Umat kristen menyebut Tuhan dengan sebutan Trinitas, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pemaknaan soal trinitas sendiri jikalau ditanyakan sering kali menjadi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan oleh Umat Kristen, bahkan pula sejumlah para pelayan pada tingkat jemaat. Oleh sebab itulah, maka perlu diberi pemaknaan menyangkut apa itu trinitas ? bagaimana ia lahir ? dan siapa yang menyebut istilah Trinitas itu pertama kali ? menjadi salah satu gambaran penting yang perlu untuk diketahui.
Maka akan diberikan gambaran singkat menyangkut sejumlah soal-soal diatas, mulai dari masa Gereja Purba memaknai Trinitas hingga masa kini.
1. Masa Gereja Purba
Pada masa gereja purba pengakuan iman bukan hanya didasarkan kepada Allah saja seperti bangsa Yahudi, tetapi juga kepada Yesus Kristus dan Roh Kudus. Yesus dan Roh Kudus dilihat sebagai Allah, karena keduanya merupakan Peletak Dasar terbentuknya gereja di dalam dunia.[11] Hal ini kemudian menjadi persoalan gereja yang mendapat tekanan dari monoteisme Yahudi dengan penekanan kepada Keesaan Allah. Gereja Purba mesti menempatkan pengakuan kepada Bapa, Yesus dan Roh sebagai yang satu. Keesaan Allah pada massa gereja purba hanya keesaan pribadi Bapa diantara pribadi Anak dan Roh Kudus. Anak hanya mewakili Bapa dalam karyanya, sehingga ia tampil sebagai Topeng , dan roh Kudus dilihat sebagai pribadi ketiga, sebab keluar dari sang anak.[12] Pada massa gereja purba belum ada padangan yang kuat sebagai dasar akan persamaan ataupun perbedaan diantara ketiganya.
2. Masa Peralihan dari Palestina ke Yunani
Abad ke-II dilihat sebagai masa peralihan gereja beserta teologinya yang berpindah dari lingkungan palestina ke alam pemikiran yunani. Dengan demikian gereja diperhadapkan pada masalah inkulturasi; dimana gereja perlu mengungkapkan iman dan kepercayaannya dalam suatu bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang berbudaya Hellenis. Salah satu tantangan yang perlu dihadapi dan dipecahkan pada abad ke dua ini berkaitan dengan kebenaran Allah .[13]
Pemikiran Ibrani memandang kebenaran Allah diwahyukan dalam sejarah yang bertolak pada aspek fungsi dan tugas yang diperanakan. Dalam Pemikiran Ibrani secara fungsional Yesus mendapat gelar sebagai mesias, Tuhan, Guru, Hamba sesuai dengan peran yang dilakukannya. Sedangkan bagi orang-orang Yunani kebenaran itu didasarkan pada tataran kodrat dan dunia. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kodrat Yesus dalam Iman Kristen, apakah sebagai manusia ataukah sebagai Allah, atau sesuatu di antara kedua hal tersebut?, begitu pula dengan Roh Kudus.[14]
Situasi ini kemudian ditanggapi oleh para apologet gereja yang bertindak sebagai perintis inkulturasi yang berusaha menempatkan kebenaran Allah dalam pemikiran Yunani yang muncul dalam dua bentuk yakni Pluralisme dan Monarkhianisme[15].
2.1 Model Pluralisme / Triteisme
Perintis awal yang mencoba menempatkan Kebenaran Allah dalam pemikiran Yunani adalah Yustinus Martir seorang bapa gereja dari Timur. Kebenaran Allah ditempatkan oleh Yustinus dengan menggunakan bahasa “ Allah yang lain”.[16] Hakekat Allah bagi Yustinus awalnya adalah satu sebelum penciptaan, akan tetapi setelah penciptaan Allah bukan hanya satu tetapi tiga sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus, bukan sebagai yang satu, melainkan sebagai Tiga Pribadi.[17] Sebelum penciptaan Allah adalah satu sebagai Logos, akan tetapi tetapi saat penciptaan itu dimulai, maka logos pun hadir dalam tiga fungsi.
Dalam Bapa, Logos dilihat sebagai pencipta dan pemelihara dunia. Dalam Anak, Logos dilihat sebagai yang menyatakan kebenaran kepada manusia. Sementara pada Roh Kudus, Logos merupakan Roh dari logos itu sendiri. Sehingga Allah dilihat sebagai Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. [18] Logos dari Anak dan Roh Kudus berada di bawah Bapa sebagai sumber dari Logos itu. Anak dan Roh memang ada bersama sebelum penciptaan, akan tetapi keduanya tidak sama kekalnya sebab diturunkan dari Bapa, sehingga “Allah Yang Lain” dipakai untuk Anak dan Roh kudus[19]. Yustinus menggunakan analogi matahari sinar dan terangnya untuk menjelaskan hal ini. Sinar dan terang memang tidak dapat dipisahkan dari matahari, tetapi sinar dan terang itu tidak seidentik matahari [20].
Sehingga bagi Ia formulasinya adalah “Allah Bapa” DAN “Allah Anak” DAN “Allah Roh Kudus". Dalam Pandangan Yustinus ini, Kebenaran Allah menjadi Plural karena itu gereja mendapat tantangan yang berat dari konsep ini.
2.2 Monarkhianisme
Monarkhianisme berasal dari akar kata Yunani yakni mone arkhe yang berarti prinsip tunggal. Model monarkhianisme lahir dari ketakutan akan kehilangan keesaan Allah oleh pengakuan Kristen akan keallahan Yesus Kristus. Maka mereka mulai mencari jalan , bagaimana hubungan Yesus dengan Allah bisa dipikirkan tanpa menghilangkan keesaan absolute Allah.[21] Terkait dengan hal ini maka ada dua tipe yang muncul yakni:
2.2.1 Monarkianisme Dinamis
Tokoh pendirinya adalah Theodatus dari Byzantium. Bagi Theodatus Yesus hanyalah manusia biasa yang baru diberi kekuatan khusus saat Roh Kudus turun atasnya pada saat pembaptisan. Allah dengan Roh ilahinya melengkapi Yesus yang membuat sampai Yesus memiliki kedudukan yang khusus dimata Allah, bahkan Yesus disebut sebagai Anak Allah. Akan tetapi menjadi Anak Allah tidak membuat Yesus menjadi Allah. Konsep semacam ini membuat sampai Monarkianisme Dinamis disebut juga sebagai aliran adoptianisme.
2.2.2 Monarkhianisme Modalis
Penggagas model ini adalah Sebelius. Ia sangat kuat memberi tekanan kepada keesaan Allah, tetapi akibatnya kebhinekaan pribadi Allah dikorbankan. Sebalius mengajarkan bahwa Allah yang satu itu hadir dalam sejarah bukan hanya dalam pribadi yang berbeda tetapi juga dalam rentang waktu yang tidak sama.[23] Nama modalisme hanya dilihat sebagai mode-mode atau cara penampilan Allah yang satu.
