Oscar Cullman, juga seorang Teolog Lutheran, mengatakan, “Pertanyaan [bahwa Rasul Petrus pernah tinggal di Roma] pertama kali diajukan di jaman abad pertengahan, [yaitu] kaum Waldensian yang memegang bahwa Alkitab hanya satu- satunya pegangan ….” ((Oscar Cullmann, Peter: Disciple, Apostle, Martyr, trans. Floyd V. Filson (Philadelphia: Westminster Press, 1953), 71)). Bagi kaum Waldensian (dipimpin oleh Peter Valdes dari Lyon, 1205-1218) dan mereka yang sepaham dengan mereka pada jaman Reformasi sekitar tiga abad setelahnya (1519- 1520), alasannya adalah: karena Kitab Suci tidak secara eksplisit mengatakan demikian.
3. Mereka menganggap Kitab Suci tidak mengatakannya.

Hal ini menjadi tanggapan umum umat Protestan yang memegang prinsip ajaran “Sola Scriptura“, sehingga apa yang tidak tertulis secara eksplisit dianggap sebagai tidak terjadi, atau dapat diragukan.

Komentar tokoh-tokoh Protestan dan bagaimana kita menanggapinya

1. Martin Luther (1483- 1546)
Ia sebenarnya menyimpulkan bahwa Babilon dalam (1 Pet 5: 13) mengacu kepada Roma. Namun ia selanjutnya mengatakan, “Tetapi saya ingin memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk menginterpretasikan ayat ini sesuai dengan apa yang dipilihnya, sebab ini tidak penting.” ((The Catholic Epistles, dalam Luther’s Works, ed. Jaroslav Pelikan (St. Louis, Mo.: Concordia Pub., 1967) 30:144))

Tanggapan kita umat Katolik:
Sesungguhnya keberadaan Petrus di Roma adalah sesuatu yang penting untuk membuktikan kepemimpinan Petrus pada Gereja awal. Sesuatu yang layak disayangkan adalah menyerahkan kepada setiap pribadi untuk menginterpretasikan ayat ini, tanpa mengindahkan bukti sejarah yang sudah dengan jelas menyatakan fakta yang sebenarnya bahwa memang Petrus pernah berada di Roma.

2. John Calvin (1509- 1564)
Dalam komentarnya terhadap teks 1 Pet 5:13, Calvin mengatakan, “Banyak dari para komentator kuno yang berpikir bahwa Roma di sini disimbolkan [dengan Babilon]. Para pengikut Paus (Papists) dengan gembira memegang komentar ini, sehingga Petrus kelihatannya sebagai sudah menjadi kepala Gereja Roma. Karakter yang buruk pada nama ini tidak menghalangi mereka asalkan mereka dapat meng-klaim gelar tersebut; tidak juga mereka mempunyai perhatian besar terhadap Kristus, asalkan Petrus ditinggalkan bagi mereka. Asalkan mereka dapat mempertahankan kursi Petrus, mereka tidak akan menolak untuk menempatkan Roma di daerah yang berhubungan dengan neraka (infernal regions). Tetapi komentar kuno ini tidak mempunyai warna kebenaran, tidak juga saya lihat bahwa ini disetujui oleh Eusebius dan lain-lainnya, kecuali bahwa mereka sudah disesatkan oleh kesalahan bahwa Petrus sudah pernah ke Roma…. adalah mungkin sekali bahwa ia [Petrus] ada di Babilon, dan ini sesuai dengan panggilannya, sebab kita mengetahui bahwa ia ditunjuk untuk menjadi rasul terutama bagi orang-orang Yahudi. Oleh karena itu, ia mengunjungi terutama bagian dunia yang terdapat sejumlah besar bangsa Yahudi.” ((Calvin, seorang bapa Teolog Reformasi, seperti dikutip oleh Stephen Ray, Upon the Rock, (San Francisco, Ignatius, 1999), p. 98-99))

Tanggapan kita umat Katolik:
Tanggapan di atas sepertinya mau mengatakan bahwa semua orang sampai abad ke 15  telah ‘tertipu’, seolah tidak ada yang mengerti fakta yang sesungguhnya, dan bahwa Calvin-lah yang mengetahui kebenaran tentang Petrus.  Calvin kelihatannya tidak menyadari akan banyaknya bukti yang menyatakan tentang fakta kehadiran Rasul Petrus di Roma. Memang mungkin ini disebabkan karena banyak dari teks-teks kuno para Bapa Gereja dan sejarahwan baru dapat diketahui dan diterjemahkan di abad-abad terakhir ini.  Pertanyaannya adalah apakah semua penulis di abad- abad awal ini menuliskan sesuatu yang salah tentang keberadaan Rasul Petrus di Roma? Jika fakta ini salah, mengapa tidak ada dokumen pada abad itu yang menentang pernyataan tersebut? Mengapa bahkan sekte sesat/ bidaah sekalipun tidak ada yang menuliskan protes tentang hal kepemimpinan Rasul Petrus di Roma? Mengapa tidak ada kota lain yang meng- klaim tulang- tulang Rasul Petrus?
Cukup menarik di sini bahwa Calvin tidak memberikan bukti yang menentang keberadaan Petrus di Roma. Ia hanya memberikan alasan bahwa sudah selayaknya Petrus berkhotbah kepada bangsa Yahudi, mengingat tugas utamanya adalah untuk mengajar umat Yahudi, dan karenanya ia tidak mungkin ke Roma. Namun alasan ini tidak tepat, sebab ahli sejarah Paul Johnson mengatakan bahwa diaspora (penyebaran bangsa Yahudi) terjadi sangat cepat pada abad pertama. “Strabo, seorang ahli geografi Roma (60BC- 21AD) mengatakan bahwa bangsa Yahudi adalah sebuah kekuatan bagi seluruh dunia yang berpenghuni…. Mereka telah berada di Roma, selama 200 tahun dan saat itu telah membentuk koloni yang substansial di sana; dan dari Roma mereka telah menyebar ke seluruh kota di Italia, dan lalu ke Gaul dan Spanyol dan menyeberangi laut ke barat laut Afrika.” ((Paul Johnson, A History of the Jews (New York: Harper & Row, 1987), 132)).

Kenyataannya, pengaruh orang-orang Yahudi begitu kuatnya di Roma, sehingga Suetonius mengatakan, “Karena orang-orang Yahudi terus membuat gangguan atas pengaruh ‘Chrestus’, Claudius (41-57) mengusir orang-orang Yahudi ini dari Roma.” ((Eerdman’s Handbook to the History of Christianity, ed. Tim Doley (Grand Rapids, Michigans: Eerdmans, 1977), p. 53)). Para ahli sejarah memperkirakan bahwa pada sekitar tahun 49 terjadilah pengusiran orang-orang Yahudi tersebut, di mana para penguasa Roma saat itu mengira bahwa Petrus adalah ‘Chrestus’ yang mendirikan agama Kristen. (lihat Kis 18:12)

Selanjutnya Peter Davids, seorang ahli Kitab Suci Protestan, mengkoreksi Calvin, dengan mengatakan, “Secara natural memang mungkin saja ‘Babilon’ dapat berarti kota Babilon yang berada di Mesopotamia…. namun pada masa pemerintahan Claudius, komunitas Yahudi sudah meninggalkan Babilon untuk menuju ke Seleucia (Josephus, Antiquities of the Jews. 18.9.8-9), dan itu adalah kurang lebih waktu yang sama saat Petrus meninggalkan Yerusalem setelah penganiayaan yang diadakan atas perintah Kaisar Herodes Agrippa I. Selanjutnya, Babilon mulai punah/ menurun secara umum pada abad pertama sehingga pada tahun 115 bangsa Trajan menemuinya sebagai kota hantu (Dio Cassius, Roman History 68.30). Akhirnya, tidak ada tradisi Siria yang mengatakan bahwa Rasul Petrus pernah melakukan perjalanan/ tinggal di deareh Mesopotamia. Maka kemungkinan besar Rasul Petrus tidak ada di Babilon pada saat yang sama dengan Silwanus (yang kita ketahui melakukan perjalanan ke Asia kecil dan Yunani bersama dengan Paulus). Ini menyebabkan Roma sebagai satu-satunya kemungkinan. Bahwa Roma disebut sebagai Babilon telah dikenal oleh sumber- sumber kalangan Yahudi dan Kristen.” ((Peter Davids, The Epistle of Peter, The New International Commentary on the New Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1990), p 202.

3. Lorraine Boettner (1901-1990)
Karl Keating, seorang Apologist Katolik menulis, “Roman Catholicism disebut sebagai “kitab suci” dari gerakan anti Katolik di antara kaum Fundamentalis. Di buku ini posisi anti Katolik diekspresikan dengan panjang lebar. Roman Catholicism ini layak dicermati, sebab kredibilitas gerakan anti- Katolik ini telah tergantung dari kredibilitas satu buku ini.” ((Karl Keating, Catholicism and Fundamentalism (San Francisco: Ignatius Press, 1988), p. 28.))

Boettner mengatakan, “Menurut Tradisi Katolik Roma Petrus adalah Uskup pertama di Roma, dan masa pontifikatnya berlangsung selama 25 tahun dari tahun 42-67, dan ia dibunuh sebagai martir pada tahun 67…. ((Gereja Katolik tidak pernah mengeluarkan pernyataan secara definitif dan infallible tentang masa kronologis kepemimpinan Rasul Petrus.  Boettner mengutip sumber dari Confraternity Bible, tentang 1 Peter, namun data ini hanya dimaksudkan sebagai garis besar dan merupakan interpretasi berdasarkan penyelidikan sejarah, dan bukan pernyataan resmi Gereja Katolik. Yang diajarkan oleh Gereja Katolik adalah bahwa Yesus mempercayakankan kepemimpinan kepada Rasul Petrus, sebagai “Batu Karang” Gereja (lih. KGK 881), dan Paus, yaitu uskup Roma sebagai penerus Rasul Petrus merupakan sumber dan pondasi yang berkelanjutan dan kelihatan bagi kesatuan antara semua uskup dan semua umat beriman (KGK 882) )) Namun demikian, herannya, kitab Perjanjian Baru tidak mengatakan apa- apa tentang kepemimpinan Petrus sebagai uskup. Perkataan Roma disebutkan selama sembilan kali di Kitab Suci dan tidak pernah disebutkan Petrus berkaitan dengannya…. Tidak ada bukti di kitab Perjanjian Baru atau bukti sejarah apapun yang mengatakan bahwa Petrus berada di Roma. Semuanya hanya legenda… Tetapi tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ‘Babilon’ berarti ‘Roma’.” ((Lorraine Boettner, Roman Catholicism, Philadelphia: Presbyterian and Reformed Pub,, 1962) p. 117, 120))

Tanggapan kita umat Katolik:
Selayaknya kita bertanya bukti seperti apa lagi yang dikehendaki oleh Boettner, karena sesungguhnya bukti-bukti itu sudah sangatlah jelas untuk melihat contohnya. Apakah Boettner menganggap bahwa semua pengajaran Bapa Gereja pada abad- abad awal sebagai legenda? Jika ya, mengapa ia mempercayai doktrin mengenai Trinitas, ke-Allahan Yesus dan kanon Kitab Suci yang ditetapkan oleh para Bapa Gereja di abad- abad awal?

Walaupun Kisah Para Rasul menceritakan hal-hal yang terjadi dalam tiga dekade pertama setelah kenaikan Yesus ke surga, harus tetap diakui, ada banyak hal-hal yang tidak sempat tertulis di sana. Tahun- tahun Rasul Petrus tidak tertulis di sana, sama seperti detail pelayanan para rasul yang lainnya. Namun para jemaat pertama tersebut mengetahui bahwa sumber kebenaran iman tak melulu tergantung dari “kitab suci” semata, karena pada saat itu Kitab Suci juga belum secara mudah mereka dapatkan. Mereka bertumbuh di dalam iman melalui pengajaran lisan para rasul dan para Bapa Gereja. Maka sesungguhnya di sini, bukan tugas umat Katolik untuk membuktikan keberadaan Rasul Petrus di Roma, karena bukti dan tulisan-tulisan para Bapa Gereja telah sedemikian jelasnya membuktikan hal tersebut. Seharusnya mereka yang menentang kebenaran ini yang harus memberikan bukti/ sumber yang menentangnya, dan inilah yang tidak pernah ada.

Jadi, menarik untuk diamati bahwa seperti halnya Calvin, Boettner juga tidak menyertakan sumber ataupun tradisi mana yang mendukung keyakinannya, yang menentang keberadaan Petrus di Roma. Ia hanya menyatakannya pandangannya untuk mendukung paham Fundamentalis, dan menutup mata terhadap segala bukti yang menunjukkan sebaliknya.

4. Harry A. Ironside (wafat 1951) dan Jimmy Swaggart (1935-)
Ironside adalah pastor dari Moody Memorial Church dan Swaggart adalah seorang pengarang dan tele-evangelist. Keduanya adalah penulis dan pengkhotbah yang menentang keberadaan Petrus di Roma. Swaggart mengatakan, “Petrus mungkin pernah mampir atau mengunjungi Roma, tetapi tidak ada tanda bukti Alkitabiah untuk mengkonfirmasi hal ini…. [Mengacu kepada surat Rasul Paulus kepada umat di Roma] Karena Petrus tidak disebutkan di sini oleh Paulus, maka dapat disimpulkan dengan kepastian bahwa ia tidak berada di sana pada saat itu! Ini tentu merendahkan pondasi dari jalur apostolik dari uskup Roma. Jika Petrus berada di Roma sebagai uskup (seperti diklaim oleh Gereja Roma) ia akan disapa pertama kali oleh Paulus! Oleh karena itu adalah buang-buang waktu untuk memperhitungkan teori yang tak berdasar ini….!” ((Jimmy Swaggart, Catholicism & Christianity (Baton Rouge, La. :Jimmy Swaggart Ministries, 1986) 23-24))

Tanggapan kita umat Katolik:
Baik Ironside maupun Swaggart hanya mendasarkan pandangannya dari apa yang tertulis di Kitab Suci saja, tanpa memperhatikan bukti- bukti sejarah lainnya yang menunjukkan dengan sangat kuat tentang keberadaan Petrus di Roma. Mereka, seperti tokoh Protestan lainnya, hanya berpegang pada paham “silence in Scripture” tanpa memberikan bukti sumber lainnya yang mendukung pandangan mereka. Dengan demikian, mereka hanya mengatakannya atas dasar pandangan pribadi, dan mengabaikan fakta sejarah umat Kristen.

Mengapa Petrus tidak disebutkan dalam Surat kepada jemaat di Roma

Kenyataan bahwa Petrus tidak disebut di dalam surat rasul Paulus kepada jemaat di Roma, itu tidak menjadi bukti yang kuat bahwa Petrus tidak ada/ tidak pernah ke Roma. Terdapat beberapa kemungkinan mengapa nama Petrus tidak disebutkan di sini: ((Michael Grant, Saint Peter (New York: Scribner’s, 1995)p. 147-151))

1. Rasul Petrus melakukan perjalanan dengan sangat ekstensif pada saat itu.
Maka dapat diperkirakan bahwa ia mengadakan perjalanan ke daerah-daerah yang lain sementara menggunakan Roma sebagai “home base“, atau ia membantu Gereja dari daerah lain. Karena ia diberi tugas untuk mengabarkan Injil kepada umat Yahudi, maka ia akan merasa wajib untuk mengunjungi daerah-daerah di mana ada kaum diaspora Yahudi. Dalam hal ini Roma merupakan kemungkinan besar, karena sejumlah besar kaum Yahudi di sana. Roma yang juga adalah pusat kerajaan Romawi, juga menjadi pusat Gereja. Kita ketahui dari surat Rasul Paulus bahwa Rasul Petrus melakukan perjalanan untuk pewartaan Injil, disertai oleh istrinya (1 Kor 9:5).

2. Juga, kemungkinan pada tahun 49, Rasul Petrus, bersama dengan orang- orang Yahudi lainnya diusir keluar Roma oleh Kaisar Claudius, dan hanya menyisakan sejumlah jemaat Kristen non- Yahudi. Kita mengetahui dari bukti sejarah bahwa pada tahun itu terjadi kesalahpahaman dari pihak Kaisar Roma (Claudius) bahwa terjadi keributan yang disebabkan oleh seorang “Chrestus”, yang kemungkinan mengacu pada Kristus, di mana Petrus adalah pemimpinnya, yang dianggap sebagai sekte Kristus Yahudi oleh pemimpin kerajaan Roma. Keadaan ini ditulis juga di Kis 18:12. ((Lihat. Suetonius, Life of Claudius, “The Twelve Caesars”, chap. 25, sect 4)

3. Penganiayaan umat Kristen adalah suatu realitas yang mengenaskan pada abad pertama; dan bahwa pasti ada hukuman mati bagi seseorang yang menjadi uskup di Roma. ((Selama 250 tahun Kaisar Romawi berusaha menghancurkan agama Kristen melalui penganiayaan. Ketakutan Kaisar Roma seperti yang dikatakan oleh Kaisar Decius adalah, “Lebih baik bagiku untuk menerima kabar saingan terhadap tahtaku daripada sebuah kabar adanya uskup Roma yang baru.” (seperti dalam Christian History, issue 27, “Persecution in the Early Church” (1990, vol. IX., no. 3) p.22. Tak heran bahwa selama 200 tahun semua Paus, kecuali satu, wafat sebagai martir (lihat Fr. Frank Cachon dan Jim Burnham, Beginning Apologetics 1, Farmington, NM: San Juan Catholic Seminars 1993-1998), p. 17))  Tak ada seorang Kristen-pun yang ingin mengekspos Petrus atau pemimpin yang lain terhadap ancaman hukuman ini, membuat mereka menjadi sasaran bagi kerajaan Roma. Dengan demikian, adalah bijaksana bagi rasul Paulus untuk tidak menyebutkan Rasul Petrus dalam suratnya yang dapat jatuh ke tangan penguasa Roma, sebab jika tidak, pendirian Gereja di Roma akan menjadi berantakan jika dokumen itu jatuh ke tangan orang Roma yang membenci Gereja. “Orang- orang Kristen saat itu sangat berhati-hati untuk tidak membiarkan gerakan-gerakan dan tindakan- tindakan para Uskup mereka diketahui oleh pihak penguasa negara pagan tersebut. Pernyataan Rasul Paulus bahwa ia tidak akan membangun pada ‘pondasi yang sudah diletakkan oleh orang lain’ adalah referensi yang cukup memadai bagi mereka yang kepadanya surat itu dituliskan. ((Leslie Rumble, Radio Replies, ed. with Charles M/ Carty (1938: reprint, Rockford, III: TAN Books, 1979), 2:92)).

4. Ada kemungkinan, Rasul Paulus menuliskan suratnya kepada sebuah kelompok khusus dalam komunitas Kristen di Roma. Sebab di sini ia tidak menyebut komunitas tersebut sebagai ‘Gereja’ seperti yang disebutkan pada surat- suratnya yang lain, namun hanya secara umum ‘semua yang di Roma’.

5. Seperti telah disebutkan di point 3, ada kemungkinan juga Rasul Paulus sudah menyebutkan Rasul Petrus walau secara terselubung, “….aku telah memberitakan sepenuhnya Injil Kristus. Dan dalam pemberitaan itu aku menganggap sebagai kehormatanku, bahwa aku tidak melakukannya di tempat-tempat, di mana nama Kristus telah dikenal orang, supaya aku jangan membangun di atas dasar, yang telah diletakkan orang lain, …Itulah sebabnya aku selalu terhalang untuk mengunjungi kamu. Tetapi sekarang, karena aku tidak lagi mempunyai tempat kerja di daerah ini dan karena aku telah beberapa tahun lamanya ingin mengunjungi kamu, aku harap dalam perjalananku ke Spanyol aku dapat singgah di tempatmu dan bertemu dengan kamu, sehingga kamu dapat mengantarkan aku ke sana, setelah aku seketika menikmati pertemuan dengan kamu.” (Rom 15: 19-20, 22-24) Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang rasul yang lain telah membangun Gereja (lih. Ef 2:20) di Roma. Karenanya Rasul Paulus percaya bahwa Gereja di Roma telah dibangun dengan baik, dan hanya bermaksud singgah saja dalam perjalanannya ke Spanyol (Rom 15:24, 28).

Menarik di sini untuk melihat bahwa Calvin telah menolak bahwa Rasul Petrus pernah ke Roma, dan menyebutkan bahwa yang tidak setuju dengannya sebagai ‘tersesat’. Namun dalam komentarnya terhadap ayat 1 Kor 15 tersebut, Calvin mengatakan, “… kita dapat menganggap bahwa para rasul adalah para pendiri Gereja, sementara para pastor yang meneruskan mereka mempunyai tugas untuk menjaga dan meningkatkan struktur yang telah didirikan oleh mereka (para rasul). Rasul Paulus mengacu kepada pondasi yang telah didrikan oleh seorang  rasul lainnya sebagai ‘pondasi yang diletakkan oleh orang lain’. ((Calvin’s New Testament Commentaries, trans. T.H. L. Parker (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1965)). Maka memang pertanyaannya adalah siapakah rasul lain yang sudah mendirikan Gereja di Roma sebelum Rasul Paulus mengunjungi Roma? Tentunya ini mudah dijawab dan diketahui seandainya seseorang mau mempelajari Kitab Suci dan kaitannya dengan fakta sejarah dan tulisan para Bapa Gereja, bahwa ‘seorang rasul lain’ yang telah mendirikan Gereja di Roma, adalah Rasul Petrus.