2.2.3 Model Subordinatianisme
Aliran ini disebut Subordinationisme, karena ketiga ilahi yang disaksikan diyakini memiliki kadar keilahian didalamnya. Allah Sang Bapa memiliki kadar Keilahian yang lebih tinggi dari Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Konsep ini dikembangkan oleh Arius (meninggal tahun 336) dan Eusibius. Aliran ini sama halnya dengan monarkianisme yang hendak mempertahankan hakekat monotheisme dari kepercayaan Gereja.
Tabel Perkembangan Trinitas Pada Masa Klasik
Monarkhianisme Subordinati-anisme PLURALISME
Monarkhianisme Dinamis
Yesus Kristus adalah manusia yang bersifat ilahi karena diangkat sebagai Anak Allah, karena itu di bawah Bapa secara hakiki.
Monarkhianisme Modalis
Pribadi-pribadi ilahi hanyalah cara berada (modus) dari Allah. Ketiga ilahi yang diyakini memiliki kadar keilahian didalamnya. Allah Sang Bapa memiliki kadar Keilahian yang lebih tinggi dari Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Menekankan kejamakan Allah.
Ada tiga Allah, masing-masing dengan hakikat yang berbeda
Modalisme Kronologis
Pribadi-pribadi ilahi bekerja pada waktu yang berbeda-beda
Modalisme Fungsional
Pribadi-pribadi ilahi memiliki fungsi yang berbeda-beda
3. Masa Konsili dari Nicea sampai Konstantinopel
Masa Konsili dimulai dari pertengahan abad ke-III hingga awal abad ke-IV. Pada masa Konsili Trinitas dirumuskan sebagai sebuah pengakuan yang sah didalam gereja. Masa konsili di awali oleh Konsili Nicea pada Tahun 325 pada masa kepemimpinan Kaisar Konstantin, akan tetapi keputusannya belum mampu mengakhiri persoalan iman dalam gereja, kemudian dibentuklah Konsili kedua di Konstantinopel pada tahun 381 untuk menyelesaikannya. Ada dua tokoh penting selain kaisar yang berpengaruh didalam proses konsili yakni Arius pada Konsili Nicea dan Athanasius pada Konsili Konstantinopel. Pandangan dari kedua tokoh gereja ini berpengaruh terhadap perkembangan iman Kristen dalam masa konsili.
3.1 Latar Belakang Pembentukan Konsili Nicea
Pembentukan Konsili Nicea disebabkan karena beberapa aspek Pertama, isu perpecahan yang diangkat oleh Arius Uskup Bacilius dari Alexandria yang memandang bahwa Yesus Kristus tidak sehakikat dengan Sang Bapa. Persoalan ini kemudian menimbulkan kebingungan bahkan menimbulkan perpecahan dalam tubuh kekristenan.
Kedua, Kepentingan politik kaisar dengan agama kristen. Kaisar konstantinopel telah menempatkan kekristenan sebagai agama negara untuk kekuatan pemersatu dalam wilayah kekuasaannya. Maka perpecahan yang terjadi tubuh kekeristenan dapat menghancurkan kekauasaannya. Oleh karena itu konstantinopel berusaha mempertemukan semua pihak gereja yang berkepentingan dan mendorong para uskup untuk menemukan formula perdamaian yang dapat mempersatukan gereja dan meredam ancaman disintegrasi yang membayang. Maka berlangsunglah konsili Nicea, 325 atas prakarsa Kaisar.
a. Pandangan Arius
Arius adalah pastor dari Gereja Baucalis di Alexandria sama seperti Origenes. Arius melihat bahwa Allah Bapa lebih besar dari Anak Allah yang pada gilirannya lebih besar daripada Roh Kudus. Akan tetapi berbeda dengan Origenes, Arius tidak percaya bahwa ada hierarki dalam diri Allah. Maka Arius menempatkan monoteisme radikal dalam sistem origens bahwa hanya Bapa sajalah Allah. Diluar Bapa bukan Allah hanya ciptaan yang diangkat oleh Allah. Arius menyatakan pengakuan Imannya bahwa “Kami mengaku satu Allah yang tidak diperanakan, yang satu-satunya kekal, yang satu-satunya tanpa awal, yang satu-satu tidak dapat mati, yang satu-satunya baik, yang satu-satunya bijaksana, yang satu-satunya Tuhan, yang satu-satunya hakim bagi semua,” maka yang kami akui adalah Allah Bapa sumber dari segala yang diciptakan dan satu satunya Allah dalam kekeristenan.Dari hal ini Ada dua hal penting yang menjadi dasar pemikirannya Arius.
Pertama, Karya penyelamatan Kristus. Bagi Arius karya utama Penyelamat adalah teladan bagi kita. Kristus adalah Anak Allah, tetapi seorang anak melalui proses adopsi (pengangkatan). Sehingga Kristus bukanlah Ho Theos, tetapi hanya dilihat sebagai Theos. Arius menyatakan bahwa Allah tidak selamanya Bapa. Ada saat dimana ia sendirian tanpa nama berdiri dalam kekekalan, kemudian baru ia diisi oleh Bapa sebagai pencipta.
Bapa dapat menjadi Allah karena ia tidak berubah dan bukan pribadi. Ia kekal dalam waktu bukan terikat dalam waktu. Anak menjadi Kristus memerlukan penyempurnaan, sementara Bapa tidak memerlukan penyempurnaan untuk menjadi Allah.
Penyempurnaan Yesus menjadi Anak Allah terjadi melalui penyempurnaan kebijaksanaan dan Keallahan-Nya secara bertahap. Ia dapat berubah sebab bila Ia tidak dapat, maka tak dapat pula ia menjadi semakin sempurna (Ibrani 2:52). Sehingga Anak tidak dapat mencapai meski demikian kesempurnaan sebagaimana sang Bapa maka Kristus adalah ciptaan seperti kita.
Kedua, hakikat Kristus. Hakikat Kristus sebagai Anak yang mengalami perubahan kearah penyempurnaan ini terjadi oleh karena ketaatan dan kehidupan spiritual-Nya. Bagi Arius, Kristus bukanlah manusia biasa. Ia percaya bahwa sang Anak adalah pencipta dunia yang pra-ada (pre-eksisten). Ia seperti malaikat, Ia bukan manusia, bukan pula Allah. Arius menyatakan bahwa Kristus sekaligus pencipta yang pra-ada dan sekaligus ciptaan. Ia berada atau bereksistensi di dalam waktu. Salah satu kalimat Arius yang terkenal adalah ‘ada masa ketika Ia belum atau tidak ada, dan saat ia ada menandakan ia bukan manusia biasa bukan pula Allah. Hakikat Kristus berubah, berkembang. Hal ini membuat sampai Kristus seperti demi-god (setengah dewa) atau malaikat, sehingga hakikat Kristus adalah campuran: tubuh manusia dengan jiwa malaikat.