Di atas adalah beberapa kemungkinan yang dapat terjadi, sehingga Rasul Petrus tidak dituliskan di dalam surat Rasul Paulus kepada umat di Roma. Kita harus mengakui bahwa Kitab suci memang secara relatif tidak menuliskan banyak tentang akhir hidup para rasul, termasuk di antaranya tahun- tahun terakhir Rasul Petrus dan Paulus. Di sinilah peran sejarah dan tradisi Gereja awal untuk menjelaskannya. Tradisi ini tidak dipermasalahkan selama 16 abad, dan baru setelah ada Reformasi, keberadaan rasul Petrus di Roma dan keutamaannya sebagai pemimpin para rasul dipertanyakan.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, mari melihat kepada kutipan berikut ini
1. Encyclopedia Britannica memberi komentar terhadap ekskavasi/ penggalian di Roma, yang mengkonfirmasi keyakinan jemaat Kristen awal bahwa Rasul Petrus dibunuh sebagai martir di Roma dan dikuburkan di Roma di bawah basilika St. Petrus, yang dulunya adalah bukit Vatikan dekat dengan Nero’s Circus. John Evangelist Walsh, dalam bukunya The Bones of St. Peter, memberikan penjabaran lengkap tentang penggalian selama 30 tahun di bawah Vatikan dan penemuan serta otentifikasi dari tulang-tulang Rasul Petrus. ((John Evangelist Walsh, The Bones of St. Peter, (Garden City, N.Y: Image Books, 1985)). Oscar Cullman, seorang Teolog Lutheran mengatakan, “Penggalian-penggalian tersebut menyatakan bukti yang mendukung laporan bahwa tempat pelaksanaan hukuman mati Rasul Petrus adalah di daerah Vatikan.” ((Oscar Cullman, Peter: Disciple, Apostle, Martyr, trans. by Floyd V. Filson (Philadelphia: Westminster Press, 1953), 152))

2. Oscar Cullman mengatakan, “Dalam periode mendatang, penolakan terhadap tradisi Roma tentang Petrus secara umum sudah hampir tidak ada lagi. Orang- orang seperti Ernest Renan menganggap sebagai suatu fakta bahwa Petrus pernah berada di Roma. Tahun 1897, Teolog Protestan dan sejarahwan A. Harnack menuliskan pernyataan yang jelas bahwa penolakan terhadap keberadaan Petrus di Roma sebagai ‘sebuah kesalahan yang begitu jelas sekarang bagi setiap scholar yang tidak buta’….” Akhirnya Cullman menyimpulkan bahwa bahkan di antara umat Protestan, “kecenderungan umum adalah untuk menerima bahwa Petrus [pernah] tinggal di Roma.” ((Oscar Cullman, Peter, 74-77). Jadi kesimpulannya, menurut Cullman, “…sepanjang hidupnya, Petrus memegang posisi yang penting di antara para rasul; bahwa setelah kematian Kristus, ia memimpin gereja di Yerusalem di tahun-tahun pertama; bahwa ia lalu menjadi pemimpin misi bagi kaum Kristen Yahudi; bahwa dalam kapasitas ini, pada waktu yang tidak dapat secara persis ditentukan, tetapi kemungkinan terjadi menjelang kematiannya, ia datang ke Roma dan di sana, setelah bekerja dalam waktu yang singkat, wafat sebagai martir di bawah kekuasaan Nero.” ((Ibid., 152))

3. Akhirnya, seorang ahli Kitab Suci Protestan yang bernama F.F. Bruce menyimpulkan dengan mengutip perkataan Hans Lietzmann, demikian, “…. Semua sumber awal sekitar tahun 100 menjadi jelas dan mudah dimengerti, dan sesuai dengan konteks sejarah dan satu dengan lainnya, jika kita menerima apa yang mereka sampaikan dengan sederhana kepada kita, -yaitu bahwa Petrus datang ke Roma dan wafat sebagai martir di sana. Dugaan apapun yang lain tentang kematian Petrus [selain dari yang disebutkan di atas] menumpukkan banyak kesulitan di atas kesulitan dan tidak dapat didukung oleh satu dokumenpun.” ((Hanz Lietzmann, Petrus und Paulus in Rome (Berlin, 1927), 238, seperti dikutip oleh Bruce, dalam Peter, Stephen, James and John (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1979), 49))

[bersambung ke artikel Keutamaan Paus (4): menurut Dokumen ter-awal Gereja--Keutamaan Petrus Menurut Katolik Bagian 3 ]

4.Pernyatan dari saudara kita Kristen Katolik:
Makin dekat ke sumber, makin jelas

Banyak orang mengatakan jika semakin dekat ke sumber air, maka airnya makin jernih, atau makin dekat ke sumber terang, maka terangnya makin jelas. Demikianlah, jika kita membaca tulisan- tulisan Bapa Gereja pada abad awal, kita dapat mengetahui dengan jelas keutamaan kepemimpinan para penerus Rasul Petrus, dalam mengatur dan mempersatukan Gereja.

Memang terjadi perkembangan dalam hal kepemimpinan Paus saat ini dengan Rasul Petrus dan para penerusnya pada abad- abad pertama, namun kita harus mengakui bahwa hakekat kepemimpinan Paus sudah ada sejak awal mula. Ini seperti halnya perkembangan organik suatu tumbuhan dari biji, lalu menjadi tumbuhan yang kecil dan lama- kelamaan menjadi besar; atau pertumbuhan manusia dari bayi menjadi dewasa.

Perkembangan Gereja mula-mula

Gereja mula-mula berawal dari dua belas rasul yang ketakutan setelah pemimpin mereka dihukum mati di kayu salib (Mrk 14:50), yang kemudian kembali berkumpul dalam ketakutan setelah kebangkitan Kristus, yaitu sekitar 120 orang (Kis 1:15). Kemudian pada saat Pentakosta, Roh Kudus turun atas para rasul (Kis 2). Selanjutnya Rasul Petrus berbicara dan mengajar yang menyebabkan 3000 orang dibaptis pada hari itu (Kis 2:5, 41). Sejak saat itu anggota Gereja terus bertambah (lih. Kis 2:47). Pada sekitar sepuluh tahun sesudah Pentakosta, Gereja mulai menerima orang-orang non- Yahudi yang bertobat sebagai anggota, dimulai dari Kornelius dan seluruh anggota keluarganya (Kis 10). Maka, Gereja terus bertumbuh dan “wajah” Gereja-pun berkembang, tidak persis sama dengan saat awal yang hanya melibatkan kalangan terbatas seputar para Rasul.

Maka kita ketahui, untuk mengatur jemaat/ Gereja, ditunjuklah beberapa orang sebagai pemimpin, karena tuntutan perkembangan ini (lih. Kis 6:1-6; 1 Tim 3:8). Uskup (penilik jemaat) pertama kali disebut pada surat Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi (Fil 1:1) dan Kis 20: 28, sekitar 30 tahun setelah peristiwa Pentakosta. Gerejapun mulai menyebar ke daerah-daerah dan negara-negara lain, seperti ke Antiokhia (Kis 11:19-26). Secara internal, Gerejapun mengalami perkembangan: Ibadah  tidak lagi terbatas di sinagoga, tetapi juga ke rumah-rumah umat beriman (Rom 16: 5; 1 Kor 16:19), dan semakin menunjukkan perbedaan liturginya dengan penyembahan umat Yahudi. Melalui surat-surat Rasul Paulus kitapun mempelajari bahwa titik perhatiannya bergeser; dari keselamatan umat non-Yahudi oleh iman yang terlepas dari hukum Taurat (dalam hal ini sunat) kepada pengaturan kepemimpinan hirarki Gereja. Rasul Paulus bersama dengan para Rasul lainnya mulai mempersiapkan kepemimpinan generasi kedua untuk memastikan bahwa Tradisi para rasul dapat dilanjutkan dengan baik ke generasi berikutnya (lih. 2Tim 2:2; Kis 20:28; 1 Tim 3:2; Titus 1:5-9). Uskup (penilik jemaat) ditunjuk untuk menggantikan kedudukan para Rasul (Tit 1:5). Di sinilah kita melihat perkembangan Gereja menjadi semakin membesar, sehingga membutuhkan juga kepemimpinan yang mengaturnya dalam kesatuan.

Khotbah/ pengajaran lisan menandai hari- hari pertama Gereja awal. Pada saat itu tidak ada pengajaran tertulis, entah dari Yesus atau dari para Rasul-Nya. Pengajaran lisan ini adalah cara utama untuk meneruskan kebenaran Tuhan kepada umat-Nya (1 Tes 2:13). Perkataan lisan ini dianggap sebagai sesuatu yang mengikat umat. Ini sudah terjadi sebelum ajaran-ajaran tersebut dituliskan. Maka Rasul Paulus mengingatkan kepada jemaat pertama untuk berpegang teguh terhadap Tradisi para Rasul yang diajarkannya (lih. 1 Kor 11:2). Setelah ajaran- ajaran tersebut ditulis, maka tulisan tersebut juga mempunyai otoritas yang mengikat seperti halnya pengajaran lisan para rasul, “Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (lih. 2 Tes 2:15).

St. Klemens dari Roma dan St. Ignatius dari Antiokhia

Gereja kemudian tersebar ke seluruh daerah, dan Gereja kemudian mempunyai kata sifat, yaitu “Katolik”, untuk menjelaskan ke-universalannya, yang mencakup segala bangsa di semua daerah di sepanjang waktu. Gereja sejak awal sudah mempunyai ke-empat tandanya sejak awal mula, yaitu: satu, kudus, katolik dan apostolik, yang dinyatakan sekitar dua abad kemudian pada Konsili Nicea. Perkembangan Gereja secara organik ini tidak mengubah esensi Gereja pertama yang didirikan oleh Kristus. Di tengah tekanan- tekanan, entah dari tuntutan perkembangan, maupun dari berkembangnya ajaran- ajaran sesat ataupun penganiayaan di abad- abad awal, kepemimpinan Gereja malah menjadi semakin terbentuk. Ini seperti proses pendewasaan dari sebuah organisme yang hidup dan bertumbuh.
Berikut ini kita akan melihat dokumen Gereja yang ter-awal, yang dituliskan oleh dua orang murid rasul Petrus, yaitu yang ditulis oleh St. Klemens dari Roma dan St. Ignatius dari Antiokhia. Tradisi para Bapa Gereja mengatakan bahwa kedua orang ini ditahbiskan oleh Rasul Petrus sendiri. ((Tentang St. Klemens, Tertullian menuliskan, “Klemens ditahbiskan oleh Rasul Petrus” untuk menggantikannya sebagai Uskup Roma (Demurer against Heretics 32, 1-3, in William A Jurgens, The Faith of Early Fathers (Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 1970), 1:122). Tidak dijabarkan secara detail di sini, namun nampaknya St. Klemens setelah ditahbiskan oleh St. Petrus, tidak langsung menjadi Uskup Roma, namun Linus- lah yang menduduki posisi tersebut selama 24 tahun, dan baru kemudian St. Klemens melanjutkannya selama 9 tahun.

Sedangkan St. Ignatius, adalah, menurut tulisan St. Yohanes Krisostom, adalah penerus Rasul Petrus di Gereja Antiokhia)). St. Klemens (96) adalah Uskup Roma urutan ke-4 yaitu ketiga setelah Rasul Petrus, yang juga adalah muridnya. Origen, Eusebius dan St. Jerome mengatakan bahwa St. Klemens ini adalah Klemens yang disebut oleh Rasul Paulus dalam Fil 4:3. St. Klemens menjadi Uskup di Roma, pada jaman Rasul Yohanes masih hidup, dan ia-lah yang menulis “Surat pertama Klemens kepada jemaat di Korintus” atas nama Gereja Roma pada tahun 96. Sedangkan St. Ignatius dari Antiokhia (35- 107), adalah penerus langsung Rasul Petrus di Antiokhia, yang diarak dari kota ke kota di Kerajaan Roma, sebelum akhirnya dibunuh sebagai martir di Roma. Di tengah kondisi yang memalukan ini, sebelum wafatnya ia menulis tujuh surat kepada Gereja- gereja ((New Advent Catholic encyclopedia: Tujuh surat St. Ignatius ditujukan kepada Gereja- gereja di Efesus, Magnesia, Tralles, Roma, Philadelphia, Smyrna, dan kepada Polycarpus)), sebelum akhirnya ia dengan lapang menyerahkan nyawanya demi kasihnya kepada Yesus Penyelamatnya.

Surat pertama St. Klemens kepada jemaat di Korintus

Surat St. Klemens ditujukan kepada jemaat di Korintus yang sedang menghadapi masalah yang serius. Kesatuan jemaat terancam oleh beberapa orang yang dengan sombong mengambil peran para tertahbis (klerus) dan menentang para klerus tersebut. St. Klemens menuliskan surat untuk menegur para pelanggar aturan itu, dan mendorong jemaat untuk tetap bersatu. St. Irenaeus (202) menulis, “Pada jaman Klemens terjadi pertengkaran yang tidak kecil di jemaat Korintus, dan Gereja Roma mengeluarkan surat yang sangat berkuasa kepada jemaat Korintus, mendorong mereka untuk berdamai, memperbaharui iman mereka dan menyatakan Tradisi yang mereka terima dari para rasul.” ((St. Irenaeus, Against Heresies, 3,3,3, ANF, 1:416)). Jemaat di Korintus tidak berkeberatan terhadap surat St. Klemens, surat ini malah dibacakan secara teratur di Gereja Korintus selama berabad- abad, dan juga di Gereja-gereja lainnya. ((Eusebius, Church History 3, 16, NPNF 2, 147)) Pada jaman surat St. Klemens itu ditulis, Rasul Yohanes sebenarnya masih hidup dan tinggal di Gereja Asia sekitar 240 mil dari Korintus. Namun Rasul Yohanes tidak diminta pendapatnya untuk mengatasi masalah di Gereja Korintus. Tugas ini diemban oleh Uskup Roma yang tinggal lebih dari 600 mil dari Korintus. Bahkan surat St. Klemens ini masih sering dibacakan sampai abad ke- 3 dan ke- 4 dan dianggap sebagai salah satu kitab kanonik dalam PB menurut codex Alexandrian. ((NPNF 1,1:147, n.1))

Berikut ini adalah surat Pertama St. Klemens kepada Gereja di Korintus (96) dan  surat St. Ignatius kepada Gereja Roma (106): ((disarikan dari Stephen K Ray, Upon this Rock, (San Francisco: Ignatius Press, 1999) p. 124- 144))

A. Surat St. Klemens kepada Gereja di Korintus (96)

1. St. Klemens berbicara atas nama Gereja di Roma, dari kursi Rasul Petrus.
“Gereja Tuhan yang ada di Roma, kepada Gereja Tuhan yang ada di Korintus, kepada mereka yang dipanggil dan dikuduskan oleh kehendak Tuhan, melalui Tuhan kita Yesus Kristus: semoga dilipatgandakan kasih karunia bagimu, dan damai sejahtera, dari Tuhan yang Maha Besar melalui Yesus Kristus.”
2. St. Klemens memohon maaf kepada jemaat di Korintus.
“Saudara- saudara yang terkasih, karena bencana yang tiba- tiba meledak dengan cepat dan berturut- turut, dan karena pengalaman- pengalaman yang melanda kami, kami menjadi sepertinya lambat, kami pikir, dalam memberikan perhatian kepada perselisihan yang terjadi dalam komunitas-mu.”
Masa kepemimpinan Klemens sebagai Paus adalah dalam periode pemerintahan kaisar Domitian yang terkenal sangat kejam dalam penganiayaan umat Kristiani di Roma (sekitar 51-96). Memang tidak ditemukan bukti permohonan Gereja di Korintus kepada Gereja Roma untuk menyelesaikan perselisihan di antara Gereja Korintus. Namun sebagai Uskup Roma, St. Klemens menganggap hal ini sebagai tugasnya. Ia meminta maaf bukan karena ia mencampuri/ mengatur urusan Gereja Korintus, tetapi ia minta maaf karena tidak menulis surat lebih awal untuk mengatasi perselisihan ini.

3. St. Klemens mengajarkan tentang jalur apostolik.
“Para rasul mengkhotbahkan Injil yang mereka terima dari Kristus kepada kita, dan Yesus Kristus adalah Duta Tuhan. Dengan perkataan lain, Kristus datang dengan pesan Tuhan, dan para Rasul dengan pesan Kristus. Karena itu, kedua pengaturan ini terjadi atas kehendak Tuhan. Jadi setelah menerima perintah dan dijamin sepenuhnya melalui kebangkitan Tuhan Yesus Kristus…. mereka pergi… dari negeri ke negeri…dan dari kota ke kota, mereka mengajar, dan dari antara pengikut yang pertama para Rasul menunjuk mereka yang telah mereka uji dengan Roh Kudus, untuk bertindak sebagai para uskup dan diakon bagi umat. Dan ini bukanlah inovasi, sebab telah lama sebelum Kitab Suci berbicara tentang para uskup dan diakon; dikatakan bahwa: “Aku akan mendirikan kepemimpinan mereka dalam hal pelaksanaan hukum dan pelayanan mereka dalam kesetiaan.” Para rasul, juga telah diberi pengertian oleh Tuhan Yesus Kristus bahwa jabatan uskup dapat menimbulkan hal- hal yang penuh intrik. Untuk alasan ini, dilengkapi dengan pengetahuan, mereka menunjuk orang- orang seperti yang telah disebutkan di atas, dan kemudian memberlakukan ketentuan sekali untuk selamanya demikian: ketika orang- orang ini meninggal dunia; orang- orang lain yang telah disetujui harus melanjutkan tugas pelayanan suci mereka. Akibatnya, kami menganggapnya sebagai suatu ketidakadilan, [jika] orang-orang yang telah ditunjuk oleh mereka atau selanjutnya, dengan persetujuan seluruh Gereja, dikeluarkan dari pelayanan suci, untuk digantikan oleh orang- orang lain dengan reputasi yang tinggi.”
4. St. Klemens mengajarkan tentang otoritas dari Tuhan.
“Terimalah nasihat kami, dan kamu tidak akan menyesal. Sebab selama Tuhan hidup, dan Tuhan Yesus hidup, dan Roh Kudus, … demikianlah ia, yang dengan kerendahan hati dan bergegas dalam kelemahlembutan, tanpa menyesal, telah melaksanakan perintah- perintah yang diberikan oleh Tuhan [melalui kami], menjadi terdaftar dan namanya terletak di antara mereka yang diselamatkan melalui Yesus Kristus… tetapi jika orang- orang tertentu menjadi tidak taat akan kata- kata yang diucapkan oleh Dia [Yesus Kristus] melalui kami, biarlah mereka mengerti bahwa mereka akan menyusahkan diri sendiri di dalam pelanggaran yang tidak kecil dan bahaya; tetapi kami tidak bersalah atas dosa ini.”
5. Klemens mensyaratkan ketaatan terhadap suratnya ini.
“Sebab kamu akan memberikan suka cita yang besar dan kegembiraan, jika kamu memberikan ketaatan kepada hal- hal yang dituliskan oleh kami melalui Roh Kudus, dan cabutlah kemarahan yang tidak benar dari kecemburuanmu, sesuai dengan permohonan yang telah kami buat demi damai sejahtera dan perjanjian di dalam surat ini.”
Surat St. Klemens mengklaim bahwa ia berbicara dengan otoritas dari Roh Kudus. Ini menyerupai klaim yang dibuat oleh Rasul Paulus dalam 1 Tes 2:13. Surat Klemens ini merupakan bukti supremasi Paus di abad pertama. Tidak ada protes dari siapapun terhadap surat ini; sebaliknya, St. Irenaeus dan St. Ignatius memuji surat ini, dan jemaat Korintus menghargainya dan membacanya dalam Ibadah suci mereka pada hari Minggu (hati Tuhan) selama bertahun- tahun sesudahnya. ((lih. Luke Rivington, The Primitive Church and the See of Peter, (London: Longmans, Green and Co., 1894) p.9))

6. St. Klemens dan Gereja Roma mengirimkan utusan ke Korintus
Bergegaslah dan kirimkan utusan kami, Klaudius Efebus, Valerius Vito, dan Fortunatus, kembali kepada kami dengan damai dan suka cita, sehingga kabar tentang perjanjian dan kesatuan yang kami doakan dan kami rindukan dapat sampai kepada kami secepatnya, dan kami dapat segera bersuka cita karena  kembalinya keteraturanmu. Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus bersamamu, dan dengan setiap dan semua orang di manapun yang telah dipanggil oleh Allah melalui Dia, dan melalui Dia, kemuliaan dan hormat bagi Tuhan dengan kekuatan, kebesaran, dan kekuasaan yang kekal dari segala abad, sekarang dan selama- lamanya. Amin.”

Beberapa komentar tentang surat St. Klemens

1. Buku The Shepherd of Hermas yang sering kali dianggap sebagai karya literatur Kristen yang sangat berharga di abad ke- 2 mengajarkan bahwa Gereja awal melihat Uskup Roma mempunyai tanggung jawab untuk kesejahteraan dam kesatuan komunitas Kristiani secara keseluruhan. Ia [Uskup Roma] adalah penerus Rasul Petrus dan memenuhi peran sebagai gembala di Gereja. ((lih. The Shepherd of Hermas, Vision 2,4, in The Apostolic Fathers, trans. Francis X Glimm, Gerald G. Walsh, SJ and Joseph M. F Marique SJ, The Fathers of the Church, vol. 1 (Washington, DC: Catholic Univ. of America Press, 1981), 241-242))

2. Dionysius menyatakan pentingnya surat St. Klemens yang masih dibacakan di hadapan jemaat Korintus sampai abad berikutnya. Pada akhir abad ke- 2, Dionysius menulis surat kepada Paus Soter, Uskup Roma, demikian:
“Hari ini adalah hari Tuhan, kami menguduskannya, dan membaca suratmu [Paus Soter], yang harus kami baca berkali- kali karena pengajaran yang berharga, seperti halnya surat yang dituliskan oleh Klemens atas namamu.” ((Eusebius, The History of the Church 4, 23, trans. G.A. Williamson (Harmondsworth, Middlesex, England: Penguin Books, 1965), 132)) Atas namamu” di sini maksudnya adalah atas nama Gereja Roma. Perkataan Dionysius ini menunjukkan adanya sikap dari uskup- uskup yang mengakui otoritas dan tanggungjawab Paus/ uskup Roma.

3. Eusebius, seorang sejarahwan, juga menuliskan pentingnya surat Klemens.
“Rasul ini (Paulus) di dalam suratnya kepada jemaat di Filipi memberitahukan pada kita bahwa Klemens adalah kawan sekerja-nya….”…bersama-sama dengan Klemens dan kawan-kawanku sekerja yang lain, yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan.” (Flp 4:3)… Ia (Klemens) menulis atas nama Gereja Roma kepada Gereja Korintus, ketika terjadi pemberontakan di Gereja Korintus…. dan [kejadian pemberontakan ini] mengacu kepada [kesaksian] Hegesippus, saksi yang dapat dipercaya. ((Eusebius, The Church History 3, 15-16, NPNF 2, 1:147)).

4. Sejarahwan Protestan, Philip Schaff menulis,
“Contoh pertama perihal otoritas Paus ditemukan pada akhir abad pertama di dalam surat Uskup Roma, Klemens … Adalah sukar dipungkiri bahwa dokumen tersebut menjabarkan superioritas tertentu di atas semua kongregasi biasa. Di sini, Gereja Roma, tanpa diminta (seperti kelihatannya), memberikan nasihat, dengan kebijaksanaan administratif yang superior, kepada sebuah gereja penting di Timur, mengirimkan utusan-utusannya, dan memerintahkan keteraturan dan kesatuan dengan nada yang tenang berwibawa dan penuh otoritas, seperti alat Tuhan dan Roh Kudus. Ini menjadi lebih mengejutkan jika Rasul Yohanes, seperti kelihatannya, masih hidup di Efesus, yang lebih dekat dengan Korintus daripada Roma.” ((Phillip Schaff, History of the Christian Church (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1980), 2:157-158)).

B. Surat St. Ignatius kepada jemaat di Roma (106)

Latar belakang surat ini dikisahkan oleh Eusebius. St. Ignatius adalah Uskup Antiokhia yang kedua setelah Rasul Petrus. St. Ignatius dikirim dari Siria ke Roma untuk menjadi mangsa/ korban binatang buas karena menjadi saksi Kristus. Pada saat ia dalam perjalanan di Asia di bawah pengawasan yang ketat… ia menguatkan paroki- paroki di kota-kota persinggahannya, di mana ia memberikan homili dan pengajaran, dan memperingatkan mereka secara khusus untuk melawan ajaran sesat yang marak pada saat itu, dan untuk secara khusus berpegang teguh pada tradisi para rasul. ((Eusebius, The Church History 3, 36, NPNF 2, 1: 166-169))
Potongan kutipan surat St. Ignatius di alinea terakhir yang menandai spiritualitasnya yang mendalam adalah sebagai berikut:
“… agar aku tidak hanya bicara tetapi sungguh akan dan tidak hanya dikatakan sebagai seorang Kristen, tetapi sungguh menjadi seorang Kristen… Aku menulis kepada semua Gereja… bahwa aku ingin mati bagi Tuhan… Aku menderita menjadi makanan bagi binatang buas, yang melaluinya aku akan mencapai Tuhan. Aku adalah gandum Tuhan, biarlah aku digiling oleh gigi- gigi binatang buas sehingga aku ditemukan sebagai roti Kristus….” ((St. Ignatius dari Antiokhia, Epistle to the Romans 3-6, ANF, 1:74-76))
1. Pendahuluan
“Ignatius, yang juga disebut Theoforus, kepada Gereja yang telah mengalami belas kasihan di dalam kebesaran Allah Bapa dan Yesus Kristus, Putera-Nya yang tunggal, yang mengatasi segalanya, Gereja yang dikehendaki oleh Dia yang menghendaki semua yang ada, yang terkasih dan yang diterangi melalui iman dan kasih Yesus Kristus Tuhan kita; yang memimpin di tempat terutama dalam kekuasaan Roma, sebuah Gereja yang layak bagi Tuhan, layak dihormati, layak diberi ucapan selamat, layak dipuji, layak menerima sukses, layak menerima pengudusan, dan memimpin di dalam kasih, mempertahankan hukum Kristus, dan mengemban nama Allah Bapa: kepadanya [Gereja Roma] aku memberi hormat di dalam nama Yesus Kristus Putera Bapa. Ucapan selamat dari hati karena sukacita yang tak tertandingi di dalam Yesus Kristus Tuhan kita, kepada mereka yang dipersatukan di dalam daging dan roh dengan setiap perintah-Nya; yang tetap menikmati kepenuhan kasih karunia Allah dan dijauhkan dari setiap noda asing.”
St. Ignatius menuliskan surat kepada tujuh Gereja, ((St. Ignatius menuliskan surat kepada Gereja- gereja di Efesus, Magnesia, Tralles, Roma, Philadelphia, Smyrna, dan kepada Polycarpus)) namun pembukaan surat kepada Gereja Roma sungguh menunjukkan kata pujian yang tidak dapat dibandingkan dengan surat- suratnya yang lain. Di sini St. Ignatius mengakui bahwa Gereja Roma memimpin dengan kasih atas Gereja- gereja yang lain. Gereja Roma juga dihormati karena bebas dari ajaran sesat. Hal ini disebabkan tidak saja karena Gereja Roma menghindari ajaran sesat, namun juga sebab ia memegang keutamaan dan janji perlindungan dari Kristus sendiri. Bahkan ketika Gereja Timur diguncang ajaran- ajaran sesat seperti Arianisme, Docetisme, Nestorianisme, dst, Gereja Roma selalu bebas dari noda heresi tersebut.

2. Gereja Roma memimpin dengan kasih atas Gereja Antiokhia
St. Ignatius dicabut dari kepemimpinannya oleh otoritas kaisar Roma, sehingga Gereja Antiokhia ditinggalkan tanpa uskup. St. Ignatius memohon kepada Gereja Roma untuk menggembalakan umat-nya meskipun Gereja Roma berjarak 1300 mil dari Antiokhia. Walaupun St. Ignatius menulis surat kepada beberapa Gereja lainnya, namun hanya kepada Gereja Roma ia mempercayakan Gereja Antiokhia, agar sama seperti Gereja Roma memperhatikan Gereja Korintus, demikian pula Gereja Roma terhadap Gereja Antiokhia. ((lih. B.C Butler, The Church and Infallibility (New York: Sheed and Ward, 1954), p.131)) Demikianlah katanya:
“Ingatlah di dalam doa- doamu, Gereja di Siria yang sekarang mempunyai Tuhan sebagai Gembalanya di tempatku. Yesus Kristus sendiri akan menjadi Uskupnya, bersama denga kasihmu.” ((St. Ignatius dari Antiokhia, Epistle to the Romans, 9, 1))
3. St. Ignatius tidak berani memberikan perintah kepada Gereja Roma
“Mohonlah kepada Kristus atas namaku, bahwa melalui sarana-sarana ini [penderitaannya] aku dapat membuktikan pengorbanan bagi Tuhan. Tidak seperti Petrus dan Paulus, aku tidak mengeluarkan perintah apapun kepadamu. Mereka adalah para Rasul, aku adalah seorang terhukum….” ((St. Ignatius dari Antiokhia, Epistle to the Romans, 4, In Clement and Ignatius, Epistle 82))
Tulisan ini tidak sama dengan isi suratnya kepada Gereja- gereja yang lain, di mana ia sering mengajarkan demikian, “Taatilah uskupmu”, “Berpartisipasilah dalam satu Ekaristi”, “Jangan terbawa oleh ajaran sesat”, “Hindarilah skisma”, dst. Namun dalam surat kepada Gereja di Roma, St. Ignatius tidak mengatakan tentang hal ini sedikitpun.
4. Gereja Roma adalah Guru bagi semua
“Engkau tidak pernah mengumpati siapapun. Engkau telah mengajar orang- orang lain. Apa yang kuinginkan adalah ajaran- ajaran yang kautanamkan dalam inisiasi para murid tetap berlaku…” ((St. Ignatius dari Antiokhia, Epistle to the Romans, 3,2, In Clement and Ignatius, Epistle 81)).
Di sini St. Ignatius mengakui bahwa Gereja Roma- lah yang mengajar Gereja- gereja yang lain, termasuk gereja-gereja Timur -kemungkinan Ia mengacu kepada surat St. Klemens- padahal Gereja Roma menerima Injil dari Timur, yaitu melalui pewartaan para Rasul. Antiokhia, tempat asal St. Ignatius adalah pusat Kristianitas yang pertama, yang terbentuk karena penganiayaan di Yerusalem dan kehancuran Yerusalem. Namun Ignatius sebagai Uskup Antiokhia tidak memerintah atas Gereja Roma tetapi malah memujinya karena telah mengajarkan jemaat/ Gereja yang lain.

Beberapa komentar tentang surat St. Ignatius

1. Eusebius menyatakan pentingnya surat Ignatius
Eusebius menulis sejarah pada saat yang berdekatan dengan masa Bapa Gereja di abad awal dan beberapa kali mencantumkan nama St. Ignatius.

“Pada saat itu Papias, uskup Hierapolis menjadi terkenal, demikian juga Ignatius, yang dipilih menjadi uskup Antiokhia, kedua setelah Petrus,… Irenaeus juga menyebutkan kemartiran Ignatius dan surat- suratnya … Polycarpus juga menyebut surat- surat St. Ignatius ini dalam suratnya kepada jemaat di Filipi: “…. Karena itu aku menasihatkan kamu, untuk taat dan melaksanakan dengan semua kesabaran seperti yang kamu lihat dengan matamu sendiri, tidak hanya pada yang terberkati Ignatius, Rufus dan Zosimus, tetapi juga pada orang- orang lain di antara kamu sendiri… dan bahwa mereka pergi kepada tempat yang disediakan bagi mereka di samping Tuhan, yang dengan-Nya mereka telah menderita… Surat- surat Ignatius yang dikirimkan kepada kami dan umat yang lain…kami kirimkan kepadamu… Surat- surat itu melengkapi surat ini, dari surat- surat itu kamu akan memperoleh keuntungan besar. Sebab mereka menunjukkan iman dan kesabaran dan pengajaran yang berkaitan dengan Tuhan kita….”((Eusebius, The Church History, 3, 36 in NPNF 2, 1:166-169))
Jemaat awal menghormati St. Ignatius, untuk kekudusan hidupnya dan kesetiaannya kepada pengajaran Yesus Kristus.

2. St. Yohanes Krisostomus menghormati Ignatius dan tahbisan apostoliknya
“[Ignatius] memimpin Gereja di antara kita dengan terhormat, dan dengan kehati- hatian seperti yang dikehendaki oleh Kristus … Ia telah melakukan perbincangan yang sungguh dengan para rasul, dan meminum mata air rohani. Orang seperti apakah yang telah dibimbing, dan yang di manapun berbincang- bincang dengan mereka [para rasul] dan telah mengalami kebenaran- kebenaran….? Ignatius kelihatan layak mengemban jabatannya yang agung, bahwa ia memperolehnya dari para orang kudus itu, dan bahwa tangan- tangan para Rasul telah menyentuh kepalanya yang kudus … Aku telah menyebut Petrus, ini adalah seorang yang telah menggantikan jabatan setelahnya [di Antiokhia].

3. Adolf Harnack, seorang teolog Protestan mengatakan:
“… tetaplah jelas bahwa Ignatius menunjukkan de facto keutamaan Gereja Roma di antara gereja- gereja lainnya, dan bahwa ia [Ignatius] mengetahui kegiatan habitual yang penuh energi dari Gereja ini dalam hal melindungi dan mengajar gereja- gereja yang lain.” ((Dogmengescihchte, 4 th ed., p.486, seperti dikutip dalam Steven Ray, Upon This Rock, p. 141))
4. Nicholas Afanassieff,  seorang teolog Orthodox juga mengakui keutamaan Gereja Roma dalam bukunya, The Primacy of Peter, walaupun kemudian Gereja Timur tidak setuju dalam hal bentuk aktualnya.

“Ia [Ignatius] menggambarkan gereja- gereja lokal tergabung dalam kongregasi ekaristik dengan setiap gereja dalam cara yang khusus, dan Gereja Roma dalam kedudukannya, berada di ‘tempat utama’. Sehingga, kata Ignatius, Gereja Roma memang mempunyai prioritas di dalam seluruh kumpulan gereja- gereja yang disatukan oleh perjanjian kesepakatan. Kita tidak diajarkan oleh Ignatius (atau oleh Klemens) mengapa Gereja Roma harus memimpin, dan mengapa bukan gereja yang lain. Bagi Ignatius hal itu sepertinya sudah nyata sendiri dan sepertinya seperti membuang- buang waktu untuk membuktikannya. Pada masa itu tidak ada gereja lain yang mengklaim peran ini, yang dimiliki oleh Gereja Roma.” ((seperti dikutip dalam John Meyendorff, ed. The Primacy of Peter, (New York: St. Vladimir’s Seminary Press, 1992), p. 127))

Lalu Afanassieff membatasi apa yang disebut sebagai prioritas ini, namun ini tidak mengubah kenyataan bahwa terdapat sebuah prioritas Gereja Roma dibandingkan dengan gereja- gereja yang lainnya. Gereja Timur juga seperti juga dengan Gereja Katolik mengakui adanya unsur hirarki dalam Gereja, keberadaan uskup, dan bahkan keutamaan uskup Roma dalam dunia kekristenan. Prinsip ini bertentangan dengan konsep gereja individual yang independen seperti yang banyak diyakini oleh beberapa denominasi gereja dewasa ini.

Pentingnya tulisan St. Ignatius untuk memahami ajaran Apostolik

“Adalah jelas bukan melebih-lebihkan pentingnya kesaksian yang dituliskan oleh surat- surat Ignatius tentang karakter pengajaran Kristianitas yang bersifat apostolik. Uskup Antiokhia yang wafat sebagai martir ini merupakan penghubung yang penting antara para Rasul dan para Bapa Gereja di masa Gereja awal. Menerima dari para Rasul sendiri, di mana ia menjadi auditor, tidak hanya isi dari wahyu, tetapi juga interpretasi-nya yang diinspirasikan [oleh Roh Kudus], yang terdapat pada sumber mata air Injil Kebenaran; kesaksiannya pasti membawa bersamanya kepentingan yang besar dan tuntutan agar dipertimbangkan dengan seserius mungkin. Kardinal Newman tidak melebih- lebihkan pada saat ia mengatakan bahwa “Semua sistem pengajaran Katolik dapat ditemukan, setidak- tidaknya dalam outline/ prinsip, …, dalam ketujuh suratnya ini.” ((Catholic Encyclopedia, 7:646, kutipan dari Cardinal Newman diambil dari ‘The Theology of the Seven Epistle of St. Ignatius’, in Historical Sketches, I, London, 1890))

Pengamatan yang sama juga disampaikan oleh seorang teolog Protestan, J.N.D Kelly, “… Ia [Ignatius dari Antiokhia] kelihatannya menunjukkan bahwa Gereja Roma menempati kedudukan istimewa, ia berbicara tentang “Gereja yang mempunyai keutamaan di daerah Roma’. Sesuatu dimaksudkan lebih daripada sekedar otoritas di kawasan [Roma] tersebut, sebab ia terus memberikan penghormatan kepada Gereja Roma sebagai yang memiliki: “keutamaan kasih” (a primacy of love); ekspresi yang diterjemahkan oleh beberapa orang, dengan setengah memaksa, “memimpin atas komunitas kasih” (atas Gereja universal). Apa yang dibayangkan oleh para Bapa Gereja hampir selalu adalah komunitas yang kelihatan dan empiris. Para Bapa Gereja hanya mempunyai sedikit atau [bahkan] tidak ada bayangan sedikitpun tentang pembedaan yang kemudian menjadi penting, antara Gereja yang kelihatan dan tak kelihatan.” ((J.N.D Kelly, Early Christian Doctrine (San Francisco: Harper & Row, 1978), p. 191))

Kesimpulan

Dari tulisan St. Klemens dan St. Ignatius ini, yang adalah kawan sekerja Rasul Petrus dan Paulus, kita dapat melihat secara obyektif keutamaan Gereja Roma di antara seluruh Gereja. Mungkin sudah saatnya kita mengakui bahwa kedua orang ini, yang hidup dan bekerja bersama dengan para Rasul, mengetahui pikiran para Rasul dan Gereja awal, lebih daripada kita semua yang hidup berjarak 20 abad kemudian. Jika kita harus memilih dalam hal ajaran, kepada siapakah kita akan percaya: kepada para Bapa Gereja ini yang meneruskan perkataan para Rasul yang masih terngiang di telinga mereka, ataukah kepada para pengajar modern yang mempunyai teori- teori inovatif dalam hal teologi dan ekklesiologi pada 20 abad berikutnya?

[Bersambung ke artikel berikutnya: Keutamaan Petrus selama 500 tahun Gereja awal (bagian 5)--Keutamaan Petrus Menurut Katolik Bagian 4]

5.Pernyatan dari saudara kita Kristen Katolik:

Keberatan dan Jawaban

Banyak orang yang menolak doktrin tentang keutamaan kepemimpinan dan infalibilitas Bapa Paus, mengemukakan alasannya bahwa doktrin itu tidak diajarkan pada abad- abad awal. Namun sebenarnya ini bukan argumen yang baik; sebab kita mengetahui bahwa kanon Kitab Suci dan juga doktrin tentang Allah Trinitas, juga baru dinyatakan secara definitif di abad ke-4, walaupun doktrin itu sudah ada sejak awal mula Gereja. Apakah dengan demikian artinya Tuhan Yesus tidak dengan jelas mengajarkan tentang Trinitas dan ajaran yang dituliskan dalam Kitab Suci? Tentu saja tidak. Kedua hal itu, termasuk juga hal kepausan telah ada di dalam Kitab Suci seperti halnya sebuah embrio, yang terus mengalami pertumbuhan organik di dalam Gereja. Ini seperti pertumbuhan biji menjadi pohon yang rimbun (lih. Mat 13:31-32).

Keberatan lainnya berkaitan dengan hal otoritas. Seperti halnya di bidang lain -bisnis, keluarga dan organisasi- hal otoritas dapat menjadi akar dari perselisihan; tak terkecuali juga dengan Gereja. Otoritas Gereja ditentang dari semua segi. Kita sering mendengar pandangan yang demikian, “Gereja Katolik memerlukan pemimpin yang kelihatan bagi Gerejanya, sedangkan kami di gereja non- Katolik tidak, sebab kami mempunyai Kristus sebagai Pemimpin kami yang tidak kelihatan.” Apakah pernyataan ini benar? Sebenarnya, tidak juga, sebab kenyataannya gereja- gereja non Katolik masih tetap memiliki pastor/ pendeta (yang kelihatan) untuk memimpin gereja mereka. Apakah Kristus tidak dapat melakukan hal ini bagi mereka? Mengapa mereka tetap memiliki pemimpin yang kelihatan juga, seperti Gereja Katolik? Jawabannya sederhana saja, sebab Kristus sebagai Kepala keluarga (Ef 3:14-15), melibatkan juga kepemimpinan orang- orang tertentu yang memang telah ditugaskan-Nya untuk mengambil bagian dalam hal otoritas kepemimpinan-Nya. Ini sama seperti kepemimpinan seorang ayah dalam keluarga. Maka jika di gereja- gereja non Katolik ada pendeta pemimpin jemaat, maka sangat wajarlah jika di Gereja Katolik juga ada Bapa Paus yang menjadi pemimpin seluruh umat Katolik di dunia.

Melalui artikel seri Keutamaan Paus ini telah kita ketahui dasar Kitab Suci, bukti- bukti yang menunjukkan keberadaan Petrus di Roma, kepemimpinannya, yang jelas terlihat dalam surat- surat Bapa Gereja abad- abad awal. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Roma tidak pernah mensyaratkan pengakuan dari gereja- gereja di lainnya, sebab kepemimpinannya sudah diterima dengan damai. ((lihat J. Michael Miller, The Shepherd and the Rock, (Huntington, Ind: Our Sunday Visitor, 1995), 88)). Dari tulisan para Bapa Gereja kita ketahui bahwa jika sampai terjadi perselisihan di Gereja- gereja lokal, maka mereka akan datang kepada Uskup untuk menyelesaikannya dan akhirnya para Uskup itu akan meminta dukungan dari Roma.

Apa yang diajarkan oleh sejarah Gereja di lima abad pertama?

((disarikan dari Stephen Ray, Upon This Rock, (San Francisco: Ignatius Press, 1999), p. 145-242. Sebelum menjadi Katolik, Stephen Ray adalah seorang Evangelis non Katolik. Ia menyadari bahwa hal yang paling membedakan antara Katolik dan non- Katolik adalah hal otoritas. Maka ia mempelajari Kitab Suci dan tulisan jemaat di lima abad pertama, untuk membuktikan bahwa hal keutamaan Petrus sudah ada sejak Gereja awal.))

1. Cardinal Newman, menjelaskan demikian:

“…. ketika para rasul masih ada, maka tidak diperlukan kuasa Uskup maupun Paus, karena kuasa itu telah dilakukan oleh para Rasul itu sendiri. Sejalan dengan waktu, kuasa Uskup terlihat dengan sendirinya, dan kemudian kuasa Paus. Ketika para Rasul tidak ada lagi, dunia Kristiani tidak dengan sendirinya terbagi menjadi beberapa bagian; tetapi beberapa daerah lokal dapat mengalami perselisihan internal, dan sebagai akibatnya pemimpin lokal diperlukan… Ketika Gereja ditinggal sendiri [tanpa para rasul], gangguan lokal mengakibatkan perlunya kuasa uskup- uskup, dan gangguan ekumenikal [Gereja yang satu dengan yang lain] mengakibatkan perlunya kuasa Paus…. Adalah lebih sedikit kesulitannya bahwa keutamaan Paus tidak [belum] diakui secara resmi di abad ke-2 daripada kesulitannya bahwa tidak ada pengakuan resmi tentang doktrin Trinitas sampai abad ke-4. Tidak ada doktrin didefinisikan, sampai doktrin tersebut dilanggar.” ((John Henry Cardinal Newman, An Essay on the Development of Christian Doctrine 4,3,2 and 4, in Consciense, Consensus, and the Development of Doctrine (New York: Double Day, 1992), 157-158. Cardinal Newman adalah seorang imam gereja Anglikan, sebelum bergabung dalam Gereja Katolik, dan menjadi Kardinal )).
Maka, jika doktrin itu belum dijabarkan secara tertulis, bukan berarti bahwa ajaran itu tidak ada. Namun pada saat ada pelanggarannya di tempat- tempat tertentu, maka Gereja perlu untuk kembali kepada ajaran awal dari para rasul, dan kepada kuasa mengajar dari Rasul Petrus dan para penerusnya, untuk meluruskan dan menjabarkan ajaran tersebut dengan lebih jelas. Inilah yang terjadi pada ajaran tentang Keutamaan Paus dan Trinitas. Tentang Trinitas, sebelum didefinisikan dengan jelas di Konsili Nicea (325), doktrin tersebut sudah diajarkan oleh para Bapa Gereja di abad- abad sebelumnya, seperti pernah dibahas di sini, silakan klik. Sedangkan tentang keutamaan Petrus dan para penerus Petrus di abad pertama nyata dari dokumen paling awal Gereja dari St. Clement dan St. Ignatius dari Antiokhia, seperti sudah pernah ditulis di sini, silakan klik.

2. Para Bapa Gereja mengartikan perikop Mat 16:18 secara literal dan allegoris/ simbolis

Perikop Kitab Suci umumnya mempunyai arti literal, namun dapat juga mempunyai arti dan penerapan lainnya (allegoris, moral, anagogis). Perikop Mat 16, secara literal dapat diartikan sebagai penugasan kepada Rasul Petrus, yang diberikan oleh Kristus. Jika ada Bapa Gereja (misalnya Origen, St. Agustinus) yang mengajarkan bahwa Batu Karang yang disebutkan di sana adalah Kristus, ataupun pengakuan Petrus, ataupun iman Petrus, mereka tidak menolak arti literal dari perikop tersebut.

John Lowe seorang teolog Anglikan menulis, “Pernyataan “Kamu adalah Petrus (Kefas) dan di atas batu karang (kefas) ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku” harus diambil sebagai mengacu kepada Rasul Petrus sendiri. Walaupun benar juga jika dikatakan bahwa pada akhirnya Kristus itulah Batu Karang, (lih. Mat 21:42 dan 1 Kor 3:11), hal itu tidak dikatakan di sini. Dan walaupun juga wajar untuk menjelaskan bahwa batu karang-nya adalah iman Petrus yang melaluinya ia [Petrus] telah mengakui bahwa Yesus adalah Mesias. Tidak diragukan ini adalah dasar homili untuk menjelaskan ke- Mesias-an Tuhan Yesus dan iman Petrus; tetapi dari sudut pandang eksegesis murni… adalah tidak mungkin untuk menyatakan bahwa artinya mengacu kepada kedua arti di atas. Di sini jelas, permainan katanya mengharuskan identifikasi batu karang dengan seseorang yang bernama Petrus. Keengganan untuk menerima hal ini…. disebabkan karena sadar atau tidak sadar berkaitan dengan apa yang disebut kontroversi persyaratan pengakuan [iman Petrus, menurut Protestan]…. Jika kita memutuskan diri dengan kontroversi ini dan melihat hanya kepada teksnya sendiri, kita harus, menurut pandangan saya, setuju bahwa Petrus sendiri-lah yang disebut di sini sebagai batu karang yang di atasnya Gereja akan dibangun.” ((John Lowe, Saint Peter (New York: Oxford Univ. Press: 1956), p. 55-56))

Kesaksian Para Bapa Gereja

Mari sekarang kita melihat cuplikan tulisan para Bapa Gereja sejak abad pertama sampai dengan abad kelima, untuk mengetahui bahwa sudah sejak awal Gereja mengakui keutamaan Rasul Petrus dan para penerusnya, sebagai pemimpin tertinggi Gereja, yang mempunyai kuasa mengajar, memimpin dan menjaga kesatuan Gereja, sesuai dengan apa yang diterima dari Kristus dan para rasul.

St. Yustinus Martir (100- 165)

“Sebab [Kristus] memanggil salah satu murid-Nya- yang dulunya dikenal dengan nama Simon- sebagai Petrus; sebab ia mengenali-Nya sebagai Kristus, Anak Allah yang hidup, dengan wahyu dari Allah Bapa: dan sejak itu kita menemukannya terekam di dalam ingatan para rasul-Nya bahwa Ia [Kristus] adalah Anak Allah….” ((St. Yustinus Martir, Dialogue with Trypho 100, 4-5, ANF 1:249))
Kutipan ini adalah salah satu kutipan awal dari perikop Mat 16 dalam ajaran Bapa Gereja. Di sini memang tujuan St. Yustinus adalah untuk menyatakan ke- Allahan Yesus, untuk menanggapi ajaran sesat di abad pertama yang umumnya berfokus menentang Pribadi Yesus sebagai Anak Allah, seperti pada ajaran Gnostik. Menanggapi ajaran sesat ini, St. Yustinus mengacu kepada perikop Mat 16; yang juga menunjukkan keutamaan Petrus sebagai seorang Rasul Kristus yang menerima wahyu dari Allah Bapa sendiri, sehingga ia dapat mengatakan bahwa Kristus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup.