Dari hal ini maka Arius hanya melihat satu Allah bukan tiga Allah dalam satu, bukan juga hirarkhis tetapi hanya satu Allah yang kemudian menyempurnakan Kristus untuk menyelamatkan umat-Nya dan memberikan Roh Kudus bagi keberlangsungan hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya.
b. Konsili Nicea
Konsili ini dikumpulkan pada tahun 325 oleh kaisar Konstantin dengan maksud agar ada perdamaian dan pemulihan didalam gereja. Selain itu agar landasan hukum yang sama terkait dengan iman kepada Allah. Hal ini menjadi penting agar gereja tidak berselisih persoalan pengakuan, tetapi mendukung pemerintahan Konstantin dengan jalan membuang mereka yang melanggar hukum yang disepakati.
Peserta yang menghadiri sidang tersebut k.l 300 Uskup yang dipimpin oleh Uskup Hosius, dari Cordoba yang merupakan penasihat rohani dari konstantin, sekalipun banyak delegasi yang hadir dari timur dan menghendaki Eusthathius, uskup Antiokia, yang menjadi pemimpin konsili, namun jalannya sidang tetap dipimpin oleh Hosius.
Kata penting yang muncul dan menjadi inti dari konsili nicea tidaklah dikeluarkan oleh para uskup, tetapi oleh kaisar sendiri yang diyakini telah menerima masukan dari uskupnya yakni Hosius. Kata itu ialah homo- ousios yang artinya Sehakekat. Homo- ousios digunakan pertama kali oleh Tertulianus untuk menunjukan bahwa Pribadi Bapa dan Anak adalah sehakekat, sehingga kredo ataupun pengakuan iman terhadap Allah pada konsili Nicea berbunyi demikian :
"Aku percaya kepada satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah yang diperanakkan dari Bapa (Ialah dari zat/hakikat ousia - Bapa, Allah dari Allah, cahaya dari cahaya, Allah benar/ sejati dari Allah benar atau sejati, dilahirkan, tidak dibuat, sezat/ hakikat homo-ousios dengan Bapa), apa Yang oleh-Nya segalanya dijadikan, yang di surga dan yang di bumi. Yang demi kita manusia dan demi keselamatan kita, turun dan menjadi daging, menjadi manusia,
Menderita sengsara dan bangkit pula pada hari yang ketiga, naik ke surga, dan akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Dan kepada Roh Kudus."
Arius serta uskup-uskup yang membangkang dipecat dan dibuang ke pedalaman, selain itu tulisan-tulisan mereka dibakar, serta siapa yang mempunyai tetapi tidak menyerahkannya terancam hukuman mati. Penegasan akan hal ini yakni :
“ Terkutuklah Mereka oleh Gereja Katolik dan Apostolik yang berkata: Ia Ada suatu waktu dimana dia (Yesus) belum ada, sebelum dia dilahirkan ia belum ada, dia menjadi dari apa yang belum ada, mereka yang mengatakan bahwa dia dari suatu zat atau hakikat yang lain dari pada hakikat sang Bapa, atau mereka yang mengatakan bahwa Anak Allah diciptakan atau dapat berubah – mereka semua dikutuk.”
Inti dari konsili nicea adalah Sang Putra bukan dijadikan, tetapi dilahirkan. Sehingga sang putra bukanlah ex nihilo, dan juga tidak pernah ada waktu dimana Bapa tidak bersama dengan Putra, sebab keduanya memiliki kodrat yang sama, dengan kata lain keduanya adalah sehakikat.
4. Latar Belakang konsili Konstantinopel
Konsili Konstantinopel hadir dengan latar belakang adanya ketidakpuasaan dari Gereja Timur pengikut Arius bahwa Yesus sehakikat dengan sang Bapa. Mereka masih berusaha meyakinkan gereja-gereja bahwa keputusan Konsili mengandung kesalahan. Kali ini mereka melancarkan serangan dari sebuah ungkapan umum yang sudah dikenal sejak dinyatakan oleh Origenes: ‘apa yang dilahirkan dari Allah adalah Allah’. Kaum Arian memahami ‘melahirkan’ ini sebagai penerusan ciri-ciri atau karakteristik dari yang melahirkan kepada yang dilahirkan. Bagi mereka hal ini merupakan problematik dalam hal hubungan antara Allah dengan Logos.
Ada tiga alasan yang mereka ajukan. Pertama, karakter dasar dari Allah adalah tak-berasal-usul (unoriginated). Jelas hal ini tak dapat diberikan kepada sang Anak, sebab Ia berasal dari Allah. Kedua, bila sang Bapa tidak dilahirkan dan tidak melahirkan, maka sang Anak seharusnya juga tidak dilahirkan dan tidak melahirkan. Ketiga, bila sang Anak memiliki segala karakteristik (properties) yang sama dengan sang Bapa, maka Ia pun dapat melahirkan seorang Anak, dan Anak itu melahirkan lainnya, demikian seterusnya.
Penolakan kaum Arian ini kemudian menimbulkan persolan baru dalam gereja, maka untuk mengakhiri perbedaan ini, dibentuklah Konsili Konstantinopel pada tahun 381 dengan tokoh penting didalamnya adalah Athanasius Uskup dari Alexandria yang menjelaskan penerapan homo-ousios untuk pribadi Anak dan Bapa.
4.1 Athanasius merupakan uskup Alexandria pada tahun 373. Dalam perjuangannya melawan Arianisme,Athanasius bertolak dari tiga hal yakni : Pertama Karakteristik Allah. Bagi Athanasius kaum arian salah memaknai kata kelahiran, sebab persoalannya bukan pada penerusan, karakter ataupun sifat, melainkan pada ada aspek material yang sama oleh keduanya yakni keallahan itu sendiri. Athanasius menekankan bahwa sebagaimana Bapa Allah, maka Anak adalah Allah. Keallahan yang mestinya dijadikan sebagai karakteristik dari proses kelahiran yang dijadikan[44] Kedua, Hakikat Allah. Bagi hakikat Allah, antara Bapa dan Anak berbeda. Perbedaan keduanya didasari oleh aspek essensial ilahi oleh keduanya. Bapa dan Anak dalam essensinya tidak menjelaskan Allah secara langsung tetapi secara fungsional sebagai pribadi. Bapa menyimbolkan pribadi Allah yang menciptakan segala sesuatu, sumber dari segala sesuatu dan Anak menyimbolkan pribadi Allah yang menyelamatkan segala sesuatu.
Perbedaan diantara keduanya tidak menyimbolkan Pluralisme dalam diri Allah, tetapi hakekat dari Allah yang satu dalam fungsinya. Ketiga, Essensi Roh Kudus. Bagi Athanasius konsep arius yang melihat roh ada ciptaan yang berada di bawah Putra, menjadi sesuatu yang keliru dalam pandangan Athanasius, sebab Roh Kudus juga merupakan bagian dari ousios Allah antara Bapa, Anak dan Roh Kudus. Roh Kudus merupakan Roh Putra segala yang dimiliki putra dimiliki pula oleh Roh, sedemikian yang dimiliki putra adalah dimiliki Bapa. Maka ketiganya adalah hakikat Allah itu sendiri.
4.2 Ketiga Orang Kapadokia Basilius Agung, Gregorius dari Nyssa dan Gregrorius dari Nazianze.
Ketiga orang dari kapadokia ini mengembangkan terminologi yang tepat untuk membedakan antara hakikat Allah pada umumnya disatu pihak dan para pribadi individual dipihak lain. Jika para teolog sebelumnya menggunakan istilah Ousia dan Hypostasis secara campur baur, ketiga orang kapadokia menempatkan kedua isitilah ini sesuai fungsinya. Istilah ousia ditempatkan untuk mengambarkan hakikat (essensi atau kodrat) Ilahi yang dimiliki bersama oleh ketiga Diri, sedangkan hypotasis untuk eksistensi pribadi yang dimiliki oleh masing-masing Diri Ilahi. Dari hal ini ousia untuk Ketuhanan, dan hypotasis untuk diri atau pribadi.
Selain dalam memperjelas terminologi teologis ketiga orang dari kapadokia juga berjasa dalam mempertajam kekhususan para pribadi Tritunggal, dibandingkan para teologi sebelum mereka. Bagi mereka Bapa mengenakan Kebapaan menjelaskan asal-usul, anak mengenakan Keputraan menjelaskan penyelamatan, dan Roh Kudus menggambarkan pengudusan menjelaskan akhir atau kepenuhan. Dari hal ini jelas ketiganya berbeda dalam pribadi yang dijalankan, akan tetapi satu dalam tujuan yang dilaksanakan.
4.3 Konsili Konstantinopel
Konsili Konstantinopel merupakan kelanjutan dari Konsili Nicea yang dinilai belum mampu diterima semua pihak dan menjelaskan essensi yang ketiga semakin luas. Adapun rumusannya sebagai berikut : Kami percaya kepada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan yang tak kelihatan.
Dan akan satu Tuhan,Yesus Kristus,Anak Allah yang Tunggal; Ia lahir dari Sang Bapa sebelum ada segala abad, Terang dari Terang. Allah benar dari Allah benar, dilahirkan, bukan dijadikan; sehakekat dengan Sang Bapa, segala sesatu dijadikan oleh-Nya, Ia turun dari sorga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, dan Ia menjadi daging oleh Roh Kudus dari perawan Maria, dan menjadi manusia, Ia pun disalibkan untuk kita pada waktu Pontius Pilatus, Ia menderita, wafat dan dimakamkan, Pada hari yang ketiga, Ia bangkit menurut kitab suci, dan Ia naik ke surga disisi Bapa; Ia akan datang kembali dengan kemuliaan untuk mengadili orang yang hidup dan yang mati; yang kerajaan-Nya takkan berakhir.
Dan akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan, Ia berasal dari Sang Bapa, Yang serta Bapa dan Anak disembah dan dimuliakan, Ia bersabda perantaraan para nabi. Akan Gereja yang satu dan kudus, Katolik dan Apostolik. Kami mengakui satu baptisan akan penghapusan dosa. Kami menantikan kebangkitan orang mati dan hidup di akhirat. Amin.
Dari pengakuan iman ini muncul sejarah baru dimana gereja untuk pertama kali memiliki pengakuan iman yang diterima dari hasil sidang yang dilakukan. Pengakuan iman ini juga menjadi titik tolak baru dari gereja baralih dari masa gereja purba. Ada perbedaan antara pengakuan iman pra konsili dan pasca konsili. Pada Pra Konsili hanya Bapa saja yang dilihat sebagai Allah, akan tetapi setelah konsili Hubungan antara Bapa, Anak dan Roh Kudus dilihat Sehakikat ( homo- ousios ) sebagai Allah yang satu, tidak ada perbedaan dalam kedudukan mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah diantara ketiganya.
5. Perkembangan Trinitas Pada Masa Pasca Konsili
Pada Masa Pasca konsili gereja didorong untuk menyatakan pengakuan iman Konstantinopel bukan sebagai refleksi akhir dari Trinitas, tetapi mesti dijelaskan lebih dalam agar umat Kristen dapat memaknai kebutuhan dari pengakuan iman tersebut. Maka tokoh yang penting pada masa pasca – konsili adalah Santo Agustinus, sebab ia berhasil mengembangkan Trinitas Pasca-Konsili dalam pemaknaan iman Kristen.
Santo Agustinus memaknai Trinitas terdapat dalam karyanya The Trinity. Buku ini ditulis selama kurun waktu ( 399-419 M ) yang merupakan karya terbesar tentang trinitas yang pernah ditulis dalam gereja pasca- konsili. Dasar pemikiran Agustinus untuk menjelaskan Pengakuan Iman Kristen diawali dengan mengemukakan dua pertanyaan penting mengenai Trinitas. Pertama, Bagaimankah menjelaskan keesaan Allah dalam tiga pribadi sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus? Kedua, Bagaimankah memahami Trinitas yang bekerja terbagi sebagai Yang Mencipta, Yang Menyelamatkan dan Yang Memberkati?.
Terkait dengan hal ini Ada 3 hal penting yang dipakai Agustinus untuk menggambarkan Trinitas, yakni:
5.1 Kesatuan Allah
Kesatuan Allah bagi Agustinus adalah Mutlak, sekalipun kesatuan ini tidak berasal dari Satu Pribadi melainkan Tiga Pribadi. Agustinus mengakui bahwa Hal ini memang sulit untuk dipahami oleh sebab itu Ia menyatakan bahwa “Dan jika ini tidak dapat ditangkap oleh pemahaman, biarlah dipegang oleh iman”.[50]
Pandangan agutinus mengenai kesatuan Allah, melihat keberadaan bukan secara substantia, melainkan essensia seperti athanasius.
Bahasa Substansi bagi Agustinus menunjukan satu Yang Mutlak menguasai semua yang berada dibawah substansi tersebut, tetapi dalam Trinitas Yang Mutlak adalah Tiga bukan satu. Maka Bahasa essensia lebih tepat dipakai untuk menjelaskan Keesaan Allah adalah hasil dari kesatuan Tiga Pribadi, bukan otoritas satu pribadi.
Pada mulanya adalah Firman, Firman itu adalah Allah. Ungkapan ini menunjukan hakekat Bapa sebagai Allah. Firman itu kemudian menjadi manusia hakekat Yesus sebagai Allah, dan ketika Firman Itu berdiam bersama kita Ia menggambarkan Hakekat Roh Kudus sebagai Allah. Hal ini menunjukan bahwa ada tiga pribadi Allah, tetapi tiga pribadi tersebut bukanlah latardepan dari Allah melainkan latar belakang dari satu essensi sebagai latar depan dari ketiganya[53]. Maka tidak dapat dikatakan bahwa hanya Bapa saja, atau Putra saja, atau Roh Kudus saja yang menggambarkan Allah, tetapi Allah menjadi nampak dari kesatuan ketiganya.