St. Polycarpus (69- 155)

Dalam suratnya kepada Victor dari Roma, St. Irenaeus menjelaskan bahwa ketika St. Polycarpus ke Roma pada masa Paus Anicetus, mereka tidak setuju tentang hal- hal sehubungan dengan cara perayaan Paskah. Namun mereka segera berdamai dan tidak bertengkar. Polycarpus memutuskan untuk mengikuti tradisi dari Rasul Yohanes, sedangkan Anicetus mempertahankan tradisi yang diturunkannya dari Rasul Petrus. Keduanya saling menghargai dan memelihara perdamaian dengan seluruh Gereja. ((St. Irenaeus, Letter to Victor of Rome, quoted in Eusebius 5, 24, 16-17, NPNF 2, 1:243-244)) Polycarpus yang datang ke Roma dan bertemu Paus Anicetus, tidak dapat mempengaruhi Paus Anicetus untuk menerima tradisi Rasul Yohanes [dalam memperingati Paska] sebab Paus memilih untuk melestarikan apa yang sudah diterimanya dari para pendahulunya [yaitu para penerus rasul Petrus].

Paus St. Soter (166- 174), Paus urutan ke 11 dari Rasul Petrus.

Ahli sejarah Eusebius mengutip tulisan Dionysius kepada Gereja di Roma, kepada Paus Soter, demikian:
“Sebab dari semula, sudah menjadi kebiasanmu untuk berlaku baik terhadap semua saudara seiman dalam berbagai cara, dan untuk mengirimkan bantuan kepada banyak gereja di setiap kota. Dengan demikian membantu mereka yang membutuhkan… engkau, Gereja Roma, mempertahankan tradisi jemaat ini, yang oleh Uskupmu yang terberkati, Soter … tidak hanya dipertahankan melainkan dilengkapi, untuk memenuhi kebutuhan para orang kudus, dan menghibur saudara/i yang di luar negeri [di luar Roma] dengan perkataan berkat, sebagai bapa yang mengasihi anak- anaknya.” ((Eusebius, Church History 4, 23, NPNF 2, 1:201)).

St. Pothinus, Uskup Lyons (77-177)

Pothinus, Uskup Lyons, Gaul menuliskan surat kepada Paus Eleutherus, ketika Gereja di Gaul dilanda heresi (ajaran sesat) Montanism, demikian:
“Kami berdoa, Bapa Eleutherus, agar engkau dapat bergembira di dalam Tuhan dalam segala sesuatu dan selalu. Kami memohon kepada saudara kami dan saudara Irenaeus untuk membawa surat ini kepadamu, dan kami mohon kepadamu untuk menghargainya sebagai seseorang yang bersemangat bagi perjanjian Kristus. Sebab jika jabatan [uskup] dapat menyampaikan kebenaran kepada seseorang, kita harus menugaskan dia [Irenaeus] di antara yang pertama sebagai penatua Gereja…” ((Eusebius, Church History 5, 4, NPNF2, 1:219)). Pothinus akhirnya wafat secara mengenaskan oleh penganiayaan di bawah penguasa Roma, Marcus Aurelius. Perhatikan bahwa di surat ini Pothinus memanggil Eleutherus dengan sebutan Bapa, yang merupakan permohonan kepada Roma agar tidak mentolerir heresi Montanism, yaitu dengan merekomendasikan calon uskup Lyon yang baru yang sangat anti ajaran sesat, yaitu Irenaeus.

St. Hegesippus dari Syria (180)

St. Hegesippus adalah seorang yang hidup setelah para rasul, dan seorang sejarahwan Gereja abad awal. Ia menulis lima buku, Memoirs, untuk menentang ajaran sesat Gnosticism. Ia mengunjungi Roma saat Anicetus menjadi Paus (155-166). Di dalam bukunya, ia menuliskan perjalanannya untuk mengumpulkan informasi tentang ajaran yang benar dari para rasul di berbagai pusat agama Kristen. Di Roma ia bertemu dengan banyak uskup, dan ia menerima ajaran yang sama dari mereka semua. ((lih. Eusebius, Church History 4, 22, 1, NPNF2, 1:198))

“Gereja di Korintus terus berlangsung dalam iman yang benar sampai Primus menjadi Uskup Korintus…. Ketika saya datang ke Roma, saya menetap di sana sampai [masa] Anicetus yang diakonnya bernama Eleutherus. Dan Anicetus dilanjutkan oleh Soter, dan Soter oleh Eleutherus…” ((Eusebius, Church History 4, 22, 2-3 NPNF2, 1:198-99)). Hegesippus mengkoleksi catatan data suksesi Paus dari Rasul Petrus sampai ke jamannya. Suksesi tidak hanya di Roma, tetapi juga di keuskupan lainnya.

Jika suksesi apostolik adalah ajaran yang salah, atau bertentangan dengan ajaran para rasul, maka harusnya para penulis jaman abad awal menentangnya sejak awal, seperti halnya yang dilakukan mereka terhadap ajaran- ajaran sesat. Namun kenyataanya, jalur apostolik ini malah dituliskan oleh banyak jemaat awal.

St. Victor, Uskup Roma ke- 13 setelah Rasul Petrus (189-198)

Berikut ini adalah surat dari Polycrates kepada Paus Victor (198) yang membahas masalah perayaan hari Paskah, di mana semua Gereja sepakat untuk melaksanakan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Victor selaku Uskup Roma. Berikut ini yang dikutip oleh Eusebius:
“Sinode dan kongres para uskup diadakan untuk kepentingan ini [atas perintah Paus Victor] dan semuanya, dengan satu kesepakatan, melalui korespondensi yang timbal balik membuat dekrit gerejawi, bahwa misteri kebangkitan Tuhan Yesus harus dirayakan pada hari Tuhan, bukan pada hari lainnya; dan bahwa kita harus menaati penutupan masa prapaska hanya pada hari ini….” ((Eusebius, Church History 5, 23, 2-3 NPNF2, 1:241-42))
Kemudian Eusebius juga mencatat bagaimana Uskup Roma mempraktekkan cara untuk menjaga kemurnian doktrin dan meng- ekskomunikasi para bidat.

“Dan mengapa mereka tidak malu untuk bicara salah tentang Victor…., ia [Victor] telah mengeluarkan Theodotus dari persekutuan …[Theodotus adalah] pemimpin dan bapa dari ajaran sesat yang mengingkari Tuhan, dan yang pertama menyatakan bahwa Kristus hanya manusia biasa saja? …Ini adalah tentang Victor. Masa kepemimpinannya berlangsung sepuluh tahun, dan Zephirinus ditunjuk sebagai penggantinya sekitar tahun ke-9 pada kejayaan Kaisar Severus.” ((Eusebius, Church History 5, 28, 2-3 NPNF2, 1:247))

St. Irenaeus (180)

St. Irenaeus menuliskan dalam bukunya Against Heresies, demikian:
“Karena … adalah terlalu panjang untuk dibahas di buku ini, untuk menuliskan suksesi [jalur apostolik] dari semua Gereja- gereja, kami menyalahkan mereka semua yang, dengan cara apapun, entah karena kesenangan diri sendiri yang jahat, karena mencari kemuliaan diri sendiri, atau karena ketidaktahuan dan pendapat yang keliru, bergabung dengan pertemuan- pertemuan yang tidak sah; ((Gereja perdana mengartikan ‘pertemuan yang tidak sah ini sebagai perkumpulan di luar Gereja Katolik. St. Ignatius dari Antiokhia menyebutkan tentang hal ini demikian, “Siapapun yang mengikuti ia yang membentuk skisma dalam Gereja, ia tidak akan masuk dalam Kerajaan Allah.” (Epistle to the Philadelphians 3,2, ANF 1:80)) [kami melakukan ini, aku mengatakan] dengan menunjukkan bahwa tradisi diperoleh dari para rasul, dari Gereja yang sangat besar, sangat tua, sangat luas dikenal sebagai Gereja yang didirikan dan dipimpin di Roma oleh kedua Rasul yang mulia, Petrus dan Paulus; sebagai iman yang dikhotbahkan kepada manusia, yang sampai kepada jaman kita oleh karena suksesi para uskup. Sebab adalah suatu kepastian bahwa setiap Gereja harus setuju dengan Gereja ini [Gereja Roma], oleh karena otoritasnya yang utama (pre-eminent authority (Inggris) / propter potiorem principalitatem (Latin), yaitu atas semua umat beriman di manapun berada, sepanjang tradisi apostolik telah dipertahankan oleh mereka [para uskup] yang ada di mana- mana.” ((St. Irenaeus, Against Heresies 3,3,4, ANF, 1:415-16))

Di sini jelas St. Irenaeus memberikan prioritas utama kepada Gereja Roma, dan bahwa Gereja Katolik mengajarkan bahwa para uskup mempertahankan tradisi apostolik melalui suksesi apostolik. Seperti Rasul Petrus adalah pemimpin para rasul, maka Gereja- gereja lain berada dalam kepemimpinan Gereja Roma.
“Pada masa Klemens, terjadi pertengkaran yang tidak kecil di antara jemaat di Korintus, Gereja Roma mengirimkan surat yang sangat berkuasa kepada Gereja Korintus, mendorong mereka agar berdamai, memperbaharui iman mereka, dan menyatakan tradisi yang telah diterimanya dari para rasul …. dari dokumen ini, siapapun yang mau, … dapat memahami tradisi apostolik Gereja, sebab Surat ini [surat Klemens] ada lebih dahulu daripada mereka yang sekarang menyebarluaskan ajaran sesat….  Klemens dilanjutkan dengan Evaristus, Allexander mengikuti Evaristus, lalu keenam dari para rasul, Sixtus, … sesudahnya, Teleforus yang menjadi martir; lalu Hyginus; sesudahnya, Pius; lalu sesudahnya Anicetus. Soter setelah melanjutkan Anicetus; Eleutherius, sekarang, di tempat ke duabelas dari para rasul… Dengan urutan ini, dan oleh suksesi ini, tradisi Gereja dari jaman para rasul dan pewartaan kebenaran dapat diturunkan kepada kita. Dan ini adalah bukti yang paling kuat bahwa terdapat iman yang satu dan sama, yang telah dijaga di dalam Gereja dari jaman para rasul sampai sekarang, dan diturunkan di dalam kebenaran.” ((St. Irenaeus, Against Heresies, 3,3,3, in ANF 1;416))
Dari pernyataan ini tidak dapat disangkal adanya keutamaan Gereja Roma yang diakui oleh St. Irenaeus, yang mengatasi Gereja- gereja yang lain. Di sini St. Irenaeus menyatakan bahwa ajaran sesat bukan sebagai ajaran yang menentang Kitab Suci, tetapi ajaran yang menentang Gereja yang memegang tradisi apostolik.

St. Klemens dari Alexandria (190-210)

St. Klemens dari Aleksandria adalah seorang Teolog Yunani, yang adalah murid dari St. Pantaenus. Ia kemudian menggantikan St. Pantaenus sebagai kepala sekolah kateketik, yang menjadi besar di bawah pimpinannya. St. Klemens mengatakan:
“Oleh karena itu, setelah mendengarkan perkataan itu, Rasul Petrus yang terberkati, yang terpilih dan yang utama, yang pertama dari para murid, yang hanya kepadanya Tuhan Yesus sendiri menghormatinya [Mat 17:27], dengan cepat menangkap dan memahami perkataan tersebut.” ((St. Clement of Alexandria, Who is the Rich Man that Shall be Saved? 21, ANF 2:597))

Tertullian (160-225)

Tertullian adalah seorang penulis yang lahir sekitar 60 tahun setelah wafatnya St. Yohanes Rasul. Di awal karirnya, Tertullian adalah seorang pembela iman yang orthodoks, namun menjelang akhir karirnya, ia bergabung dengan aliran sesat Montanism. Maka tulisan- tulisannya juga mencerminkan hal ini. Sebelum bergabung dengan Montanism di tahun 213, ia menulis demikian:
“Apakah ada yang ditahan dari pengetahuan Petrus, yang dipanggil, ‘batu karang yang atasnya Gereja akan didirikan’, yang juga memperoleh ‘kunci-kunci kerajaan surga,’ dengan kuasa, ‘melepas dan mengikat di surga dan di bumi?” ((Tertullian, On Prescription against Heretics 22, ANF 3:253))
Perkataan Tertullian ini menunjukkan salah satu bukti yang kuat bahwa para Bapa Gereja abad awal memahami bahwa ayat Mat 16:18 mengacu kepada Petrus sebagai ‘batu karang’ atau pondasi Gereja.
“Sesudah itu, … ia [Paulus] berkata, ‘ia pergi ke Yerusalem dengan maksud untuk bertemu dengan Petrus’ [Gal 1:18] karena jabatannya (Peter’s office), tidak diragukan lagi, dan demi kepentingan iman dan pengajaran yang sama. ((Tertullian, On Prescription against Heretics 23 ANF 3:254))
‘Jabatan’ yang dimaksud oleh Tertullian adalah seperti yang disebutkan dalam beberapa paragraf sebelumnya. Paulus menyebut Petrus sebagai ‘Kefas’ yang diidentifikasikan oleh Yesus sebagai ‘batu karang’. Paulus, meskipun dipanggil oleh wahyu Kristus, namun tidak melakukan tugasnya terlepas dari Rasul Petrus dan kesebelas rasul lainnya.
“Datanglah sekarang, jika kamu ingin mengikuti keingintahuan dalam urusan keselamatan, pergilah ke Gereja- gereja apostolik di mana di dalamnya tahta/ kursi para rasul masih ada; di mana di dalamnya tulisan- tulisan mereka yang otentik dibacakan…. Achaia ada didekatmu, dan kamu mempunyai Korintus. Jika kamu tidak jauh dari Makedonia, kamu mempunyai Filipi. Kalau kamu dapat menyeberang ke Asia, ada Efesus. Tetapi kalau kami dekat ke Italia, ada Roma, dari mana kami juga memperoleh otoritas. Berbahagialah Gereja itu, yang padanya para rasul menjabarkan pengajaran mereka bersamaan dengan darah mereka; di mana Petrus menjalani penderitaan seperti Kristus, di mana Paulus dimahkotai dengan kematian seperti Yohanes Pembaptis, di mana Yohanes Rasul setelah ditenggelamkan dalam minyak mendidih, tidak mengalami luka, dan diasingkan ke sebuah pulau.” ((Tertullian, On Prescription against Heretics 36, 1 in Jurgens, Faith of the Early Fathers 1:122. Ia juga mengajarkan demikian, “Siapakah yang menjaga iman yang benar? Siapa yang mempunyai Kitab Suci? Oleh siapa dan melalui siapa dan kapan dan kepada siapa ajaran diberikan yang membuat kita menjadi umat Kristen? Ia juga mengajarkan demikian, “Siapakah yang menjaga iman yang benar? Siapa yang mempunyai Kitab Suci? Oleh siapa dan melalui siapa dan kapan dan kepada siapa ajaran diberikan yang membuat kita menjadi umat Kristen? Sebab di manapun kebenaran ajaran Kristen dan iman berada, di sana juga berada Kitab Suci yang benar dan interpretasi yang benar dan semua tradisi Kristen yang benar.” ((James T. Shotwell and Louise Ropes Loomis, The See of Peter, (New York: Columbia, 1927 reprint, 1991) p. 289)).
Selanjutnya, terdapat juga puisi untuk melawan ajaran sesat Marcion. Puisi ini ditulis oleh seorang yang tak dikenal di Gaul, namun kemudian dilestarikan sebagai salah satu karya Tertullian. Puisi ini menjabarkan suksesi kepemimpinan Rasul Petrus dan para penerusnya: ((Poems against the Marcionites, 3, 276-96, In William Jurgen, The Faith of the Early Fathers, (Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 1970), 1:390, written prior to 325, in Tertullian: Adversus Marcionem libri Quinque, in Jurgens))
Pada kursi kepemimpinan ini ia sendiri telah duduk, Petrus,
Di Roma yang mulia, memerintahlah Linus, yang pertama dipilih, untuk duduk,
Dan setelah itu, Cletus, juga menerima kawanan dombanya.
Sebagai penggantinya, Anacletus dipilih dengan undi.
Klemens mengikutinya, sebagai tokoh apostolik yang terkenal.
Setelah dia, Evaristus memimpin kawanan…
Alexander, suksesi ke- enam, mempercayakan kawanan kepada Sixtus.
Setelah masanya yang penuh cerita tergenapi, ia memberikannya kepada Telesphorus.
Ia adalah martir yang istimewa dan setia.
Setelah dia, adalah seorang yang mengerti hukum, dan guru yang baik …
Hyginus, pada tempat ke sembilan, kini menerima kursi kepemimpinan.
Lalu Pius, setelahnya, yang adalah saudara kandung Hermas,
seorang gembala yang seperti malaikat, sebab ia mengucapkan kata- kata yang disampaikan kepadanya;
Dan Anicetus, menerima bagiannya di dalam suksesi yang kudus.”

Origen (185- 254)

Origen adalah seorang Teolog yang dihormati di masa Gereja awal. Ia adalah murid St. Klemens dari Aleksandria. Origen mengatakan:
Petrus, yang di atasnya dibangun Gereja Kristus, yang tidak akan dikalahkan oleh alam maut, meninggalkan hanya satu Surat ….” ((Origen, Commentaries on John 5,3, in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:202)) “Lihatlah pondasi Gereja yang kuat, batu karang yang besar dan kokoh itu, yang kepada siapa Kristus mendirikan Gereja-Nya!…” ((Origen, Homilies on Exodus 5,4, in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:205)) “Meskipun ada banyak orang yang percaya bahwa mereka sendiri memegang ajaran Kristus, namun ada di antara mereka berpikir lain daripada para pendahulu mereka. Ajaran Gereja telah memang diturunkan melalui urutan suksesi dari para rasul, dan tetap ada di Gereja bahkan sampai sekarang…” ((Origen, The Fundamental Doctrines 1, preface 2, (220-230) in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:190))
Berikut ini, adalah kutipan tulisan Origen, yang sering dikutip oleh gereja Protestan yang menginterpretasikan Mat 16:18 secara allegoris/ simbolis:

“Dan mungkin seperti Simon Petrus menjawab dan berkata, “Engkau adalah Kristus, Anak Allah yang hidup,” jika kita mengatakan ini seperti Petrus, tidak oleh darah dan daging yang menyatakannya kepada kita, tetapi oleh terang dari Allah Bapa di surga yang bersinar di hati kita, kitapun juga menjadi seperti Petrus, dinyatakan terberkati, seperti dia, karena dasar yang menjadi alasan ia dinyatakan terberkati, juga ada pada kita…. kita menjadi seorang Petrus… Sebab batu karang adalah setiap murid Kristus yang kepada-Nya mereka minum yang meminum dari batu karang rohani yang mengikuti mereka, dan atas batu karang ini dibangun setiap perkataan Gereja…; sebab dalam setiap orang sempurna yang mempunyai kombinasi perbuatan dan perkataan dan pemikiran yang terberkati; Gereja dibangun oleh Tuhan…” ((Origen’s Commentary on Mat 12:10-11, ANF 9: 455-456)).

Di sini terlihat bahwa Origen, walaupun mengajarkan interpretasi allegoris/ simbolis dari ayat ini, tetaplah ia tidak menghapuskan interpretasi Mat 16:18 secara literal, sebab dengan jelas ia juga mengajarkan bahwa Petrus adalah batu karang itu. Kemungkinan, Origen mengajarkan interpretasi allegoris untuk Mat 16:18; karena memang secara umum ia mengajarkan adanya 3 arti spiritual dalam teks- teks Kitab Suci yaitu allegoris/ simbolis, moral dan anagogis, di samping arti literal (seperti pernah dijabarkan di sini , silakan klik). Menarik di sini, bahwa gereja-gereja non Katolik yang umumnya menerima arti literal dan menolak interpretasi spiritual, justru pada ayat ini menolak meninterpretasikan secara literal namun secara spiritual. Hal serupa adalah pada saat menginterpretasikan perikop tentang Roti Hidup (Yoh 6).