5.2 Hakikat Allah
Agustinus menggunakan kata relasi dalam menggambarkan hakekat Allah dari masing-masing pribadi Relasi. Alasannya Relasi antara Bapa, Anak dan Roh Kudus yaitu ketiga yang disebut “pribadi’ tersebut bukan sesuatu yang berbeda dalam diri-Nya sendiri, melainkan hanya berbeda dalam relasi-Nya satu sama lain dan kepada dunia. Maka paham relasi mengacu baik kepada kehidupan batin Allah (Inter-trinitas, Antara Bapa, Putra dan Roh Kudus ).
Ketiga Person memiliki sifat-sifat yang agung yang melekat pada kesatuannya (essensi Primer) berbeda dalam Fungsionalitasnya (essensi sekunder). Allah Bapa, dalam arti primer menyatakan tentang Keesaan Allah dalam Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Tetapi dalam arti sekunder, Bapa dilihat dari sudut pandang penciptaan, sumber dari segala sesuatu yang diciptakan untuk kehidupan ciptaannya. Anak dalam arti sekunder dilihat dari sudat pandang penebusan, sebagai penyelamat yang membebaskan manusia dari dosa dan kesalahannya. Sementara Roh Kudus dalam arti sekunder dilihat sebagai Pemberi berkat menggambarkan puncak dari satu ekonmi keselamatan Allah[56]. Maka dalam arti sekunder, dapat dirasakan perbedaan antara ketiga Pribadi tetapi dalam arti primer Hakikat dari ketiganya adalah satu.
5.3 Karya Keselamatan Allah
Agustinus melihat Karya keselamatan adalah cara penting untuk memandang Trinitas, sebab ketiga person adalah Allah yang satu tampil berbeda untuk memenuhi keselamtannya.[57] Bagi Agustinus bukan trinitas yang menjelma menjadi Anak, menderita, mati, dibangkitan dan naik ke surga. Secara fungsional karya keselamatan ini hanya Putra saja. Selain itu bukan trinitas yang melingkupi para murid dalam pentakosta dan pemberitaannya melainkan hanya Roh Kudus saja. Maka bukan Trinitas yang tampil sebagai pencipta tetapi hanya Bapa saja. Tetapi dalam keselamatan Allah bukan salah satu dari ketiganya, melainkan ketiganya adalah Allah satu.
6. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, tersimpulkkan bahwa pembentukan dogma Trinitas bermaksud untuk mencoba menjelaskan bagaimana satu Allah yang kekal (di luar waktu) dapat menciptakan dan memelihara dunia (di dalam waktu) yang penuh kepelbagaian, serta mengilhami dan menyelamatkan manusia dengan cara terlibat dalam sejarah manusia, bahkan menuanginya (sekali lagi, terjadi di dalam waktu).
Dalam masa perkembangannya ditemukan ada perbedaan konsep dalam tujuan dan relasi antara satu masa dengan masa yang lainnya mengenai konsep Trinitas.
1. Pada masa awal Perkembangan Gereja, Tujuan Trinitas adalah Merumuskan Kepercayaan Kepada satu Allah (Monoteisme menjawab tantangan Yahudi) dalam Hakekat Bapa, Anak, dan Roh Kudus secara Rasional (Ajaran Gnostik Budaya Helenis). Sementara Relasi Trinitas bersifat Hierarkis dimana Bapa saja yang dilihat sebagai Allah Yang Mutlak dan Menguasi semua, sementara Anak dan Roh Kudus dilihat berada dibawah Bapa sebab diciptakan dan keluar dari yang diciptakan.
2. Pada masa Konsili Nicea (325) Tujuan Trinitas berkaitan merumuskan satu bentuk Pengakuan Iman dalam Kekristenan yang diterima oleh semua Pihak untuk mencengah perpecahan dalam gereja (berkaitan dengan politik kaisar dalam pemerintahannya ). Relasi Trinitas yang terbentuk dari hal ini adalah bersifat homo-ousios ( Sejajar )antara Bapa, Anak, sementara Roh Kudus masih dilihat sebagai yang keluar dari anak sebagai pribadi yang berada dibawah Bapa dan anak.
3. Pada Masa Konsili Konstantinopel (381) Tujuan Trinitas adalah Merumuskan Pengakuan Iman Yang diakui dan diterima dalam berbagai aliran kekristenan ( Menjawab Perlawanan Arianisme dan mencengah perpecahan mendalam Gereja Barat dan Timur ). Relasi Trinitas antara Bapa, Anak dan Roh Kudus. Sebagai satu Allah dalam hakekatnya (homo-ousios), akan tetapi menjadi pribadi yang berbeda dalam fungsinya ( hypotasis).
4. Pada Masa Pasca Konsili Tujuan adalah Memberikan kejelasan mengenai Konsep Trinitas agar dapat dipahami oleh Umat Kristen sebagai Pengakuan Iman akan Allah setelah pembentukannya dalam konsili. Relasi, ketiganya sederajat. Tidak ada satu pribadi yang mewakili pribadi-pribadi lainnya. Allah bukan hanya bapa, tanpa anak dan Putra. Ketiganya adalah satu bukan tiga sebab ketiganya bukan substansi melainkan essensi. Dalam essensi yang primer ketiganya adalah satu, akan tetapi secara sekunder ketiganya bukan satu, melainkan tiga dalam fungsi dan perannya.
Referensi Global :
[1] John Hick, God Has Many Names, ( Philadelphia : Westminster Press. 1982 ). 51
[2] Komaruddin Hidayat,dkk. Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995),37-38 ; Lihat Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen dan Islam selama 4000 tahun , (Bandung : Mizan, 2002), 27
[3] John Titaley, “Negara, Agama-Agama dan Hak Asasi Manusia: Mengkaji Ulang Eksklusivisme Agama”, Makalah Caringin, Bogor, Sidang Raya PGI, 30 Nopember-4 Desember 2004,14.
[4] Ibid 15
[5] Hans Kung dan karl- josef kuschel, Etik Global, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar 1999). 80
[6] John Hick, God Has Many Names...., 52
[7] John A. Titaley, “Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual : Dalam rangka Pidato Pengukuhan Jabatan Fungsional Akademik Guru Besar Ilmu Teolgi di Universitas Kristen Satya Wacana “, Salatiga, 29 Nop 2002, 28-29
[8] John Titaley, “Negara, Agama-Agama dan Hak Asasi Manusia: Mengkaji Ulang Eksklusivisme Agama”...., 15
[9] John Hick, God Has Many Names....,
[10] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan : Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, dan islam selama 4000 Tahun, (Bandung : Mizan Psutaka 2004). 44
[11] Ibid .126
[12] Ibid 127
[13] Kirchberger, George, Allah Menggungat sebuah dogmatika Kristiani, ( Maumere: LEDALERO, 2007 ) 165
[14] Edmund J Fortman, The Triune God, A Historical Study of the Doctrines of Trinity, ( Grand Rapids, Michigan : Baker Book House. 1982 ) 41
[15] Ibid 42
[16] Nico Syukur Dister, Teologi sistematika 1…., 129
[17] J. N. D. Kely, Early Christian Doctrines, ( London ; A& C Black, 5 th. Ed. 1989) 97
[18] Ibid . 98
[19] Ibid
[20] Edmund J Fortman, The Triune God, A Historical Study of the Doctrines of Trinity…., 45
[21] Kirchberger, George, Allah Menggungat sebuah dogmatika Kristiani ….,172
[22] Ibid . 173
[23] . E. I. Nuban Timo. Allah Menahan Diri Tapi Pantang Berdiam Diri ( KDT : 2012 ) Ibid. Hal 77
[24] Ibid. 78
[25] Ibid hal 79
[26] Louis Berkhof. The History of Christian Doctrines…., 90
[27] Ibid. 91
[28] Nico syukur Dister, Teologi sistematika 1…., 140 bnd Shedd, William G.T. A History of Christian Doctrine (Charles Scribner’s Sons, 1889; reprint Minneapolis, MN: Klock & Klock Christian Publishers, 1978), 306
[29] Shedd, William G.T. A History of Christian Doctrine...., 307
[30] Louis Berkhof. The History of Christian Doctrines…., 91
[31] Ibid. 92
[32] Shedd, William G.T. A History of Christian Doctrine...., 308
[33] Linwood Urban. Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen….,77
[34] Ibid. 78
[35] Lohse, Benhard, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen….,61
[36] Ibid. 62
[37] Niko Syukur Dister, Teologi sistematika 1…., 143
[38] Dr. C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi , ( Yogyakarta : Kanisius 1988 ) hal 131
[39] Ibid. 131
[40] Ibid. 132
[41] Ibid 133
[42] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen….,79
[43] Ibid 80
[44] Ibid. 81
[45] Ibid. 81
[46] Niko Syukur Dister, Teologi sistematika 1….,149
[47] Ibid. 153
[48] Ibid. 155
[49] Millard J. Erickson, God in Three Persons: A Contemporary Interpretation of the Trinity (Grand Rapids: Baker Books,1995), 131.
[50] Ibid. 133
[51] Ibid. 156
[52] Louis Berkhouf , The History of Christian Doctrines....,94
[53] Millard J. Erickson, God in Three Persons: A Contemporary Interpretation of the Trinity....,135
[54] Berkhof, Louis. The History of Christian Doctrines...., 92
[55] Edmund J. Fortman, The Trunie God, A Histroical study of the Doctrines of Trinity….,139
[56] Seeberg, Reinhold, History of Doctrines, Trans. Charles E. Hay (Grand Rapids, MI: Baker Book House, 1977). 120.
[57] Berkhof, Louis. The History of Christian Doctrines....,95
[58] Seeberg, Reinhold, History of Doctrines ....,121
Maka akan diberikan gambaran singkat menyangkut sejumlah soal-soal diatas, mulai dari masa Gereja Purba memaknai Trinitas hingga masa kini.
1. Masa Gereja Purba
Pada masa gereja purba pengakuan iman bukan hanya didasarkan kepada Allah saja seperti bangsa Yahudi, tetapi juga kepada Yesus Kristus dan Roh Kudus. Yesus dan Roh Kudus dilihat sebagai Allah, karena keduanya merupakan Peletak Dasar terbentuknya gereja di dalam dunia.[11] Hal ini kemudian menjadi persoalan gereja yang mendapat tekanan dari monoteisme Yahudi dengan penekanan kepada Keesaan Allah. Gereja Purba mesti menempatkan pengakuan kepada Bapa, Yesus dan Roh sebagai yang satu. Keesaan Allah pada massa gereja purba hanya keesaan pribadi Bapa diantara pribadi Anak dan Roh Kudus. Anak hanya mewakili Bapa dalam karyanya, sehingga ia tampil sebagai Topeng , dan roh Kudus dilihat sebagai pribadi ketiga, sebab keluar dari sang anak.[12] Pada massa gereja purba belum ada padangan yang kuat sebagai dasar akan persamaan ataupun perbedaan diantara ketiganya.
2. Masa Peralihan dari Palestina ke Yunani
Abad ke-II dilihat sebagai masa peralihan gereja beserta teologinya yang berpindah dari lingkungan palestina ke alam pemikiran yunani. Dengan demikian gereja diperhadapkan pada masalah inkulturasi; dimana gereja perlu mengungkapkan iman dan kepercayaannya dalam suatu bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang berbudaya Hellenis. Salah satu tantangan yang perlu dihadapi dan dipecahkan pada abad ke dua ini berkaitan dengan kebenaran Allah .[13]
Pemikiran Ibrani memandang kebenaran Allah diwahyukan dalam sejarah yang bertolak pada aspek fungsi dan tugas yang diperanakan. Dalam Pemikiran Ibrani secara fungsional Yesus mendapat gelar sebagai mesias, Tuhan, Guru, Hamba sesuai dengan peran yang dilakukannya. Sedangkan bagi orang-orang Yunani kebenaran itu didasarkan pada tataran kodrat dan dunia. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kodrat Yesus dalam Iman Kristen, apakah sebagai manusia ataukah sebagai Allah, atau sesuatu di antara kedua hal tersebut?, begitu pula dengan Roh Kudus.[14]
Situasi ini kemudian ditanggapi oleh para apologet gereja yang bertindak sebagai perintis inkulturasi yang berusaha menempatkan kebenaran Allah dalam pemikiran Yunani yang muncul dalam dua bentuk yakni Pluralisme dan Monarkhianisme[15].
2.1 Model Pluralisme / Triteisme
Perintis awal yang mencoba menempatkan Kebenaran Allah dalam pemikiran Yunani adalah Yustinus Martir seorang bapa gereja dari Timur. Kebenaran Allah ditempatkan oleh Yustinus dengan menggunakan bahasa “ Allah yang lain”.[16] Hakekat Allah bagi Yustinus awalnya adalah satu sebelum penciptaan, akan tetapi setelah penciptaan Allah bukan hanya satu tetapi tiga sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus, bukan sebagai yang satu, melainkan sebagai Tiga Pribadi.[17] Sebelum penciptaan Allah adalah satu sebagai Logos, akan tetapi tetapi saat penciptaan itu dimulai, maka logos pun hadir dalam tiga fungsi.