St. Cyprian dari Carthage (258)

a. Pengajaran St. Cyprian

Tuhan berkata kepada Petrus: “Aku berkata kepadamu,” Ia berkata, ‘bahwa engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya. Dan kepadamu aku akan memberikan kunci Kerajaan Surga: dan apapun yang kamu ikat di dunia akan terikat di surga dan apapun yang kamu lepaskan di dunia akan terlepas di Surga.” Dan lagi Ia berkata kepadanya setelah kebangkitan-Nya, “Gembalakanlah domba- domba-Ku.” Atasnya Ia mendirikan Gereja-Nya, dan kepadanya Ia memberikan perintah untuk menggembalakan domba- domba-Nya; dan meskipun Ia memberikan kuasa serupa kepada semua rasul-Nya, namun Ia mendirikan [hanya] satu kursi kepemimpinan; dan Ia mendirikan dengan kuasa-Nya sendiri sebuah sumber dan alasan mendasar untuk kesatuan itu. Memang para rasul yang lain ada di mana Petrus berada, namun keutamaan diberikan kepada Petrus, di mana sudah dinyatakan dengan jelas bahwa hanya ada satu Gereja dan satu kursi kepemimpinan.
Demikian pula, semua gembala dan kawanan dombanya dinyatakan satu, yang diberi makan oleh semua Rasul dengan pemikiran yang satu. Jika seseorang tidak berpegang pada kesatuan dengan Petrus ini, dapatkah ia membayangkan bahwa ia masih memegang iman? Jika ia mengabaikan kursi kepemimpinan Petrus yang atasnya Gereja didirikan, dapatkah ia masih yakin dan percaya bahwa ia berada di dalam Gereja?” ((St. Cyprian, The Unity of the Church, 4, (251-256)in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:220. Menurut Cyprian, The See of Rome is ecclesia principalis unde unitas sacerdotalis exorta est, “The Church which persides in Love” (Gereja yang memimpin di dalam kasih), seperti dikutip dalam John Meyendorff, The Primacy of Peter,  (Crestwood: New York: St. Vladimir’s Seminary Press, 1992) p. 98-99))
Hanya ada satu Tuhan dan satu Kristus, dan satu Gereja dan satu kursi kepemimpinan yang didirikan di atas Petrus, oleh perkataan Tuhan Yesus. Tidaklah mungkin untuk membangun altar yang lain atau imamat yang lain di samping altar yang satu dan imamat yang satu itu. Siapapun yang berkumpul di luar kesatuan itu, akan tercerai berai.” ((St. Cyprian, Letter of Cyprian to All His People [43 (40),5] in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:229)).

b. Surat St. Cyprian kepada Paus Kornelius di Roma (252)

Dalam suratnya kepada Paus Cornelius di Roma (252), Cyprian menulis:
“Dengan uskup yang mereka tunjuk sendiri oleh para heretik, mereka bahkan berlayar dan membawa surat- surat dari para skismatik dan bidat kepada kursi kepemimpinan Petrus dan pimpinan Gereja, di mana kesatuan imamat mempunyai sumbernya; namun mereka [para bidat] tidak berpikir bahwa mereka [Gereja Roma] ini adalah jemaat Roma, yang imannya dipuji oleh Rasul pengkhotbah dan di antara mereka tidak mungkin kesesatan dapat masuk.” ((Letter of Cyprian to Cornelius of Rome 59, 14, in Jurgen, Faith of the Early Fathers, 1: 232))

c. Surat St. Cyprian kepada Antonianus, Uskup Numidia (252)

“Kamu menulis juga bahwa saya harus meneruskan kepada Kornelius [Uskup Roma], kolega kita, salinan dari suratmu, sehingga beliau dapat mengesampingkan semua keresahan dan mengetahui langsung bahwa kamu berada di dalam persekutuan dengan beliau, yaitu dengan Gereja Katolik.” ((Letter of Cyprian to Antonianus, a Bishop in Numidia 55(52), 1, (251-252), in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:230))
Di sini diketahui bahwa St. Cyprian mengajarkan bahwa untuk berada dalam persekutuan dengan seluruh Gereja Katolik, seseorang harus berada dalam persekutuan langsung dengan Uskup Roma.
“Ketika penganiayaan sudah reda, dan kesempatan untuk bertemu memungkinkan; sejumlah besar uskup Afrika …. bertemu bersama … Dan jika sejumlah uskup di Afrika tidak puas, kamu juga menulis ke Roma, kepada Kornelius [Paus], kolega kita tentang hal ini, yang juga akan mengadakan konsili dengan banyak sekali uskup, yang setuju dalam satu pendapat seperti yang kita pegang. ((Letter of Cyprian to Antonianus, a Bishop in Numidia 51, 6, (251-252), ANF, 5:328)).
Melalui surat ini St. Cyprian menyatakan praktek yang terjadi dalam menangani perbedaan pendapat di keuskupannya, dengan mengakui keutamaan Uskup Roma.
“Kornelius dijadikan Uskup [Uskup Roma] oleh keputusan Tuhan dan Kristus, oleh kesaksian hampir semua klerus, oleh dukungan orang- orang yang hadir pada saat itu, oleh kolese para imam yang terberkati, dan orang- orang yang baik lainnya, … di mana adalah tempat Petrus, martabat kursi kepemimpinan imamat. Sebab kursi terisi sesuai dengan kehendak Tuhan dan dengan persetujuan kita semua…. Sebab seseorang tidak dapat mempunyai jabatan gerejawi jika tidak memegang kesatuan dengan Gereja.” ((Letter of Cyprian to Cornelius of Rome 55 (52), 8, in Jurgen, Faith of the Early Fathers, 1: 230))

d. St. Cyprian kepada Paus Stephen (254- 257)

“Cyprian kepada saudaranya [Paus] Stephen, salam …. Adalah pantas bagimu untuk menuliskan surat- surat kepada sesama uskup yang ditunjuk di Gaul, agar tidak menderita lagi karena Marcian….karena ia sepertinya tidak di-ekskomunikasi oleh kami …. Biarlah surat- surat ditujukan olehmu kepada provinsi dan orang- orang yang ada di Arles, yang dengan demikian, Marcian diekskomunikasi; [dan] orang lain dapat menggantikan kedudukannya… Sebab kehormatan dari para pendahulu kami, para martir Paus Kornelius dan Lucius, seharusnya dilestarikan… Tunjukkan kepada kami siapa yang ditunjuk menggantikan Marcian, sehingga kami mengetahui kepada siapa kami mengarahkan saudara- saudara kami, dan kepada siapa kami harus menulis [surat].” ((St. Cyprian, To Father [Pope] Stephen, concerning Maricianus of Arles, who had joined himself to Novatian; Epistle LXVI, ANF 5:367-369.))

Di sini terlihat bahwa St. Cyprian tetap mengakui keutamaan dan kepemimpinan uskup Roma, sebab jika tidak, ia tidak perlu menulis demikian kepada Paus Stephen. Bahkan St. Cyprian yang sering dianggap menentang kepemimpinan Paus ((Cyprian berbeda pandangan dengan Paus Stephen dalam hal menerima baptisan yang dilakukan oleh para heretik. Cyprian berkeras untuk membaptis kembali, sedang Paus Stephen, memegang makna satu baptisan (Ef 4:5) menerima para heretik yang bertobat, tanpa perlu membaptis kembali; sepanjang baptisan diadakan dalam intensi, forma dan materia yang sama seperti yang dilakukan oleh Gereja Katolik)), namun St. Cyprian memohon kepada Uskup Roma (Paus Stephen) untuk melakukan kepemimpinan atas Gereja universal.

e. St. Cyprian kepada semua jemaatNya

“Hanya ada satu Tuhan dan satu Kristus, dan satu Gereja dan satu Tahta yang didirikan di atas Petrus oleh Sabda Tuhan. Adalah tidak mungkin untuk memasang altar yang lain, atau imamat yang lain di samping altar yang satu dan imamat yang satu. Barangsiapa yang mengumpulkan di tempat lain akan tercerai berai.” ((Letter of Cyprian to All His People [43 (40),5] in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1: 229))

Paus Kornelius kepada St. Cyprian dari Carthage (251- 253)

“Kornelius kepada Cyprian, saudaranya, salam … Urbanus dan Sidonus… datang kepada para penatua kita, menjamin bahwa Maximus …yang setara dengan mereka, berkeinginan untuk kembali ke pangkuan Gereja… Semua transaksi ini disampaikan kepada saya… Terdapat satu suara dari semua, pujian kepada Tuhan…. Dan untuk mengutip perkataan mereka sendiri, “Kami”, kata mereka, “mengetahui bahwa Kornelius adalah uskup dari Gereja Katolik yang paling kudus, dipilih oleh Tuhan yang Maha Besar, dan oleh Kristus Tuhan kita…. Sebab meskipun kami sepertinya… memegang persekutuan dengan seseorang yang adalah skismatik dan heretik, namun pikiran kami selalu tulus di dalam Gereja. Sebab kami tidak lalai mengetahui bahwa hanya ada satu Tuhan; bahwa hanya ada satu Kristus Tuhan…, satu Roh Kudus; dan di dalam Gereja Katolik harus hanya ada satu uskup.” ((Cornelius [Pope] to Cyprian, on Return of the Confessors to Unity [Epistle 49,2 (45 in Coxe), ANF 5:323))

Heretik yang dimasud adalah Novatian, yang bertobat dan kembali ke pangkuan Gereja Katolik, dan diterima oleh Paus Kornelius. Kornelius memberitahukan Cyprian akan kembalinya beberapa imam ke pangkuan Gereja, setelah sekian waktu terasingkan dari Gereja karena tipuan ajaran sesat Novatian. Keutamaan Roma di sini nampak sebagai penjaga ajaran yang murni.

Firmilian dari Kaisarea (268)

Dalam suratnya kepada St. Cyprian, Firmilian menulis:
“Tetapi betapa salah dan betapa besar kebutaan seseorang yang berkata bahwa pengampunan dosa dapat diperoleh di sinagoga- sinagoga para heretik (bidat) dan mereka yang tidak bertahan pada pondasi satu Gereja yang didirikan atas batu karang oleh Kristus…., Kristus berkata hanya kepada Petrus: “Apapun yang kamu ikat di dunia akan terikat di surga; dan apapun yang kamu lepaskan di dunia akan terlepas di surga;” dan dengan ini, juga dalam Injil: “Terimalah Roh Kudus: jika kamu mengampuni dosa orang, maka dosanya diampuni; dan jika kamu menyatakan dosanya tetap ada, dosanya tetap ada.” Oleh karena itu, kuasa mengampuni dosa diberikan kepada para rasul, dan kepada Gereja- gereja mereka yang didirikan oleh Kristus: dan kepada para uskup yang meneruskan mereka, yang ditahbiskan untuk menggantikan mereka.” ((Firmilian, Letter to Cyprian 75, 16, (255/256), in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:245))
Firmilian dengan jelas menjelaskan tentang keutamaan Petrus.

Paus Dionysius (268, menjadi Paus sejak 259)

Konsili Ariminum dan Seleucia menuliskan,
“Ada perkara dilaporkan oleh beberapa orang terhadap Uskup Aleksandria, dibawa ke hadapan Uskup Roma, seperti seolah mengatakan bahwa Allah Putera diciptakan dan tidak setara dengan Allah Bapa. Dan, sinoda di Roma yang menolak, uskup Roma mengekspresikan sentimen yang satu dan sama, dalam sebuah surat demi namanya [Uskup Roma]. Ia [Dionysius Uskup Alexandria], dalam mempertahankan dirinya, menulis sebuah buku kepadanya [Dionysius Uskup Roma]….” ((Konsili Ariminum dan Seleucia 3,43, NPNF 2, 4:473))
Di sini terlihat bagaimana Uskup Roma melakukan tugasnya untuk menjaga kemurnian ajaran Gereja- gereja di luar keuskupan Roma.

Aphrahat dari Persia (kemungkinan Uskup Syria, 280-345)

“Daud menerima kerajaan Saul, yang menganiayanya; dan Yesus menerima kerajaan Israel, penganiaya-Nya …. Daud meneruskan kerajaannya kepada Salomo, dan kemudian kembali ke pangkuan leluhur….dan Yesus meneruskan kunci kerajaan-Nya kepada Simon, dan kembali ke pangkuan Dia yang mengutus-Nya.” ((Select Demonstration of Aphrahat 21, 13, NPNF, 13:398, written in 336-345. Di sini Aphrahat mengajarkan bahwa Simon mengambil kedudukan sebagai kepala rumah tangga (steward) yang memerintah dengan kuasa raja, pada saat raja tidak ada di tempat.))

Yakub dari Nisibis (338)

“Dan Simon, kepala para Rasul, yang telah menyangkal Kristus … Tuhan kita menerimanya, dan menjadikannya sebagai pondasi, dan memanggilnya batu karang dasar bangunan Gereja.” ((Jacob of Nisibis, Oratio 7, De Poenit. 6, 57 in Joseph Berington and John Kirk, comps., The Faith of Catholics, ed. T.J. Capel, (New York: Pustet& Co., 1885) 2:13-14))

St. Ephraim (306-373)

Simon, pengikut-Ku, Aku telah menjadikanmu pondasi Gereja yang kudus. Aku memanggilmu Petrus [Kefas, atau batu karang, di dalam bahasa aslinya], sebab engkau akan mendukung semua bangunannya. Engkau adalah inspektur dari mereka yang akan membangun Gereja bagi-Ku di dunia ini. Jika mereka kelihatannya membangun apa yang salah, engkau, pondasinya, akan menghukum mereka. Engkau adalah kepala dari mata air yang daripadanya ajaran-Ku mengalir, engkau adalah pemimpin para murid-Ku. Melalui engkau, Aku akan memberikan minum kepada semua bangsa. Milikmulah kemanisan yang memberi hidup, yang Kuberikan. Aku telah memilihmu, sepertinya sebagai, yang sulung di dalam institusi-Ku, sehingga sebagai ahli waris, engkau dapat mengatur segala milik-Ku. Aku telah memberikan kepadamu kunci kerajaan- Ku. Lihatlah, Aku telah memberikan kepadamu kuasa atas semua milik-Ku!” ((Holimies (Ephraim’s Memre) 4,1, written in 338-373, in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:311))

Konsili Nicea (325)

Konsili Nicea dengan jelas merumuskan dalam Credo/ Syahadat Aku Percaya, “Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik“…. Dengan demikian, ini menyebutkan otoritas institusi Gereja. Ini berbeda dengan Credo dari gereja- gereja non- Katolik, yang umumnya hanya menyebutkan “Kitab Suci saja” dan tidak pada institusi yang kelihatan. Jemaat pada abad awal percaya atas otoritas Gereja, dan menyebutkannya dengan jelas pada syahadat, sebab percaya akan otoritas yang diberikan oleh Yesus kepada para rasul.

Konsili Sardika (343)

“Tetapi jika ada uskup yang kalah dalam pengadilan pada kasus tertentu, dan masih percaya bahwa ia mempunyai kasus yang baik, [maka] agar kasusnya dapat diadili kembali, marilah menghormati kenangan Rasul Petrus, dengan membuat mereka yang mengadili untuk menulis kepada Yulius, Uskup Roma, sehingga jika dipandangnya layak, ia akan mengirim para hakim, dan pengadilan dapat diadakan kembali oleh para uskup pada provinsi tetangga.” ((Council of Sardica, canon 3, in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:311. Hal ini terjadi atas kasus St. Athanasius yang hampir dapat dikatakan melawan doktrin Arianism seorang diri, tanpa mendapat dukungan dari para Uskup dari Gereja Timur.))
“Jika seseorang menginginkan agar kasusnya didengarkan kembali, dan memohon kepada uskup Roma untuk mengirimkan imam- imam sebagai utusannya untuk mengadili kasus tersebut, adalah kuasa uskup itu [Uskup Roma] untuk melakukan segala sesuatu yang dipandangnya baik; dan jika ia memutuskan bahwa ia akan mengirimkan mereka [utusannya] dan mereka mempunyai kuasa darinya ketika mengadili bersama- sama dengan para uskup; ini harus diperbolehkan. Tapi jika ia menganggap bahwa pengadilan kasus tersebut sudah cukup, ia akan melakukan apapun yang dianggapnya baik menurutnya  kebijaksanaannya yang paling adil. Para uskup menanggapi: hal- hal yang dinyatakan disetujui.” ((Council of Sardica, canon 5, in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:308)).
Dari konsili ini, yang dilakukan 18 tahun setelah Konsili pertama di Nicea, dan 55 tahun sebelum penetapan kanon Kitab Suci, diketahui adanya supremasi kepemimpinan Paus (Uskup Roma) terhadap Gereja- gereja lainnya.

St. Athanasius (296- 373) dan Paus Julius

St. Athanasius dikenal sebagai seorang kudus dari Gereja Timur, yang berjuang melawan ajaran sesat Arianisme yang begitu populer di jamannya. Dia hampir tidak memperoleh dukungan dari Gereja Timur, yang banyak terpengaruh atas ajaran Arianism tersebut, dan karena itu ia mencari dukungan dari Paus Yulius yang merupakan penerus Rasul Petrus. Ia mengutip tulisan Paus Yulius untuk membela diri, demikian:
“Mengapa tidak ada yang dikatakan kepada kami [Paus Yulius dan Gereja Roma] tentang Gereja di Alexandria? Apakah kamu tidak tahu bahwa sudah menjadi kebiasaan bahwa pernyataan dituliskan kepada kami [Roma], dan bahwa keputusan yang adil akan dikeluarkan dari tempat ini? Jika terdapat kecurigaan atas Uskup di sana, catatan tentang itu harus dikirimkan ke Gereja di sini [Roma]…. Aku memohon kepadamu… apa yang kutuliskan adalah demi kepentingan bersama. Sebab apa yang kami terima dari Rasul Petrus yang terberkati, kami tunjukkan kepadamu… Demikianlah dituliskan di Konsili Roma, oleh Yulius, Uskup Roma.” ((St. Athanasius, Defence against the Arians 2, 35, NPNF 2: 4:118-19))
Berikut ini adalah tulisan St. Athanasius tentang dua orang yang memberikan tuduhan- tuduhan kepadanya, namun kemudian bertobat, atas teguran dari Paus Yulius:
“Ketika Ursacius dan Valens melihat semua ini, mereka menghukum mereka sendiri atas segala yang telah dilakukannya, dan pergi ke Roma, mengakui kejahatan mereka, dan menyatakan diri menyesal dan memohon ampun, mengirimkan surat kepada Yulius, Uskup Roma, dan kepada kami. Salinannya dikirimkan kepadaku dari Paulinus, Uskup Triveri.” ((St. Athanasius, Defence against the Arians 1, 4, 48, NPNF 2: 4:130)).
“Ursacius dan Valens kepada tuan yang sangat terberkati, Paus Yulius. Telah dikenal luas bahwa kami seperti disebut dalam surat-surat telah melakukan tuntutan- tuntutan yang berat terhadap Uskup Athanasius, dan bahwa, ketika kami ditegur oleh surat- surat Kebaikanmu, kami tidak dapat menanggung akibat dari pernyataan yang kami buat; kami sekarang mengaku di hadapan Kebaikanmu … dengan demikian kami menginginkan persekutuan dengan Athanasius, terutama oleh sebab kekudusanmu, dengan kemurahan hatimu yang khas, yang mengampuni kesalahan kami…. kami tidak akan melawan keputusanmu. Saya Ursacius, menyerahkan pengakuan ini secara langsung, demikian juga saya, Valens.” ((St. Athanasius, Ibid., 130-131)).

St. Hilarius dari Poitiers (315-367/8)

St. Hilarius adalah seperti St. Athanasius dari Gereja Barat. Ia adalah seorang Pujangga Gereja, dan ia berjuang memerangi ajaran sesat Arianism di keuskupannya.
Petrus yang pertama kali percaya, dan menjadi yang pertama dari para rasul.” ((St. Hilary of Potiers, Commentary in Matthew, 7,6, NPNF 2, 9: 105))
Simon yang terberkati, yang setelah pengakuannya akan msiteri [Kristus sebagai Mesias], dijadikan batu karang pondasi Gereja dan menerima kunci kerajaan Surga… Iman inilah yang adalah pondasi Gereja, melalui iman ini alam maut tak akan menguasainya.” ((St. Hilary, On the Trinity, 6, 20, NPNF 2,9, 105))
Selanjutnya, St. Hilarius mengatakan, “Iman inilah yang adalah pondasi Gereja, melalui iman ini alam maut tak akan menguasainya”, ((On the Trinity, 6, 37, NPNF 2,9, 121)) dan inilah yang sering dikutip oleh tokoh non Katolik, di antaranya James White. Namun sayangnya White lupa atau tidak mengutip ajaran yang yang tertulis di buku yang sama, bahwa pondasi tersebut juga adalah Rasul Petrus.
“Ia [Yesus] mengangkat Petrus, yang kepadanya Ia telah memberikan kunci kerajaan surga, yang atasnya Ia akan membangun Gereja-Nya, di mana alam maut tidak akan pernah menguasainya, di mana apapun yang diikat dan dilepaskannya akan menjadi terikat dan terlepas di surga— Petrus yang sama ini …. adalah yang mengakui pertama kali Sang Allah Putera, pondasi Gereja, penjaga pintu kerajaan Surga, dan sesuai dengan keputusannya di dunia Hakim di surga memutuskan.” ((St. Hilary, Tract. in Ps 131, 8, in Joseph Berington and John Kirk, comps, The Faith of Catholics, ed. T.J. Capel 3 vols,( New York: F. Pustet& Co., 1885), 2:14-15.))
“Dan dalam kebenaran pengakuan Petrus memperoleh penghargaan … O, di dalam penunjukanmu, dengan sebuah nama yang baru, pondasi Gereja yang berbahagia, dan sebuah batu karang yang layak bagi pembangunan kembali apa yang tercerai berai dalam hukum maut, dan gerbang maut dan semua jalusi kematian! O, penjaga pintu surga yang terberkati, yang kepadanya diberikan kunci- kunci untuk memasuki pintu masuk keabadian, yang keputusannya di dunia adalah sebuah otoritas yang akan menjadi keputusan di surga, sehingga segala yang diikat atau dilepaskan di dunia akan memperoleh keputusan yang sama di surga.” ((St. Hilary, Commentary on Matthew 7,6, ibid., 2:15))
“Dan engkau, [Paus Yulius], saudara yang sangat terkasih, meskipun tidak hadir secara jasmani, tetapi hadir di dalam pikiran dan kehendak …. Sebab ini akan terlihat menjadi yang terbaik, dan sangat menjadi sesuatu yang layak, jika kepada kepala tersebut, yaitu kepemimpinan Rasul Petrus, para imam Tuhan melapor (atau mengacu) dari setiap  provinsi.” ((St. Hilary, Fragment 2 ex opere Hostorico (ex Epistle Sardic. Council ad Julium) n.9, p. 629, in ibid., 2:68-69)).

St. Macarius dari Mesir (300-390)

“Sebab di jaman dahulu Musa dan Harun menderita, ketika imamat merupakan jabatan mereka; dan Kayafas, ketika ia menempati kursi mereka, menganiaya dan menghukum Tuhan Yesus … Sesudahnya Musa diteruskan oleh Petrus, yang telah menjaga di dalam tangannya, Gereja Kristus yang baru dan imamat yang benar.” ((St. Macarius, Homily 26, in Joseph Berington and John Kirk, comps, The Faith of Catholics, ed. T.J. Capel 3 vols, (New York: F. Pustet& Co., 1885), 2:22.))

Optatus dari Milevis (367)

Optatus dari Milevis adalah seorang pembela terhadap ajaran sesat Donatism, ia menulis:
“Kamu tidak dapat mengingkari bahwa kamu menyadari bahwa di kota Roma kursi episkopal telah pertama kali diberikan kepada Petrus; kursi di mana Petrus duduk, yang sama sebagai kepala- sehingga inilah mengapa ia juga disebut sebagai Kefas- dari semua Rasul- rasul, kursi kepemimpinan di mana kesatuan dipertahankan oleh semua.  Tidak ada rasul lainnya yang secara pribadi maju sendiri dan siapapun yang akan memasang kursi lainnya dalam posisi menentang kursi kepemimpinan akan, dengan kenyataan tersebut, menjadi skismatik dan seorang pendosa. Ia adalah Petrus, yang pertama kali menempati kursi tersebut…. Ia diteruskan oleh Linus, Linus oleh Klemens…. Damasus oleh Siricius,… tetapi aku bertanya kepadamu untuk mengingat asal dari kursi kepemimpinanmu, kamu yang berharap mengklaim bagi dirimu sendiri gelar Gereja yang kudus.” ((Optatus of Milevis, The Schism of the Donatists, 2,2 in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 2:140))

St. Basil Agung (330-379)

“Ketika kita mendengar nama Petrus, … kita menggambarkan dalam pikiran kita sifat- sifat yang berhubungan dengannya… Sebab kita akan,… berpikir tentang… saudara Andreas, ia yang dipanggil dari antara para nelayan kepada pelayanan kerasulan, ia yang demi keutamaan imannya, menerima di atas dirinya sendiri, pembangunan Gereja (jemaat).” ((St. Basil the Great, Adv. Eunom, 4, in Joseph Berington and John Kirk, comps, The Faith of Catholics,  2:22.))
Selanjutnya, St. Basil mengatakan demikian, “… Salah satu dari bukit ini adalah Petrus, yang merupakan batu karang di mana Tuhan Yesus berjanji membangun Gereja-Nya.” ((St. Basil, Commentary on Esai 2, 66, in ibid., 2:22)). Kutipan ini sering dipergunakan oleh para tokoh non Katolik yang mengatakan bahwa Petrus hanya salah satu dari pondasi. Ini memang bukan sesuatu yang baru, sebab dalam Ef 2:20 dikatakan bahwa Gereja dibangun di atas pondasi para rasul dan para nabi. Namun tulisan St. Basil tidak menyampaikan formula yang disampaikan oleh tokoh non Katolik, yaitu seolah mempertentangkan peran Petrus dengan Kristus. Dalam tulisan St Basil, digabungkan tiga metafor: 1) Kristus sendiri sebagai pondasi dengan Tuhan sendiri yang mendirikannya (1 Kor 3:11); 2) Petrus adalah pondasi dan Kristus adalah yang mendirikannya (Mat 16:18); 3) Para rasul dan para nabi adalah pondasinya (Ef 2:20, Why 21:14) dan Kristus sebagai batu penjuru; dan Roh Kudus yang mendirikannya.

Menarik memang jika kita menyimak bahwa mereka yang tidak mengakui keutamaan Petrus, luput/ tidak melihat ajaran St. Basil lainnya, yang jelas menunjukkan keutamaan Petrus dan para penerusnya. Berikut ini adalah surat St. Basil kepada St. Athanasius, di mana St. Basil mengusulkan untuk  memohon kepada Uskup Roma untuk menyelesaikan kekacauan di Gereja Timur akibat ajaran sesat, secara khusus Arianism. St. Basil sepertinya telah memahami bahwa Gereja Roma mempunyai otoritas superior, sehingga berhak untuk mengatur Gereja Timur:
Adalah baik menurutku untuk mengirimkan sebuah surat ke uskup Roma, memohon kepadanya untuk memeriksa keadaan kita, dan karena terdapat kesulitan- kesulitan di dalam hal pengiriman para wakil dari Gereja Barat oleh dekrit sinode, dan untuk memberi advis kepadanya [Uskup Roma] untuk melaksanakan otoritas pribadinya dalam hal ini dengan memilih orang- orang yang cocok…., sesuai juga dengan sifat kelemahlembutan dan keteguhan, untuk mengkoreksi mereka yang tidak teratur di antara kita di sini.” ((St. Basil, Letter 69, to Athanasius, NPNF 2, 8: 165))
Maka di sini kita ketahui bahwa St. Basil mengatakan kepada St. Athanasius bahwa jalan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di Gereja Timur adalah dengan memohon campur tangan uskup Roma. Dengan ini St. Basil mengakui bahwa Gereja Roma memiliki kekuasaan superior terhadap Gereja- gereja Timur.

Lagi, dalam suratnya kepada pemimpin Gereja Barat, St. Basil menulis surat agar nama- nama para bidat diumumkan kepada semua Gereja Timur, agar dapat dapat diusahakan tindak lanjut demi keteraturan Gereja Timur:
Dalam hal ini kami memohon kepadamu [Gereja Barat], untuk mengumumkan secara publik kepada semua Gereja Timur ….. Saya terpaksa menyebutkan nama- nama mereka, supaya engkau sendiri dapat mengenali siapa- siapa yang membuat kekacauan di sini, dan mengumumkannya kepada Gereja Timur agar diketahui …. Karena engkau mempunyai lebih banyak wibawa di hadapan orang- orang, sesuai dengan jarak yang memisahkan tempat kediamanmu dengan mereka, selain dari fakta bahwa engkau dikaruniai dengan rahmat Tuhan untuk menolong mereka yang sedang kesusahan.” ((St. Basil, Letter 263, To the Westerns, NPNF2, 8:32, 377AD))
Dari surat ini kita mengetahui lebih jelas lagi bahwa St. Basil mengakui otoritas Gereja Barat, dalam hal ini Roma. St. Basil meminta campur tangan Roma untuk menyelesaikan kekacauan akibat ajaran para bidat, yaitu Arius, Apollinarius, Paulinus dan lain- lain. Selanjutnya pada surat itu, St. Basil menyebutkan bagaimana seorang bidat (seorang uskup yang telah diasingkan) telah menipu Uskup Roma (Paus Liberius), sehingga akhirnya ia berhasil dikembalikan kepada jabatannya setelah menerima surat dari Paus Liberius. Ini menjadi indikasi bahwa baik uskup yang orthodox maupun uskup bidat sama- sama mengakui kepemimpinan Uskup Roma. Michael Miller menulis, “Pada akhir abad ke-4, banyak jemaat Byzantine menerima bahwa uskup Roma menerima dari Tuhan rahmat untuk mempertahankan dan meneruskan kebenaran Injil yang murni … Gereja Timur mengakui bahwa, dibandingkan dengan mereka sendiri, Gereja Roma telah dibebaskan dari (spared from) ajaran- ajaran sesat…. Hal ini memberikan alasan kepada Gereja Timur untuk menerima peran Gereja Roma dalam hal koinonia …. Karena pergolakan di Timur, pemimpin orthodoks maupun bidaah sama- sama mencari dukungan dan persetujuan keuskupan Roma. Munurut Shotwell dan Loomis, sepanjang krisis, Gereja Timur telah menerima bahwa Roma “telah menerima dari Tuhan melalui Petrus, karunia tak ternilai yang kelihatannya tidak dimiliki oleh Gereja Timur, yaitu kuasa untuk berpedang teguh kepada kebenaran dan meneruskannya dengan murni, tanpa cacat…” (( Michael J. Miller, The Shepherd and the Rock, (Huntington, Ind: Our Sunday Visitor, 1995), p.124-125)).
Dalam suratnya yang lain, yang walaupun tidak menyebutkan nama Paus secara langsung, St. Basil menulis kepada Paus Damasus yang disebutnya sebagai Bapa (Paus), karena ia menyebutkan secara langsung nama Paus pendahulunya yaitu Paus Dionysius. Demikian bunyi suratnya:
Bapa yang terhormat [Paus Damasus], hampir semua Gereja Timur (… dari Illyricum ke Mesir) telah menjadi resah oleh badai yang parah dan dashyat. Bidaah yang lama yang diajarkan oleh Arius, sang musuh kebenaran, sekarang telah timbul kembali dengan berani dan tidak tahu malu. Seperti akar yang asam, ia menghasilkan buah yang mematikan, dan terus menang. Alasannya adalah, di setiap daerah, para pemenang doktrin yang benar malah diasingkan dari Gereja mereka dengan kemarahan, dan pengaturan urusan- urusan jemaat diberikan kepada mereka yang memimpin para jiwa orang sederhana kepada perangkap. Saya telah memandang penuh harap pada kunjungan belas kasihanmu sebagai satu-satunya solusi yang mungkin terhadap kesulitan- kesulitan ini…. Saya telah terpaksa untuk memohon kepadamu melalui surat agar engkau terdorong untuk membantu kami…. Dalam hal ini, saya tidak memohon hal yang baru, tetapi hanya memohon sesuatu yang telah biasa dilakukan dalam kasus orang- orang yang, sebelum jaman kita, terberkati dan dikasihi Tuhan, dan secara khusus di dalam kasus anda sendiri. Sebab saya sungguh teringat, belajar dari jawaban yang diberikan oleh para bapa kami ketika mereka ditanyai, dan dari dokumen- dokumen yang masih ada pada kami, bahwa Uskup [Paus] Dionysius yang saleh dan terberkati, yang terpandang di keuskupanmu karena imannya yang teguh dan semua kebajikan lainnya, telah mengunjungi Gerejaku di Kaisarea dengan suratnya, dan dengan surat mengajar para bapa kami, dan mengirimkan orang- orang untuk membebaskan saudara- saudara kami dari perangkap.” ((St. Basil, Letter 70, NPNF2, 8:166, 366-384 AD))
Dalam suratnya yang lain St. Basil menyebutkan bahwa orang- orang tertentu, “membawa surat- surat dari Gereja Barat, mengalihkan keuskupan Antiokhia kepada mereka” ((NPNF2, 8: 253)). Sekarang, atas hak apa Gereja Roma menyerahkan keuskupan Gereja Timur (dalam hal ini Antiokhia) kepada orang- orang yang tertentu yang dipilihnya? Nampak di sini bahwa Gereja Roma memiliki otoritas mungatur hal- hal gerejawi, dan St. Basil mengakui hal ini. Maka tak berlebihan, jika Ray Ryland dalam majalah This Rock, mengatakan, “Semua ajaran heresi (bidaah) yang penting pada abad- abad awal Gereja terjadi di Gereja Timur. Seringkali bidaah ini didukung oleh para kaisar Timur. Di banyak kesempatan, tahta Patriarkh Timur diduduki oleh para bidat. Jemaat Timur menjadi rentan terhadap ajaran sesat, namun kurang otoritas dominan yang dapat menyelesaikannya. Di dalam setiap kejadian, kepausanlah yang harus menyelamatkannya.” ((Ray Ryland, “Papal Primacy and the Council of Nicaea”, This Rock, June 1997, 26-27)).

St. Gregorius dari Nissa (330-395)

St. Gregorius adalah Bapa Gereja Timur dan adik dari St. Basil. St Gregorius adalah Uskup Nissa di Kapadosia (sekarang Turki) yang disebut dalam 1 Pet 1:1. St Gregorius mengatakan:
Petrus, dengan seluruh jiwanya, menghubungkan dirinya dengan Sang Anak Domba, dan dengan perubahan namanya, ia diubah oleh Tuhan menjadi sesuatu yang lebih ilahi: bukan lagi Simon, tetapi menjadi dan dipanggil sebagai sebuah batu karang (Petrus)…. Petrus yang agung tidak bertumbuh sedikit demi sedikit untuk mencapai rahmat ini, namun seketika ia mendengarkan saudaranya [Andreas], percaya kepada Anak Domba, dan melalui iman disempurnakan, dan karena telah melekat kepada Sang Batu Karang, menjadi batu karang Petrus.” ((St. Gregory of Nissa, Homily 15, in Joseph Berington and John Kirk, The Faith of Catholics, (New York: F. Pustet & Co, 1885), 2:20-21))
“Peringatan Petrus, kepala para rasul, dirayakan; dan dimuliakanlah dengan dia semua anggota Gereja lainnya; tetapi di atas dia Gereja Tuhan didirikan dengan kokoh. Sebab ia adalah, sesuai dengan karunia yang diberikan kepadanya oleh Tuhan, batu yang tak terpecahkan dan teramat kokoh yang atasnya Tuhan telah mendirikan Gereja-Nya.”
((Ibid, 2:21)).

St. Gregorius Naziansa (329-389)

St. Gregorius Naziansa adalah Uskup Konstantinopel, salah satu Bapa Kapadosia, bersama dengan St. Basil dan St. Gregorius Nissa. St. Gregorius Naziansa adalah tokoh penting dalam penentuan final credo Nicea di Konsili Konstantinopel tahun 381. Ia mengajarkan:
“Lihatlah kepada semua murid Kristus, semuanya besar…., salah satunya disebut batu karang [Petrus] dan dipercayakan sebagai pondasi Gereja; sedangkan yang satu lagi disebut yang dikasihi [Yohanes]…, dan yang lainnya menyandang kehormatan….” ((St. Gregory, Oration 26, in Berington dan Kirk, Ibid., 2:21))
“Juga seseorang tidak akan tahu…. apakah keturunannya akan disebut sebagai Paulus yang kudus atau Petrus- yang menjadi batu karang yang tak terpecah dan yang kepadanya diserahkan kunci- kunci [kerajaan Surga].” ((St. Gregory, Carm 2., in Berington dan Kirk, Ibid., 2:21))

Paus St. Damasus I (304- 384)

Paus Damasus I adalah Uskup Roma dari 366 sampai 384. Ia menulis demikian:
“Meskipun semua Gereja- gereja Katolik yang tersebar di seluruh dunia membentuk satu ruang mempelai Kristus, namun Gereja Roma yang suci telah ditempatkan di depan, bukan oleh keputusan- keputusan konsili dari Gereja- gereja lain, tetapi telah menerima keutamaan dari suara surgawi dari Tuhan dan Penyelamat kita, yang berkata: “Kamu adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku, dan maut tidak akan menguasainya; dan Aku akan memberikan kepadamu kunci-kuci Kerajaan Surga, dan apa yang kau ikat di dunia akan terikat di surga, dan apa yang kau lepaskan di dunia akan terlepas di surga”….. Oleh karena itu, Keuskupan yang pertama, adalah keuskupan Rasul Petrus, yaitu Gereja Roma, yang tidak memiliki noda atau cacat atau sejenisnya. Keuskupan kedua, adalah Alexandria, yang dikonsekrasikan atas nama Petrus oleh Markus, muridnya dan penulis Injil, yang diutus ke Mesir oleh Rasul Petrus, di mana ia berkhotbah sabda kebenaran dan menyelesaikannya dengan kemartirannya yang mulia. Keuskupan yang ketiga, adalah di Antiokhia, yang didirikan oleh Rasul Petrus yang terberkati, di mana ia tinggal sebelum ia datang ke Roma, dan di mana nama Kristen pertama kali dipergunakan kepada sebuah bangsa yang baru.” ((St. Damasus, The Decree of Damasus 3, 382AD, in  William Jurgen, The Faith of the Early Fathers, (Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 1970), 1: 406-407))

St. Hieronimus (Jerome) kepada Paus Damasus I (374-379)

St. Hieronimus (Jerome) adalah Bapa dan Pujangga Gereja, yang dikenal karena karyanya menerjemahkan Kitab Suci ke dalam Bahasa Latin yang disebut Vulgate. Setelah studinya di Roma ia mengasingkan diri di gurun dan hidup sebagai rahib dan mempelajari Kitab Suci. Setelah ditahbiskan menjadi imam tahun 379 ia tinggal di Konstantinopel dengan St. Gregorius Nazianzen selama 3 tahun. Tahun 382 ia kembali ke Roma, menjadi sekretaris Paus Damasus I. Kemudian, tahun 386 ia tinggal di Betlehem sampai wafatnya tahun 419/ 420.
Ia menulis demikian kepada Paus Damasus:
“Sebab Gereja Timur, tercerai berai karena kekacauan yang berkepanjangan, yang ada di antara orang- orangnya, sedikit demi sedikit merobek jubah Tuhan…. Saya pikir adalah tugas saya untuk berkonsultasi dengan tahta Petrus dan beralih kepada Gereja yang imannya dipuji oleh Rasul Paulus. Saya memohon makanan rohani kepada Gereja yang daripadanya saya menerima Kristus. Jarak yang jauh di laut dan daratan yang membentang di antara kita tidak membelokkan saya dari pencarian ‘mutiara yang mahal harganya’…. Meskipun kebesaranmu menakutkan saya, namun kebaikanmu menarik saya. Dari imam saya menuntut perlindungan terhadap korban, dari gembala perlindungan yang layak bagi domba- domba….. Kata- kata saya diucapkan kepada penerus dari sang nelayan, kepada sang murid Salib. Sebab saya tidak mengikuti pemimpin lain selain dari Kristus, sehingga saya tidak berkomunikasi kepada yang lain tetapi kepadamu, yaitu dengan tahta Petrus. Sebab saya tahu, ini adalah batu karang yang atasnya Gereja didirikan! Ini adalah rumah di mana Anak Domba Paska dimakan dengan benar. Ini adalah bahtera Nuh, dan ia yang tidak ditemukan di dalamnya akan binasa ketika air bah datang. Tetapi karena dosa- dosa saya, saya telah membawa diri saya ke gurun ini yang terletak antara Syria dan tempat pembuangan, saya tidak dapat, karena jarak yang jauh di antara kita, selalu meminta dari kekudusanmu, hal hal yang kudus dari Tuhan.” ((Letter of Jerome to Pope Damasus 15,2 374-379AD, NPNF2, 6:18))
“Gereja di sini terpecah menjadi tiga bagian, masing- masing berusaha menarik saya menjadi bagian dari mereka …. Sementara saya tetap berteriak: ‘Ia yang bergabung dengan tahta Petrus akan saya terima!’… Karena itu saya memohon berkatmu oleh salib Tuhan, oleh kemuliaan iman kita, Kisah Sengsara Kristus, …. beritahukan kepadaku melalui surat, kepada siapa saya harus berkomunikasi di Syria. Jangan membuang satu jiwapun yang untuknya Kristus telah wafat! ((Letter of Jerome to Pope Damasus 16,2 374-379AD, in Jurgens, The Faith of the Church Fathers 2:184))
Di sini, di tengah ajaran sesat dan skisma yang memecah belah Gereja Timur, St. Hieronimus mengacu kepada tahta Rasul Petrus di Gereja Roma, dengan mengatakan bahwa mereka bersama dengan Gereja Roma, adalah mereka yang bersama dengan Kristus. Maka St. Jerome tidak melihat pertentangan antara Kristus dengan keuskupan Roma, melainkan menegaskan bahwa mereka yang mengikuti Uskup Roma pastilah mengikuti Kristus. Ia menjanjikan kesetiaan kepada Roma, karena menghormati Petrus yang di atasnya Kristus mendirikan Gereja-Nya.
Gereja didirikan di atas Petrus: meskipun dimana- mana hal yang sama ditujukan kepada semua Rasul, dan mereka semua menerima kunci-kunci Kerajaan Surga, dan kuasa Gereja tergantung atas mereka semua, namun satu di antara keduabelas murid dipilih sehingga ketika seorang kepala telah ditunjuk, di sana tidak ada kemungkinan bagi skisma.” ((St. Jerome, Against Jovianus 1, 26, NPNF2, 6:366)).
Terhadap perikop ini St. Alfonsus Liguori menulis, “Semua Rasul diutus oleh Yesus Kristus untuk menyebarluaskan iman, dengan kuasa untuk menahbiskan imam, uskup dan mendirikan Gereja…. Namun demikian, kuasa ini, yang disampaikan kepada para Rasul adalah kuasa yang ada di bawah kuasa St. Petrus. Adalah kuasa yang luar biasa yang berakhir pada para Rasul, sedangkan kuasa yang diberikan kepada St. Petrus adalah absolut…. Maka St. Jerome mengatakan bahwa meskipun pada awalnya, ketika iman perlu untuk disebarluaskan, semua Rasul mempunyai kuasa yang sama, namun di atas Petrus sajalah disampaikan kuasa tertinggi (supreme power), supaya ia dapat memimpin sebagai kepala di atas semua yang lain.” ((St. Alphonsus Liguori, Venita della Fede, 3,7, as quoted by Livius, T, St. Peter, Bishop of Rome, (London: Burns & Oats, 1888), p. 258))
“Maka saya pikir, saya perlu memperingatkan kamu, di dalam kebaikan dan kasih, untuk berpegang teguh pada iman Paus Innocent yang kudus, anak rohani dari St. Anastasius, dan penerusnya di tahta apostolik, dan tidak menerima ajaran asing apapun, betapapun kamu menganggap dirimu bijak dan pandai memilah.” ((St. Jerome, Letter 130 to Demetrias, NPNF2, 6:269)).
“Apa hubungannya Paulus dengan Aristoteles? Atau Petrus dengan Plato? Sebab walaupun Plato adalah pengeran filosofi, Petrus adalah kepala para Rasul: di atasnya Gereja Tuhan didirikan dengan kokoh dan tak ada serangan banjir atau badai yang dapat mengguncangkannya.” ((St. Jerome, Against the Pelagians, 1, 14a, 26, NPNF2, 6:455)).

St. Ambrosius dari Milan (340-397)

St. Ambrosius adalah salah satu dari empat Pujangga Gereja dalam Gereja Latin. Sebagai Uskup ia mempertahankan Gereja Milan dari pengaruh ajaran Arianisme, dan membawa Kaisar Roma, Theodosius I, kepada pertobatannya. Ia dikenal sebagai uskup yang bersimpati pada St. Monika, ibu St. Agustinus, dan ia adalah uskup yang menerima Agustinus ke dalam Gereja Katolik. Ia menganggap uskup Roma sebagai gembala Gereja universal. Bersama Sabinus, Bassian dan para uskup lainnya menulis kepada Paus Siricius, tahun 389, demikian:
“Kami mengenali di dalam suratmu kesiagaan sebagai gembala yang baik. Engkau dengan setia menjaga pintu gerbang yang dipasrahkan kepadamu dan dengan perhatian yang saleh engkau menjaga kawanan Kristus (Yoh 10:7-), engkau layak mempunyai domba- domba yang mendengarkan dan mengikuti engkau. Sebab engkau mengenal para domba Kristus, engkau dengan mudahnya menangkap serigala- serigala dan melawan mereka sebagai gembala yang melindungi [dombanya], sebab jika tidak mereka mencerai beraikan kawanan domba Tuhan karena kekurangan iman mereka dan auman mereka yang bengis.” ((Synodal Letter of  Ambrose, Sabinus, Bassian, and Others to Pope Siricius, 42, 1, in Jurgen, Faith of the Early Fathers, 2:148)).
Kepada Petrus sajalah Ia [Kristus] berkata, “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini aku akan mendirikan Gereja-Ku.” Di mana Petrus berada, Gereja berada. Dan di mana Gereja berada, tidak ada kematian, tetapi kehidupan kekal.” ((St. Ambrose, Commentaries on Twelve of David’s Pslams 40, 30))
“… Petrus, setelah dicobai Iblis (Luk 22:31-32), ditempatkan atas Gereja. Karena itu, Tuhan, yang telah melihat hal tersebut sebelum terjadi, setelah itu memilihnya sebagai gembala kawanan domba Tuhan. Sebab kepadanya [Petrus] Ia berkata, tetapi kamu ketika telah insaf, kuatkanlah saudara- saudaramu.” ((St. Ambrose, in Ps 43, n.40, in Joseph Berrington and John Kirk, Faith of Catholics, (New York: F. Pustet & Co, 1900), p. 26))
Kristus adalah Sang Batu Karang, “Sebab mereka minum dari Batu Karang rohani yang mengikuti mereka, dan Batu Karang itu ialah Kristus’, dan Ia tidak menolak untuk mengaruniakan gelar ini bahkan kepada murid-Nya, sehingga ia juga dapat menjadi Petrus [atau Batu Karang] dalam hal, seperti batu karang, ia mempunyai ketetapan yang solid, sebuah iman yang kokoh.” ((St. Ambrose, Exposition in Luc, in Colin Lindsay, The Evidence for Papacy (London: Longman’s, 1890), p. 37. Di sini terlihat bahwa Yesus memberi nama Simon dengan sebutan Petrus, untuk membuatnya mengambil bagian secara unik di dalam pondasi Gereja)).