Dalam Bapa, Logos dilihat sebagai pencipta dan pemelihara dunia. Dalam Anak, Logos dilihat sebagai yang menyatakan kebenaran kepada manusia. Sementara pada Roh Kudus, Logos merupakan Roh dari logos itu sendiri. Sehingga Allah dilihat sebagai Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. [18] Logos dari Anak dan Roh Kudus berada di bawah Bapa sebagai sumber dari Logos itu. Anak dan Roh memang ada bersama sebelum penciptaan, akan tetapi keduanya tidak sama kekalnya sebab diturunkan dari Bapa, sehingga “Allah Yang Lain” dipakai untuk Anak dan Roh kudus[19]. Yustinus menggunakan analogi matahari sinar dan terangnya untuk menjelaskan hal ini. Sinar dan terang memang tidak dapat dipisahkan dari matahari, tetapi sinar dan terang itu tidak seidentik matahari [20].
Sehingga bagi Ia formulasinya adalah “Allah Bapa” DAN “Allah Anak” DAN “Allah Roh Kudus". Dalam Pandangan Yustinus ini, Kebenaran Allah menjadi Plural karena itu gereja mendapat tantangan yang berat dari konsep ini.
2.2 Monarkhianisme
Monarkhianisme berasal dari akar kata Yunani yakni mone arkhe yang berarti prinsip tunggal. Model monarkhianisme lahir dari ketakutan akan kehilangan keesaan Allah oleh pengakuan Kristen akan keallahan Yesus Kristus. Maka mereka mulai mencari jalan , bagaimana hubungan Yesus dengan Allah bisa dipikirkan tanpa menghilangkan keesaan absolute Allah.[21] Terkait dengan hal ini maka ada dua tipe yang muncul yakni:
2.2.1 Monarkianisme Dinamis
Tokoh pendirinya adalah Theodatus dari Byzantium. Bagi Theodatus Yesus hanyalah manusia biasa yang baru diberi kekuatan khusus saat Roh Kudus turun atasnya pada saat pembaptisan. Allah dengan Roh ilahinya melengkapi Yesus yang membuat sampai Yesus memiliki kedudukan yang khusus dimata Allah, bahkan Yesus disebut sebagai Anak Allah. Akan tetapi menjadi Anak Allah tidak membuat Yesus menjadi Allah. Konsep semacam ini membuat sampai Monarkianisme Dinamis disebut juga sebagai aliran adoptianisme.
2.2.2 Monarkhianisme Modalis
Penggagas model ini adalah Sebelius. Ia sangat kuat memberi tekanan kepada keesaan Allah, tetapi akibatnya kebhinekaan pribadi Allah dikorbankan. Sebalius mengajarkan bahwa Allah yang satu itu hadir dalam sejarah bukan hanya dalam pribadi yang berbeda tetapi juga dalam rentang waktu yang tidak sama.[23] Nama modalisme hanya dilihat sebagai mode-mode atau cara penampilan Allah yang satu.
2.2.3 Model Subordinatianisme
Aliran ini disebut Subordinationisme, karena ketiga ilahi yang disaksikan diyakini memiliki kadar keilahian didalamnya. Allah Sang Bapa memiliki kadar Keilahian yang lebih tinggi dari Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Konsep ini dikembangkan oleh Arius (meninggal tahun 336) dan Eusibius. Aliran ini sama halnya dengan monarkianisme yang hendak mempertahankan hakekat monotheisme dari kepercayaan Gereja.
Tabel Perkembangan Trinitas Pada Masa Klasik
Monarkhianisme Subordinati-anisme PLURALISME
Monarkhianisme Dinamis
Yesus Kristus adalah manusia yang bersifat ilahi karena diangkat sebagai Anak Allah, karena itu di bawah Bapa secara hakiki.
Monarkhianisme Modalis
Pribadi-pribadi ilahi hanyalah cara berada (modus) dari Allah. Ketiga ilahi yang diyakini memiliki kadar keilahian didalamnya. Allah Sang Bapa memiliki kadar Keilahian yang lebih tinggi dari Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Menekankan kejamakan Allah.
Ada tiga Allah, masing-masing dengan hakikat yang berbeda
Modalisme Kronologis
Pribadi-pribadi ilahi bekerja pada waktu yang berbeda-beda
Modalisme Fungsional
Pribadi-pribadi ilahi memiliki fungsi yang berbeda-beda
3. Masa Konsili dari Nicea sampai Konstantinopel
Masa Konsili dimulai dari pertengahan abad ke-III hingga awal abad ke-IV. Pada masa Konsili Trinitas dirumuskan sebagai sebuah pengakuan yang sah didalam gereja. Masa konsili di awali oleh Konsili Nicea pada Tahun 325 pada masa kepemimpinan Kaisar Konstantin, akan tetapi keputusannya belum mampu mengakhiri persoalan iman dalam gereja, kemudian dibentuklah Konsili kedua di Konstantinopel pada tahun 381 untuk menyelesaikannya. Ada dua tokoh penting selain kaisar yang berpengaruh didalam proses konsili yakni Arius pada Konsili Nicea dan Athanasius pada Konsili Konstantinopel. Pandangan dari kedua tokoh gereja ini berpengaruh terhadap perkembangan iman Kristen dalam masa konsili.
3.1 Latar Belakang Pembentukan Konsili Nicea
Pembentukan Konsili Nicea disebabkan karena beberapa aspek Pertama, isu perpecahan yang diangkat oleh Arius Uskup Bacilius dari Alexandria yang memandang bahwa Yesus Kristus tidak sehakikat dengan Sang Bapa. Persoalan ini kemudian menimbulkan kebingungan bahkan menimbulkan perpecahan dalam tubuh kekristenan.
Kedua, Kepentingan politik kaisar dengan agama kristen. Kaisar konstantinopel telah menempatkan kekristenan sebagai agama negara untuk kekuatan pemersatu dalam wilayah kekuasaannya. Maka perpecahan yang terjadi tubuh kekeristenan dapat menghancurkan kekauasaannya. Oleh karena itu konstantinopel berusaha mempertemukan semua pihak gereja yang berkepentingan dan mendorong para uskup untuk menemukan formula perdamaian yang dapat mempersatukan gereja dan meredam ancaman disintegrasi yang membayang. Maka berlangsunglah konsili Nicea, 325 atas prakarsa Kaisar.
a. Pandangan Arius
Arius adalah pastor dari Gereja Baucalis di Alexandria sama seperti Origenes. Arius melihat bahwa Allah Bapa lebih besar dari Anak Allah yang pada gilirannya lebih besar daripada Roh Kudus. Akan tetapi berbeda dengan Origenes, Arius tidak percaya bahwa ada hierarki dalam diri Allah. Maka Arius menempatkan monoteisme radikal dalam sistem origens bahwa hanya Bapa sajalah Allah. Diluar Bapa bukan Allah hanya ciptaan yang diangkat oleh Allah. Arius menyatakan pengakuan Imannya bahwa “Kami mengaku satu Allah yang tidak diperanakan, yang satu-satunya kekal, yang satu-satunya tanpa awal, yang satu-satu tidak dapat mati, yang satu-satunya baik, yang satu-satunya bijaksana, yang satu-satunya Tuhan, yang satu-satunya hakim bagi semua,” maka yang kami akui adalah Allah Bapa sumber dari segala yang diciptakan dan satu satunya Allah dalam kekeristenan.Dari hal ini Ada dua hal penting yang menjadi dasar pemikirannya Arius.