St. Yohanes Krisostomus (347- 407)

St. Yohanes Krisostomus adalah seorang Pujangga Gereja dan Bapa Gereja dari Gereja Timur (Antiokhia), yang terkenal karena kefasihannya mengajar/ berkhotbah. Menarik untuk disimak, bahwa meskipun Yohanes Krisostomus adalah seorang uskup dari Gereja Timur, ia mengajarkan bahwa Petrus adalah pengajar universal dari Gereja universal. Ia mengatakan:
“[Yesus] berkata kepadanya, “Gembalakanlah domba- domba-Ku”. Dan mengapa… ia berkata demikian kepada Petrus? Ia adalah seorang yang dipilih dari para Rasul, [menjadi] juru bicara bagi para murid, pemimpin kelompok; karena itu juga Paulus pergi mengunjunginya untuk bertanya kepadanya dan bukan kepada orang lain. Dan pada saat yang sama…. Yesus meletakkan ke dalam tangannya otoritas tertinggi di antara para saudara; …. “Jika kamu mengasihi Aku, gembalakanlah saudara- saudaramu.” ((St. John Chrysostom, Homilies on John 88, 1. NPNF I, 14:331.))
“Untuk apa Ia menumpahkan darah-Nya? Adalah agar Ia dapat memenangkan domba- domba-Nya yang dipercayakan-Nya kepada Petrus dan para penerusnya.” ((St. John Chrysostom, De Sacerdotio, 53))
Petrus sendiri adalah pemimpin kepala para Rasul, yang pertama di dalam Gereja, sahabat Kristus, yang menerima wahyu bukan dari manusia tetapi dari Allah Bapa, sebagaimana dikatakan Tuhan Yesus dengan berkata, “Diberkatilah engkau Simon anak Yohanes, sebab daging dan darah tidak menyatakannya kepadamu, tetapi Bapa-Ku yang di surga; inilah Petrus, dan ketika Aku menamai dia Petrus, Aku menamakan batu karang yang tidak terputus, fondasi yang kuat itu, Rasul yang besar yang pertama dari para murid, yang pertama dipanggil dan yang pertama taat.” ((St. John Chrysostom, Homily 3 de Poenit, 4, in Berrington dan Kirk, Ibid ., 2:31))
Selanjutnya, pengakuan St. Yohanes Krisostomus akan Paus ditunjukkan saat mengirim surat kepada Paus Innocentius I untuk memperoleh koreksi dari akta yang ditujukan melawan dia, dan pembatalan hukuman yang dijatuhkan kepadanya, dan penegasan sangsi kepada mereka yang telah melanggar hukum kanon ((cf.  Joseph Hergenrother, Anti Janus, (Dublin: W.B. Kelly, 1870), p. 130-131)).
Maka walaupun St. Yohanes Krisostomus pernah mengatakan tentang Yakobus dan tahta Yerusalem (yang sering dipahami sebagai keuskupan/ tahta pertama di Gereja), namun St. Yohanes Krisostomus memahami bahwa posisi keuskupan Yerusalem berada di bawah panggilan St. Petrus. St. Yohanes Krisostomus menulis, “Jika seseorang bertanya, “Bagaimana Yakobus menerima tahta di Yerusalem? Aku akan menjawab, bahwa Ia menunjuk Petrus sebagai guru, tidak di Yerusalem, tetapi di dunia.” ((St. John Chrysostom, Homily 88, 1, on St. John, NPNF 1, 14:332))
“… Sebab perhatikanlah, mereka ada seratus dua puluh orang, dan Ia meminta satu dari keseluruhan kelompok dengan hak yang baik sebagai yang telah diberi kuasa atas mereka: sebab kepadanya Kristus telah berkata, “Dan ketika kamu sudah insaf, kuatkanlah saudara- saudaramu.” ((St. John Chrysostom, Homily 3, in Acts, NPNF 1, 11:20))
“Apa yang dapat lebih rendah hati daripada jiwa itu [Paulus]? Setelah kesuksesannya, yang tidak kalah dengan Petrus…, tetapi dengan martabat yang sama dengan dia, ia datang kepadanya sebagai penatuanya dan superiornya. Satu- satunya tujuan dari perjalanannya adalah untuk mengunjungi Petrus; dan menunjukkan penghormatan kepada para rasul…. Ia mengatakan, “untuk mengunjungi Petrus”, dia tidak mengatakan untuk melihat/ bertemu, tetapi untuk mengunjungi (ἱστορέω), kata yang digunakan untuk menunjukkan tentang mereka yang mencari pengetahuan/ pengalaman akan suatu kota yang besar dan indah, dan menerapkannya dalam diri mereka sendiri. Dia menganggap layak semua kesukaran agar ia dapat melihat Petrus; dan ini muncul dalam Kisah para rasul juga.” ((St. John Chrysostom, Commentary on Galatians 1, 18, NPNf 1, 13:12-13)).

Socrates Scholasticus (380-450) dan Sozomen (370-439)

Socrates Scholasticus adalah seorang sejarahwan Gereja Yunani. Kebanyakan tulisannya adalah tentang Gereja Timur, dan hanya menyebut Gereja Barat jika ada kaitannya dengan Gereja Timur. Maka ia tidak mempunyai kepentingan untuk mempromosikan Gereja Barat. Namun demikian ia menulis demikian tentang kejadian pada masa St. Athanasius:

“Yulius, Uskup Roma yang mulia tidak hadir, dan juga ia tidak mengirimkan pengganti, meskipun hukum Gereja memerintahkan bahwa semua gereja tidak dapat membuat aturan apapun melawan pendapat Uskup Roma.” ((Socrates Scholasticus, The Ecclesial History 2,8, NPNF 2, 2:38))

“Sementara itu, Athanasius, setelah perjalanan yang panjang sampai di Italia …. pada saat yang sama juga Paulus, uskup Konstantinopel, Asclepas dari Gaza, Maercellus dari Ancyra … dan Lucius dari Adrianopel, setelah dituduh dalam berbagai kasus dan diusir dari gereja- gereja mereka, sampai di kota kerajaan [Roma]. Di sana, masing- masing memaparkan kasusnya di hadapan Yulius, Uskup Yulius, Roma. Ia [Yulius], atas keutamaaan hak istimewa Gereja Roma, mengirimkan mereka kembali ke Gereja Timur, dengan memperkuat mereka dengan surat-surat pengakuan/ persetujuan; dan pada saat yang sama mengembalikan mereka masing- masing ke tempat mereka, dan menegur dengan tajam mereka yang telah memecat mereka. Mengandalkan tanda tangan Uskup Yulius, para uskup itu meninggalkan Roma, dan mengambil kembali hak milik di gereja- gereja mereka dengan menunjukkan surat-surat itu [dari Paus] kepada pihak- pihak kepada siapa surat itu ditujukan.” ((Socrates Scholasticus, The Ecclesial History 2,15, NPNF 2, 2:42))

Demikian pula Salaminius Hermias Sozomen adalah seorang pengacara dari Palestina yang menuliskan sejarah Gereja, menyambung tulisan Eusebius tentang Sejarah Gereja. Sozomen juga menulis hal yang serupa tentang bagaimana para Uskup Gereja- gereja Timur yang diusir oleh gereja- gereja mereka karena mempertahankan credo Nicea, memohon dukungan dan peneguhan dari Uskup Roma. Demikian catatan Sozomen:

“Ia [Yulius] menulis kepada para uskup di Gereja Timur, dan menegur mereka karena telah menghakimi para uskup ini (yang menemui Yulius] dengan tidak adil, dan karena mereka telah merendahkan Gereja karena telah mengabaikan ajaran Konsili Nicea. Ia memanggil beberapa di antara mereka untuk menghadapnya pada suatu hari tertentu, untuk mempertanggungjawabkan kepadanya tentang keputusan mereka, dan mengancam akan menurunkan mereka, jika mereka tidak berhenti membuat inovasi. Ini adalah inti dari surat-suratnya. Athanasius dan Paulus dinyatakan kembali di keuskupan mereka, dan menyampaikan surat Yulius kepada para uskup di Gereja Timur.” ((The Ecclesial History of Sozomen, 3,8, NPNF 2, 2:287)).

“Pada saat yang sama ia [Yulius] menjawab surat para uskup yang bertemu di Antiokhia, sebab ia menerima surat mereka, dan menuduh mereka telah secara diam- diam memperkenalkan inovasi- inovasi (penemuan baru) yang bertentangan dengan ajaran Konsili Nicea, dan [mereka] telah melanggar hukum- hukum Gereja, dengan tidak mengundangnya untuk menghadiri Sinoda mereka; sebab …. ada kanon Gerejawi yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan bertentangan dengan penentuan Uskup Roma adalah nihil/ tidak sah.” ((The Ecclesial History of Sozomen, 3,10, NPNF 2, 2:288-89))

St. Agustinus dari Hippo (354-430)

St. Agustinus adalah salah satu Bapa Gereja yang paling besar dalam Gereja Latin. Ia dibaptis oleh St. Ambrosius di Malam Paska 387, menjadi Uskup Hippo di tahun 395.
Dalam suratnya kepada para heretik/ bidat Donatisme, St Agustinus menulis demikian:
“Sebab jika jalur suksesi para uskup harus diperhitungkan, dengan kepastian yang lebih tinggi dan menguntungkan bagi Gereja, kita menghitung kembali sampai kepada Petrus sendiri, kepada siapa, sebagai yang mengemban figur seluruh Gereja, Tuhan berkata: ‘Di atas batu karang ini Aku mendirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya!’ Penerus Petrus adalah Linus, dan para penerusnya dalam kesinambungan yang tidak terputus adalah: Klemens, Anakletus, Evaristus, Alexaner, Sixtus, Teleforus, Iginus, Anicetus, Pius, Soter, Eleutherius, Victor, Zephirinus, Calixtus, Urbanus, Pontianus, Antherus, Fabianus, Cornelius, Luciu, Stefanus, Xystus, Dionisius, Felix, Eutychianus, Gaius, Marcellinus, Marcellus, Eusebius, Miltiades, Sylvester, Marcus, Julius, Liberius, Damasus, dan Siricius yang digantikan oleh Uskup Anastasius saat ini. Dalam jalur apostolik ini tidak ditemukan satupun Uskup Donatis.” ((St.Letters of St. Augustine 53, 3, NPNF 1, 1:298. Donatism adalah aliran sesat yang berkembang pada masa St. Agustinus hidup))

Di sini kita melihat adanya pernyataan yang kuat yang mendukung keutamaan Uskup/ Paus di Roma, untuk menolak ajaran sesat. St. Agustinus memberikan dasar untuk menolak para bidat dengan menyatakan adanya tradisi dan suksesi kepemimpinan apostolik di dalam Gereja Katolik. St. Agustinus menanyakan secara rethorik, “Apakah para Donatist mempunyai klaim kebenaran kepada kebenaran? Tidak. Dapatkah mereka mengklaim suksesi apostolik dari Petrus sendiri? Tidak.” Oleh karena itu mereka tidak di dalam Gereja dan tidak dapat mengklaim kembali sampai kepada para rasul. ((Ibid.)).

Selanjutnya, dalam suratnya menanggapi penyerangan yang dilakukan para bidat kepada Caecilianus, Uskup Carthage, St. Agustinus menulis demikian:

“Kota itu (Carthage) mempunyai seorang uskup yang otoritasnya tidak kecil, yang mampu untuk tidak mempedulikan banyaknya para musuhnya yang bersekongkol menyerang dia, ketika ia [Caecilianus] melihat dirinya bersatu dalam surat persekutuan, baik dengan Gereja Roma, yang di dalamnya keutamaan tahta apostolik [apostolicae cathedrae principatus] telah selalu diterapkan– dan dengan daratan yang lain- yang dari mana Injil datang ke Afrika itu sendiri, di mana ia dapat dengan siap sedia memohon tentang kasusnya, jika para penyerangnya berusaha mengasingkan gereja- gereja itu darinya.” ((St. Augustine, Epistle 43,7, in Joseph Berrington and John Kirk, Faith of Catholics, ed. T.J. Capel, vol 2 (New York: F. Pustet & Co, 1885) p. 81-82)).

Untuk menangani ajaran sesat yang terjadi di Afrika Utara, para Uskup, termasuk St. Agustinus, Uskup Hippo, mengirimkan surat untuk memperoleh konfirmasi resmi konsili mereka dari “tahta apostolik”/ Apostolic See. Surat tersebut diawali dengan perkataan, “Sebab Tuhan, dengan kelimpahan yang istimewa dari rahmat-Nya, telah menempatkan engkau di Tahta Apostolik…” Selanjutnya setelah Paus Innocentius I memutuskan mengenai masalah tersebut, mereka [214 para uskup itu termasuk St Agustinus] berkata, “Kami yakin bahwa penilaian harus tetap seperti yang dikeluarkan oleh Uskup [Paus] Innocentius dari tahta Rasul Petrus yang terberkati…”
“[Paus Innocentius] mengacu kepada semuanya, menulis kembali kepada kita dengan cara yang sama di mana adalah sah dan menjadi tugas Tahta Apostolik untuk menuliskannya.” ((St. Augustine, Sermon 186, n.2, in Luke Rivington, The Primitive Church and the See of Peter, (London: Longmans, Green and Co., 1894), p. 290))
Jawablah kepadanya [Paus Innocentius I], ya, seperti kepada Tuhan sendiri, yang kesaksian-Nya digunakan oleh uskup itu.” ((St. Augustine, Lib., i.c. Julian c.4, in Rivington, Ibid.,p. 290))
Maka tidak perlu diragukan bahwa St. Agustinus mengajarkan keutamaan Rasul Petrus, walaupun ia juga mengajarkan bahwa perikop Mat 16:18 mengacu baik kepada kepada Kristus yang kepada-Nya Petrus menyatakan pengakuan imannya, maupun kepada Petrus sendiri:

“Di dalam sebuah perikop di buku ini, saya berkata tentang Rasul Petrus: “Di atasnya Gereja didirikan.” Ide ini juga dinyatakan dalam nyanyian oleh banyak orang di dalam bait yang dikarang oleh St. Ambrosius  … Tetapi saya mengetahui hal itu sering di kemudian hari, maka saya menjelaskan apa yang dikatakan Tuhan: “Kamu adalah Petrus dan di atas batu karang ini aku akan mendirikan Gereja-Ku, “bahwa ini untuk diartikan bahwa [Gereja] didirikan di atas Ia yang di atasnya Petrus mengakui: Engkau adalah Kristus, Anak Allah yang hidup,” dan karena itu Petrus, yang dipanggil setelah batu karang ini, mewakili orang di Gereja yang didirikan di atas batu karang ini, dan telah menerima “kunci- kunci Kerajaan Surga.” Sebab ‘batu karang ini adalah Kristus’, dan dengan mengakui-Nya, seperti juga seluruh Gereja mengakui-Nya, Simon disebut sebagai Petrus. Tetapi biarlah para pembaca memutuskan manakah dari kedua pendapat ini yang lebih mungkin.” ((Retractationes 1,20,1, in St. Augustine: The Retractations, trans, Sis. Mary Inez Bogan (Washington DC: Catholic University of America Press, 1968), 60:90-91)).

Saudara-saudari kita non Katolik kerap mengutip tulisan St. Agustinus yang berkesan seolah tidak mendukung otoritas Petrus. ((Contoh tulisan ini adalah: “Dengan memandang bahwa Kristus adalah batu karang (Petra), Petrus adalah umat Kristen. Sebab batu karang (Petra) adalah sebutan aslinya. Oleh karena itu Petrus disebut dari batu karang, bukan batu karang dari Petrus; sebagaimana Kristus tidak disebut dari Kristen, namun Kristen dari Kristus. Oleh karena itu, Dia berkata, “Engkau adalah Petrus; dan di atas Batu Karang ini” yang mana telah engkau akui, diatas Batu Karang ini yang mana telah engkau nyatakan, dengan berkata, “Engkau adalah Kristus, Putera Allah yang hidup’ akan Kubangun GerejaKu;” yaitu atas DiriKu Sendiri, Putera dari Allah yang hidup, “akan Kubangun GerejaKu.” Aku akan membangunmu diatas DiriKu Sendiri, bukan Diri-Ku Sendiri diatasmu.” (St. Augustine of Hippo, Sermon XXVI. 1:2)

Memang sepertinya dari kutipan ini St. Agustinus mengartikan ‘Batu karang’ sebagai Kristus yang kepada-Nya Petrus menyatakan imannya. Namun kemudian St. Agustinus mempertimbangkan kembali tulisannya ini. Kita ketahui, di saat usianya yang lanjut (72 tahun, 4 tahun sebelum ia wafat) St. Agustinus menuliskan semacam buku review (tinjauan ulang) akan semua tulisan/ ajarannya yang terdahulu dalam suatu tulisan yang diberi judul Retractions yang artinya ‘pertimbangan kembali’. Di sana ia memperjelas maksud pernyataannya tentang hal ini, dan bahwa Batu Karang dalam perikop Mat 16:18 mengacu baik kepada Kristus yang kepada-Nya Petrus menyatakan imannya, maupun kepada Petrus itu sendiri, karena pengakuan imannya itu.))

Namun silakan dilihat di sini bahwa St. Agustinus tidak menolak keutamaan Paus, sebab interpretasi ini tidak membatalkan arti literalnya. Lagipula, di tulisan- tulisannya yang lain, St. Agustinus jelas mendukung keutamaan Rasul Petrus.

Selanjutnya St. Agustinus juga menulis tentang peran Roma sebagai yang mengeluarkan kata terakhir tenteng suatu ajaran tertentu. Ia mengacu kepada keputusan Paus dalan Konsili Carthage dan Milevis (416) yang mengecam ajaran sesat Pelagianisme:

Roma locuta est, causa finita est / Roma sudah bicara [memutuskan], kasus ditutup.” ((St. Augustine, Sermons 131,10, William A. Jurgens, The Faith of the Early Fathers, (Collegeville, Minnesota: Liturgical Press), 3:28))

Terhadap para pengikut ajaran sesat Manichaeisme, St. Agustinus mengatakan demikian:

“Jangan bicarakan tentang kebijaksanaan yang karenanya kamu [para Manichaean] tidak percaya ada di dalam Gereja Katolik, ada banyak hal lain yang lebih benar menjagaku tetap di dalam pangkuannya. Persetujuan berbagai bangsa menjagaku di dalam Gereja; demikian juga otoritasnya, diawali dengan mukjizat- mukjizat, dipelihara oleh pengharapan, dan diperluas oleh cinta kasih, dan dimantapkan oleh waktu. Suksesi para imam menjaga saya, dimulai dari tahta Petrus Rasul, yang kepadanya Tuhan setelah kebangkitan-Nya memberikan kuasa untuk memberi makan kepada domba- domba-Nya, sampai kepada keuskupan saat ini. … Sebab begitu banyak dan besar ikatan yang berharga yang dimiliki oleh suatu nama Kristen   yang dengan benar menjaga seseorang yang adalah orang percaya di alam Gereja Katolik …Tak seorangpun dapat menggoyangkan saya dari iman yang telah mengikat pikiran saya dengan ikatan yang begitu banyak dan kuat dengan agama Kristen …. Sebab di pihak saya, saya tidak akan percaya kepada Injil kecuali jika otoritas Gereja Katolik mendorong saya.” ((St. Augustine, Against the Epistle of Manichaeus 5,4-5, in Joseph Cullen Ayer, A Source Book for Ancient Church History, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1948), p. 454-455, cf. NPNF 1, 4:130, 131))
Pernyataan ini merangkum pandangan para Bapa Gereja tentang Gereja Katolik, yang merupakan Gereja yang mempunyai kontinuitas dengan para rasul.

Paus Innocentius I (401-417)

“Dalam pencarian akan hal- hal Tuhan, …. mengikuti teladan tradisi kuno, … kamu telah dikuatkan … kekuatan agamamu dengan akal budi yang benar, sebab kamu telah mengakui bahwa keputusan harus mengacu kepada kami dan [keputusan] telah menunjukkan kepadamu bahwa kamu mengetahui apa yang harus diberikan kepada Tahta Apostolik, jika kita semua ditempatkan pada posisi untuk menghendaki agar mengikuti Sang Rasul sendiri yang daripadanya muncul keuskupan dan otoritas total dari nama ini. Mengikuti dia, kita mengetahui bagaimana mengecam kejahatan- kejahatan seperti kita mengetahui bagaimana untuk menyetujui apa yang baik/ terpuji…. [Para Bapa Gereja] tidak menganggap segala sesuatunya sebagai sesuatu yang selesai, meskipun bersangkutan dengan provinsi yang jauh dan terpencil, sampai hal itu telah diperhatikan oleh Tahta ini [Roma], sehingga apa yang adalah keputusan yang benar dapat diteguhkan oleh otoritas total Tahta [Petrus] ini, dan dari situ ke Gereja- gereja lain — sepertihalnya air keluar dari sumbernya sendiri, melalui banyak daerah di seluruh dunia, tetap menjadi cairan yang murni dari kepala yang tidak rusak….” ((Letter of Pope Innocentius I to the Fathers of the Council of Carthage on Jan 27, 417, in Jurgen, Faith of the Early Church Fathers, Ibid., 3:181-182)).
“Jika kasus- kasus yang lebih penting untuk didengarkan, mereka, seperti diputuskan dalam dekrit sinoda, dan seperti kebiasaan mensyaratkan, setelah keputusan keuskupan, diajukan ke Tahta Apostolik [Roma].” ((Letter of Pope Innocentius I to Vitricius, Bishop of Rouen, 2,3,6, dated Feb 15, 404, in in Jurgen, Faith of the Early Church Fathers, Ibid., 3:179)).

Theodoret (393- 466)

Theodoret adalah seorang Uskup Cyrrus di Syria yang memerangi paganisme dan ajaran sesat. Ia mengatakan:
“Tahta yang paling kudus ini telah mempertahankan keutamaan di atas semua Gereja di bumi, untuk sebuah alasan yang sangat istimewa di antara yang lain: … bahwa ia telah tetap utuh/ tidak tersentuh oleh noda kotor ajaran sesat. Tak satu orangpun yang duduk di Tahta; yang telah mengajarkan ajaran sesat: sebaliknya Tahta itu telah mempertahankan rahmat Apostolik yang tidak bernoda.” ((Theodoret, Epistle  116 to Renatus, in Hergenrother, Anti- Janus, Ibid., p.67))

Konsili Efesus (431)

Kata pembuka dari Filipus, wakil dari kepausan:
“Tidak diragukan, dan nyatanya telah diketahui di sepanjang abad, bahwa Rasul Petrus yang kudus dan terberkati, kepala para Rasul, tonggak iman dan pondasi Gereja Katolik, menerima kunci- kunci Kerajaan dari Tuhan kita Yesus Kristus, …. dan bahwa kepadanya telah diberikan kuasa untuk melepas dan mengikat dosa, yang seterusnya sampai sekarang dan selamanya hidup dan memutuskan di dalam para penerusnya. Paus Celestinus yang kudus dan terberkati, menurut urutannya, adalah penerus Rasul Petrus dan menempati tempatnya, dan ia mengirimkan kami untuk memberikan tempatnya di dalam sinoda yang kudus ini…. ” ((Council Ephesus, third session in The First Seven Ecumenical Councils, 325-787, by Leo Donald Davis (Minneapolis: Liturgical Press, 1990) p.157)).

Paus St. Leo I (440-461)

St. Leo Agung adalah salah seorang pemimpin terbesar di Gereja abad awal. Ia tidak saja dikenal di Gereja Latin tetapi juga di Gereja Timur, terutama melalui Konsili Kalsedon (451), yang mengecam ajaran sesat Eutychianism, sebuah bentuk Monophysitism, yaitu ajaran yang mengajarkan bahwa Kristus hanya mempunyai satu kodrat, yaitu kodrat ke-Allahan. Paus Leo Agung mengeluarkan ajaran yang kemudian dikenal dengan sebutan The Tome of Leo, yang bunyinya antara lain dapat dibaca di sini, silakan klik. Di bawah pimpinannya tahta Paus memperoleh kesadaran akan hak- hak prerogatifnya sebagai pusat dan pondasi Gereja.
“Tuhan kita Yesus Kristus, Penyelamat umat manusia, mendirikan agama ilahi, yang oleh rahmat Allah diinginkanNya bersinar kepada segala bangsa …. Tetapi Tuhan menghendaki bahwa sakramen/ sarana rahmat ini berkenaan dengan semua Rasul sedemikian sehingga ia didirikan secara prinsip di dalam Petrus yang terberkati, yang tertinggi di antara semua Rasul. Dan Ia menghendaki agar karunia-Nya mengalir ke seluruh tubuh melalui Petrus sendiri, seperti dari kepala sedemikian, sehingga seseorang yang berani memisahkan dirinya sendiri dari solidaritas kepada Petrus akan menyadari bahwa ia sendiri tidak lagi menjadi pengambil bagian di dalam misteri ilahi … Tahta Apostolik … telah dilaporkan dalam kejadian- kejadian yang tak terhitung banyaknya menjadi tempat konsultasi bagi para uskup … Dan melalui permohonan berbagai kasus kepada tahta ini, keputusan- keputusan telah dibuat, entah penarikan ataupun peneguhan, sebagaimana ditentukan menurut kebiasaan yang telah bertahan lama.” ((Letter of Pope Leo I to Bishops of the Province of Vienne, 10, 1-2, July 445, in Jurgen, Faith of the Early Fathers, 3:269)).
“Semua sama dalam hal telah dipilih, tetapi telah ditentukan bahwa seorang menjadi lebih utama di atas yang lain …. Melalui mereka [para uskup dengan tanggung jawab yang lebih besar] pengaturan Gereja universal akan memusat di dalam satu Tahta Petrus, dan tak ada sesuatupun yang harus merasa ganjil dengan kepala ini.” (Letter of Pope Leo I to Anastasius, Bishop of Thessalonica, 14,11, (446 AD) in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 3:270)).
“Dari seluruh dunia hanya satu, Petrus, yang dipilih untuk memimpin atas panggilan kepada semua bangsa, dan atas semua Rasul yang lain, dan atas semua Bapa Gereja. Oleh karena itu, meskipun di antara umat Allah ada banyak imam dan pastor, sesungguhnya Petruslah yang memimpin mereka semua, yang atasnya adalah Kristus yang menjadi pemimpin tertinggi mereka.” ((Pope Leo I, Sermon 4,2, (461 AD), in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 3:275)).
“Sebab tak seorangpun dapat mengambil resiko atas apapun yang bertentangan dengan ketentuan kanon para Bapa Gereja, yang di kota Nicea telah lama didirikan di atas perintah Roh Kudus, sehingga siapapun yang ingin membuat dekrit yang berbeda mencelakai dirinya sendiri bukannya memperlemah mereka (para Bapa Gereja). Dan jika semua Paus akan tetap melestarikannya sebagaimana seharusnya, akan ada damai sempurna dan harmoni yang utuh di seluruh Gereja-gereja…. Tetapi persetujuan para uskup, yang bertentangan dengan peraturan kanon- kanon yang suci yang disusun di Nicea …., tidak kami akui, dan dengan otoritas Rasul Petrus yang terberkati kami secara absolut membatalkan seluruhnya dalam artian yang komprehensif.” ((Pope Leo I, Epistle 105, NPNF2, 12:76,77))

Konsili Kalsedon (451)

Konsili Kalsedon adalah konsili ekumenis ke -4 yang diadakan oleh perintah kaisar Timur, Marcian, atas prakarsa Paus Leo I. Sekitar 600 Uskup hadir (mayoritas dari Gereja Timur), dengan 2 orang Uskup dari Afrika, dan 2 orang utusan dari Roma. Konsili ini mengecam ajaran Eutychianism, yang mengajarkan bahwa Yesus hanya mempunyai satu kodrat yaitu kodrat ke- Allahan. Definisi Kalsedon diambil berdasarkan formula yang dituliskan oleh Paus Leo I kepada Flavian, Uskup Konstantinopel, dan surat- surat sinode dari St. Silirus (Cyril) dari Aleksandria kepada Nestorius, yaitu bahwa Kristus mempunyai dua kodrat, yaitu ke-Allah-an dan kemanusiaan, yang tidak terpisahkan, yang ada di dalam diri-Nya. Selain itu konsili mempromulgasikan 27 kanon tentang disiplin gerejawi, hirarki dan peraturan kleris.

Setelah The Tome of Leo dibacakan dalam Konsili, maka tanggapan Uskup yang hadir adalah:
Petrus telah berbicara ini melalui Leo“/ Peter has spoken this through Leo ((Response to Pope Leo’s Tome, quoted in John Jay Hughes, Pontiffs: Popes Who Shaped History, (Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor, 1994), p.46 ))
Paus Leo I sendiri tidak hadir dalam Konsili ini. Sesudahnya, para Uskup (mayoritas dari Gereja Timur) yang tergabung dalam Konsili menulis surat demikian kepada Paus Leo I:

“Dan kami selanjutnya memberitahukan kepadamu bahwa kami telah memutuskan tentang hal- hal lain juga demi kebaikan pengaturan dan stabilitas hal- hal gerejawi, percaya bahwa Yang Mulia akan menerima dan meneguhkan hal- hal tersebut …. Karena itu, berkenanlah, bapa yang tersuci dan terberkati, menerima sebagai kehendakmu sendiri, dan sebagai pemimpin pengaturan yang baik hal- hal yang telah kami putuskan demi menghilangkan kebingungan dan demi peneguhan keteraturan Gereja… Demikianlah kami memohon dengan sangat, hormatilah keputusan kami dengan persetujuanmu, dan sebagaimana kami telah tunduk kepada sang kepala, [tentang] perjanjian kami mengenai hal- hal yang mulia, semoga sang kepala juga memenuhi anak- anaknya dengan apa yang pantas …. Sebab agar engkau tahu bahwa kami telah berbuat tidak demi kesenangan ataupun kebencian, tetapi karena telah dibimbing oleh Kehendak Ilahi, kami telah memberitahukan kepadamu keseluruhan jangkauan dari proses untuk memperkuat posisi kami dan untuk meneguhkan dan menetapkan apa yang telah kami lakukan.” ((Letter 98: From the Synod of Chalcedon to Leo, NPNF 2, 12:73))

Pada saat itu Patriarkh Konstantinopel, Anatolius, menulis kepada Paus Leo untuk mengumumkan konsekrasinya dan peneguhannya sebagai pemimpin keuskupan Konstantinopel. (Anatolius ini dipilih menggantikan Flavian yang wafat karena penganiayaan akibat konsili Efesus oleh para pendukung ajaran Eutyches). Untuk menjamin pelestarian ajaran para rasul di keuskupan Konstantinopel, Paus Leo kemudian mensyaratkan Anatolius untuk menandatangani The Tome of Leo, surat kedua St. Sirilus kepada Nestorius dan perikop tulisan para Bapa Gereja yang dilampirkan dalam akta Konsili Efesus. Lalu Pulcheria, Ratu kerajaan, menulis kepada Paus, “Anatolius telah merangkul pengakuan iman Apostolik sebagaimana tertulis dalam surat- suratmu, surat tentang iman Katolik.” Paus Leo menjawab dengan memberi selamat kepada Anatolius, “mereka yang melayani Tuhan kita akan bersukacita bahwa damaimu telah terangkum dalam Tahta Apostolik.” ((S. Herbert Scott, The Eastern Churches and the Papacy, London: Sheed and Ward, 1928), p.189-190)).

St. Sirilus (Cyril) dari Aleksandria (370-444)

St. Sirilus adalah seorang pertapa yang diangkat menjadi Patriarkh Aleksandria (412). Ketika Nestorius (seorang bidat) menjadi uskup Konstantinople (428), keduanya berbeda pandangan. Nestorius menekankan kemanusiaan Yesus sehingga menolak menyebut Bunda Maria sebagai yang mengandung Tuhan (God-bearer/ Theotokos), dan memanggilnya ‘yang mengandung Kristus’ (Christ- bearer), atas dasar ia hanya melahirkan manusia yang kemudian menjadi alat dan bait Allah. Maka Nestorius memisahkan antara kemanusiaan Yesus dengan Sang Firman (Yoh 1:1). Sedangkan St. Sirilus mengatakan, walaupun Kristus mempunyai dua kodrat yang berbeda, yaitu kodrat manusia dan kodrat Allah, namun keduanya bersatu sedemikian (secara hypostatic), sehingga dapat masing- masing kodrat mempunyai sifatnya masing- masing, dalam satu kesatuan Pribadi Yesus. St. Sirilus meminta dukungan kepada Roma (Paus Celestine) untuk klarifikasi dan otoritas dalam menentang ajaran Nestorius.

“Ia [Yesus] tidak lagi memanggilnya Simon, menunjukkan otoritas dan memerintah atasnya, seperti menjadikannya milik-Nya sendiri. Tetapi dengan gelar yang menyerupai benda, ia mengubah namanya menjadi Petrus, dari kata petra (batu karang); sebab diatasnya Ia kemudian mendirikan Gereja-Nya.” ((St. Cyril, Commentary on John, in Joseph Berrington and John Kirk, The Faith of Catholics, (New York: F. Pustet & Co., 1885), 2:46))
“Mereka (para Rasul) bekerja keras untuk belajar melalui seorang, yang paling utama, [yaitu] Petrus.” ((Ibid.))

“Kami belum secara terbuka dan secara publik memisahkan Nestorius dari persekutuan, sebelum memberitahukan keseluruhan masalah kepada Yang Mulia. Maka berkenanlah untuk merumuskan apa yang engkau pandang benar untuk dilakukan. Apakah perlu bagi kamu untuk mempertahankan persekutuan dengan dia, atau untuk mengumumkan secara terbuka, bahwa persekutuan tidak mungkin dipertahankan dengan dia yang mengembangkan dan mengajarkan ajaran yang demikian salah.” ((St. Cyril, In Concl. Ephes, 1,14, as quoted in Paul Bottalla, The Pope and the Church, (London: Burns, Oates and Co., 1868), p.84)).

Menanggapi surat St. Cyril ini Paus Celestine, yang sadar akan otoritas yang diembannya, mengeluarkan pernyataan pengakuan iman dan keputusan, yang menugasi St. Cyril untuk melaksanakannya, dan kepada Nestorius, mengeluarkan peringatan ekskomunikasi, mendesak agar ia [Nestorius] berpegang pada pengajaran yang dinyatakan tersebut. Di sini kita melihat bukti keutamaan Paus. ((Ibid., 86))

St. Petrus Krisologus (400-450)

St. Petrus Krisologus adalah seorang Uskup di Ravenna, Italia. Ia adalah salah seorang Pujangga Gereja. Ia menulis demikian:
“Kami mendesak kamu secara khusus, para saudara yang terhormat, untuk memberi perhatian dengan taat kepada apa yang telah ditulis oleh Paus yang terberkati di Roma; sebab Rasul Petrus yang terberkati, yang hidup dan memerintah di tahtanya sendiri, memberikan kebenaran iman kepada mereka yang mencarinya. Sebab kami, dengan alasan untuk mengejar damai dan iman, tidak dapat mencoba kasus- kasus dalam hal iman tanpa persetujuan Uskup Roma.” ((St. Peter Chrysologus, Letter to Eutyches 25,3, (449 AD), in Jurgen, Faith of the Early Fathers, 3:268)).

St. Flavian (Uskup/ Patriarkh Konstantinopel- 449)

St. Flavian adalah Uskup/ Patriarkh Konstantinopel yang dikenal dengan kehidupannya yang kudus. Ajaran sesat Eutyches berkembang saat St. Flavian menjadi uskup, sehingga ia terpaksa mengumumkan ekskomunikasi kepada Eutyches, dan keputusan ini didukung oleh Paus. Namun di Konsili Efesus (449) terjadi kekacauan, karena para pendukung Eutcyches menyerbu tempat Konsili dan kemudian menganiaya Flavian, sehingga tiga hari kemudian ia wafat. Sebelum semua ini terjadi ia pernah menulis demikian kepada Paus Leo I:
“Keseluruhan masalah memerlukan hanya keputusan tunggal dari ya dan semua akan terselesaikan dengan damai dan tenang. Surat Anda yang kudus akan, oleh pertolongan Tuhan, mengakhiri keseluruhan ajaran sesat yang telah timbul dan segala kekacauan yang telah diakibatkannya; sehingga pengadaan konsili yang dalam hal ini sulit akan menjadi tidak diperlukan.” ((Letter to Pope Leo, in Vladimir Solovyev, Russia and the Universal Church, (London: Geoffrey Bles,1948), p. 134))

Kesimpulan

Telah banyak bukti dalam sejarah yang menunjukkan tentang keutamaan Rasul Petrus dan para penerusnya. Sesungguhnya ajaran tentang keutamaan Petrus ini merupakan salah satu ajaran yang paling nyata terlihat telah diterapkan dalam kehidupan Gereja sejak awal mula. Penolakan akan ajaran ini sesungguhnya adalah sikap penolakan terhadap kesaksian yang jelas dari fakta yang tidak dapat dipungkiri. Mereka yang menolak ajaran ini, umumnya mengambil sebagian saja kutipan dari tulisan para Bapa Gereja, dan mengartikannya sendiri, tanpa melihat bahwa para Bapa Gereja tidak pernah mengartikan ‘batu karang’ melulu sebagai arti alegoris, yaitu sebagai pengakuan iman Petrus saja; atau bahwa Batu Karang itu hanya mengacu kepada Yesus saja. Sebab Gereja telah sejak awal mula mengartikannya secara literal, bahwa Petruslah batu karang yang dipilih oleh Tuhan Yesus Sang Batu Karang, dan atasnya [Rasul Petrus]  Kristus mendirikan Gereja-Nya. Maka sekalipun ada Bapa Gereja yang menuliskan arti alegoris dalam hal ini, yaitu bahwa ‘batu karang’ itu adalah pengakuan iman Petrus, hal itu tidak untuk diartikan terlepas dari arti literalnya yang juga mereka yakini, yaitu bahwa Rasul Petruslah yang ditunjuk oleh Kristus untuk menjadi ‘batu karang’ yang mempersatukan dan memimpin seluruh Gereja-Nya, dan menjaganya kemurnian ajarannya seperti yang diterimanya dari Kristus dan para rasul. Sejarah membuktikan bagaimana Gereja Roma telah menjadi teladan dalam menjaga kemurnian ajaran iman, dan Paus sebagai penerus Rasul Petrus menjadi pemberi kata akhir jika terjadi perbedaan pandangan di dalam Gereja. Demikianlah sejarah Gereja membuktikan betapa Kristus sendiri memenuhi janji-Nya untuk menjaga Gereja-Nya, agar selalu bertahan walau diterpa badai, sebab Rasul Petrus dan para penerusnya, oleh kuasa yang diberikan Kristus kepada mereka, melestarikan ajaran iman yang dipercayakan kepada mereka.

[Keutamaan Petrus Menurut Katolik Bagian 5]

Tanggapan Dan Sangghan Dari Kita Kristen Protestan:

Dasar dari kepercayaan saudara kita di kristen katolik yang menyatakan sejarah keberadaan Rasul Petrus pernah ada di Roma tidak terlepas dari suatu prinsip penolakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber kebenaran yang hakiki dalam iman kristen. Sehingga data diluar Alkitab tetap diterima oleh saudara kita kristen katolik sebagai alkternative data kebenaran.

Bila berkaitan dengan sejarah yang tidak terlalu penting tercatat didalam Alkitab bisa saja hal itu dianggap penting sebagai sebuah data pembanding yang bersifat sejarah. Tetapi sekalipun demikian, ada satu fakta sejarah yang tidak ditulis lengkap dalam Alkitab namun juga disinggung secara sepintas dalam Alkitab, yang peristiwa itu terjadi didalam kehidupan masyarakat kerajaan Israel di Samaria dan saat pembuangannya ke Asyur. Catatan sejarah ini tercatat didalam kitab Apokripka(yang tersembunyi) atau yang di kenal dengan kitab Deutrokanonika.

Kitab-kitab deuterokanonika[a] (bahasa Inggris: deuterocanonical) adalah suatu istilah yang digunakan sejak abad ke-16 dalam Gereja Katolik Roma dan Kekristenan Timur untuk mendeskripsikan berbagai kitab dan bagian tertentu Perjanjian Lama Kristen yang bukan merupakan bagian dari Alkitab Ibrani saat ini. Istilah ini digunakan sebagai pembeda dengan kitab-kitab protokanonika yang terdapat dalam Alkitab Ibrani tersebut.

Perbedaan ini sebelumnya menimbulkan perdebatan dalam Gereja perdana sehubungan dengan apakah kitab-kitab tersebut dapat digolongkan sebagai naskah-naskah kanonik. Istilah deuterokanonika digunakan sebagai suatu alasan kemudahan oleh Gereja Tewahedo Ortodoks Ethiopia dan Gereja lainnya untuk merujuk pada kitab-kitab Perjanjian Lama mereka yang bukan merupakan bagian dari Teks Masoret.

Kitab-kitab deuterokanonik tersebut dianggap kanonik oleh kalangan Katolik, Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, dan Gereja dari Timur (termasuk Gereja Asiria dari Timur), tetapi tidak dianggap kanonik oleh kebanyakan kalangan Protestan. Kata deuterokanonika sendiri berasal dari bahasa Yunani yang kira-kira berarti "termasuk kanon kedua".

Sehingga dengan demikian, terdapatlah suatu pendapat dan pandangan didalam lingkungan saudara saudara kita umat kristen katolik, bahwa kebenaran tidak hanya bersumber dari dalam Alkitab. Alkitab dianggap tidak mutlak sebagai satusatunya sumber kebenaran. Sehingga pandangan demikian menolak pandangan umat kristen protestan yang berpegangan kalau Alkitab adalah satu-satunya sumber kebenaran.

Didalam dua pandangan yang berbeda ini, terdapat pula dua pandangan yang berbeda maksud pula Dimana saudara kita kristen katolik berpandangan bahwa Alkitab bukan satu-satunya sumber kebenaran. Tetapi pandangan ini diarahkan adalah dalam hal soal sejarah kehidupan manusia dan sejarah tempat penginjilan para Rasul yang memang sebahagian tidak dicatatkan secara detail didalam Alkitab sebagaimana Rasul Paulus.

Pandangan umat kristen protestan berprinsip, kalau Alkitab adalah satau-satunya sumber kebanaran adalah berkaiatan dengan prinsip keimanan soal Yesus adalah Tuhan. Kristen protestan memang menapikan sejarah-sejarah manusia karena kriusten protestan fokus kepada missi Alkitab yaitu mengenai Tuhan dan anugerah keselamtan manusia. Sekalipun ada sekelumit catatn sejarah yang berkaitan dengan Boas dan Rut yang memang dimasukkan didalam Alkitab, tetapi tujuannya hanyalah sebagai penjelas alur silsilah keterkaitan Yesus daging mulai dari Abraham sampai kepada Raja Daud. Sehingga dua pandangan yang berbeda dan maksud yang berbeda ini, sering membuat kedua belah pihak mencoba saling menyalahkan.

Berkaitan dengan kebenaran sejarah yang masih perlu dipertanyakan mengenai benar tidaknya Petrus pernah berada di Roma dan pernah menjadi Paus, anggaplah bahwa Kristus memberikan posisi yang utama kepada Petrus untuk ia teruskan kepada yang lainnya, lalu atas dasar apa dapat dikatakan bahwa kepemimpinan itu ditegakkan di Roma sehingga mengepalai semua tempat lain? Atas dasar apa kehormatan itu diberikan kepada suatu tempat, padahal itu tidak pernah disinggung oleh Kristus. Ketika mereka mengatakan, karena Petrus tinggal di Roma dan mati di sana, maka kita akan bertanya, apakah karena Kristus melaksanakan pelayanan-Nya di Yerusalem dan mati di sana, maka kehormatan demikian diberikan kepada Yerusalem? Atau orang Israel memberikan kehormatan pada padang gurun, karena di sanalah Musa guru agung mereka dan nabi segala nabi itu melaksanakan pelayanannya.

Menurut mereka karena Petrus adalah kepala para rasul, maka gereja di mana keuskupannya berada, memiliki hak istimewa. Pada mulanya ia memimpin di Anthiokia, tapi kemudian atas perintah Tuhan ia pindah ke Roma, sehingga kehormatan itu dialihkan ke Roma. Tetapi apa buktinya bahwa itu adalah perintah Allah? Coba mereka jawab, hak istimewa itu sesuatu yang personal, riil, atau gabungan keduanya? Jika personal, yaitu pada Petrus, berarti kehormatan itu tidak ditentukan oleh tempat; jika ditentukan oleh tempat, maka sekali keistimewaan itu diberikan pada suatu tempat tertentu ia tidak akan dialihkan ke tempat lain, baik karena kematian atau perpindahan. Sebaliknya, jika gabungan, maka baik orang maupun tempatnya harus selalu dipertimbangkan. Dengan demikian keutamaan tidak harus terletak pada Roma.

Anggaplah, seperti kata mereka, bahwa keutamaan Anthiokia telah dialihkan kepada Roma. Lalu mengapa Anthiokia tidak menjadi tempat kedua, karena bukankah sebelumnya Petrus memimpin di sana? Mengapa justru Alexandria yang didirikan oleh Markus, yang hanya seorang murid, menjadi yang lebih utama daripada Anthiokia? Jika kehormatan setiap gereja didasarkan pada keagungan pendirinya, bagaimana dengan gereja yang dipimpin oleh Yakobus dan Yohanes yang bersama Petrus disebut soko guru jemaat (Gal. 2:9). Jika kehormatan pertama diberikan kepada keuskupan Roma, tidakkah Efesus dan Yerusalem harus menempati urutan kedua dan ketiga. Tetapi di antara para bapa-bapa gereja pada masa itu, Yerusalem justru menjadi yang terakhir.

Selain itu, kita tidak melihat adanya bukti bahwa Petrus memimpin jemaat di Roma. Perkataan Eusebius bahwa Petrus memimpin di sana selama 25 tahun dapat dengan mudah disangkal. Menurut Surat Galatia, setelah kematian Kristus, Petrus berada di Yerusalem (Gal. 1:18; 2:1 dst), lalu ke Anthiokia (bdk. 2:11). Perhitungan waktu berdasarkan fakta historis menunjukkan bahwa Petrus tidak pernah lama di Roma. Surat Roma yang ditulis Rasul Paulus sekitar empat tahun sebelum ia datang ke Roma, sama sekali tidak menyinggung nama Petrus, bahkan nama Petrus tidak terdapat dalam daftar panjang nama orang-orang kudus di sana, padahal dia dikatakan menjadi uskup di sana selama 25 tahun.

Ketika di kemudian hari, Paulus dibawa ke Roma sebagai seorang tawanan, Lukas mencatat dia diterima oleh saudara-saudara di sana (Kis. 28:15-16), dan sedikit pun tidak ada petunjuk keberadaan Petrus di kota tersebut. Dan ketika Paulus menulis surat-suratnya, ia mengatakan tidak ada seorang pun yang memperjuangkan pekerjaan Tuhan dengan setia, selain Timotius, karena setiap orang mencari kepentingannya sendiri (Flp. 2:20-21; bdk. 2Tim. 4:16). Di manakah Petrus pada saat itu? Manakah yang dapat lebih diterima, mengatakan dia termasuk orang yang dituding Paulus telah mengabaikan perjuangan bagi Injil atau dia tidak berada di kota Roma. Kita tidak mempermasalahkan bahwa Petrus mati sahid di Roma, tetapi yang kita permasalahkan ialah bahwa anggapan yang tidak berdasar bahwa ia lama memimpin sebagai uskup di Roma.

Kita menolak anggapan Roma Katolik bahwa kesatuan gereja hanya bisa dipertahankan jika terdapat seorang pemimpin tertinggi di bumi ini atas semua anggotanya untuk menaatinya. Memang Roma pernah memiliki kehormatan besar, tetapi bukan karena alasan sebagai pewaris keuskupan apostolik [Petrus], sehingga ia menjadi kepala semua gereja yang dipersatukan, tetapi karena pada waktu itu Roma sebagai ibu kota kekaisaran memiliki orang-orang yang lebih baik dalam pengajaran, hikmat, kemampuan, dan pengalaman; sehingga ketika gereja-gereja lain memiliki perselisihan pendapat tentang berbagai mereka akan berkonsultasi kepada Roma.

Tetapi jika dengan demikian mereka mengklaim keutamaan dan kuasa Roma atas semua gereja lain, ini adalah kesalahan besar. Jerome, seorang penatua di Roma, mengajarkan tentang kesatuan dalam tatanan gereja. Gereja-gereja purba tidak mengenal kesatuan gereja di bawah pimpinan seseorang secara hierarkhi yang dipegang oleh Roma. (John Calvin, Institutes of the Christian Religion, IV.6., disadur oleh syo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Post Bottom Ad