Pertama, Karya penyelamatan Kristus. Bagi Arius karya utama Penyelamat adalah teladan bagi kita. Kristus adalah Anak Allah, tetapi seorang anak melalui proses adopsi (pengangkatan). Sehingga Kristus bukanlah Ho Theos, tetapi hanya dilihat sebagai Theos. Arius menyatakan bahwa Allah tidak selamanya Bapa. Ada saat dimana ia sendirian tanpa nama berdiri dalam kekekalan, kemudian baru ia diisi oleh Bapa sebagai pencipta.
Bapa dapat menjadi Allah karena ia tidak berubah dan bukan pribadi. Ia kekal dalam waktu bukan terikat dalam waktu. Anak menjadi Kristus memerlukan penyempurnaan, sementara Bapa tidak memerlukan penyempurnaan untuk menjadi Allah.
Penyempurnaan Yesus menjadi Anak Allah terjadi melalui penyempurnaan kebijaksanaan dan Keallahan-Nya secara bertahap. Ia dapat berubah sebab bila Ia tidak dapat, maka tak dapat pula ia menjadi semakin sempurna (Ibrani 2:52). Sehingga Anak tidak dapat mencapai meski demikian kesempurnaan sebagaimana sang Bapa maka Kristus adalah ciptaan seperti kita.
Kedua, hakikat Kristus. Hakikat Kristus sebagai Anak yang mengalami perubahan kearah penyempurnaan ini terjadi oleh karena ketaatan dan kehidupan spiritual-Nya. Bagi Arius, Kristus bukanlah manusia biasa. Ia percaya bahwa sang Anak adalah pencipta dunia yang pra-ada (pre-eksisten). Ia seperti malaikat, Ia bukan manusia, bukan pula Allah. Arius menyatakan bahwa Kristus sekaligus pencipta yang pra-ada dan sekaligus ciptaan. Ia berada atau bereksistensi di dalam waktu. Salah satu kalimat Arius yang terkenal adalah ‘ada masa ketika Ia belum atau tidak ada, dan saat ia ada menandakan ia bukan manusia biasa bukan pula Allah. Hakikat Kristus berubah, berkembang. Hal ini membuat sampai Kristus seperti demi-god (setengah dewa) atau malaikat, sehingga hakikat Kristus adalah campuran: tubuh manusia dengan jiwa malaikat.
Dari hal ini maka Arius hanya melihat satu Allah bukan tiga Allah dalam satu, bukan juga hirarkhis tetapi hanya satu Allah yang kemudian menyempurnakan Kristus untuk menyelamatkan umat-Nya dan memberikan Roh Kudus bagi keberlangsungan hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya.
b. Konsili Nicea
Konsili ini dikumpulkan pada tahun 325 oleh kaisar Konstantin dengan maksud agar ada perdamaian dan pemulihan didalam gereja. Selain itu agar landasan hukum yang sama terkait dengan iman kepada Allah. Hal ini menjadi penting agar gereja tidak berselisih persoalan pengakuan, tetapi mendukung pemerintahan Konstantin dengan jalan membuang mereka yang melanggar hukum yang disepakati.
Peserta yang menghadiri sidang tersebut k.l 300 Uskup yang dipimpin oleh Uskup Hosius, dari Cordoba yang merupakan penasihat rohani dari konstantin, sekalipun banyak delegasi yang hadir dari timur dan menghendaki Eusthathius, uskup Antiokia, yang menjadi pemimpin konsili, namun jalannya sidang tetap dipimpin oleh Hosius.
Kata penting yang muncul dan menjadi inti dari konsili nicea tidaklah dikeluarkan oleh para uskup, tetapi oleh kaisar sendiri yang diyakini telah menerima masukan dari uskupnya yakni Hosius. Kata itu ialah homo- ousios yang artinya Sehakekat. Homo- ousios digunakan pertama kali oleh Tertulianus untuk menunjukan bahwa Pribadi Bapa dan Anak adalah sehakekat, sehingga kredo ataupun pengakuan iman terhadap Allah pada konsili Nicea berbunyi demikian :
"Aku percaya kepada satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah yang diperanakkan dari Bapa (Ialah dari zat/hakikat ousia - Bapa, Allah dari Allah, cahaya dari cahaya, Allah benar/ sejati dari Allah benar atau sejati, dilahirkan, tidak dibuat, sezat/ hakikat homo-ousios dengan Bapa), apa Yang oleh-Nya segalanya dijadikan, yang di surga dan yang di bumi. Yang demi kita manusia dan demi keselamatan kita, turun dan menjadi daging, menjadi manusia,
Menderita sengsara dan bangkit pula pada hari yang ketiga, naik ke surga, dan akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Dan kepada Roh Kudus."
Arius serta uskup-uskup yang membangkang dipecat dan dibuang ke pedalaman, selain itu tulisan-tulisan mereka dibakar, serta siapa yang mempunyai tetapi tidak menyerahkannya terancam hukuman mati. Penegasan akan hal ini yakni :
“ Terkutuklah Mereka oleh Gereja Katolik dan Apostolik yang berkata: Ia Ada suatu waktu dimana dia (Yesus) belum ada, sebelum dia dilahirkan ia belum ada, dia menjadi dari apa yang belum ada, mereka yang mengatakan bahwa dia dari suatu zat atau hakikat yang lain dari pada hakikat sang Bapa, atau mereka yang mengatakan bahwa Anak Allah diciptakan atau dapat berubah – mereka semua dikutuk.”
Inti dari konsili nicea adalah Sang Putra bukan dijadikan, tetapi dilahirkan. Sehingga sang putra bukanlah ex nihilo, dan juga tidak pernah ada waktu dimana Bapa tidak bersama dengan Putra, sebab keduanya memiliki kodrat yang sama, dengan kata lain keduanya adalah sehakikat.
4. Latar Belakang konsili Konstantinopel
Konsili Konstantinopel hadir dengan latar belakang adanya ketidakpuasaan dari Gereja Timur pengikut Arius bahwa Yesus sehakikat dengan sang Bapa. Mereka masih berusaha meyakinkan gereja-gereja bahwa keputusan Konsili mengandung kesalahan. Kali ini mereka melancarkan serangan dari sebuah ungkapan umum yang sudah dikenal sejak dinyatakan oleh Origenes: ‘apa yang dilahirkan dari Allah adalah Allah’. Kaum Arian memahami ‘melahirkan’ ini sebagai penerusan ciri-ciri atau karakteristik dari yang melahirkan kepada yang dilahirkan. Bagi mereka hal ini merupakan problematik dalam hal hubungan antara Allah dengan Logos.
Ada tiga alasan yang mereka ajukan. Pertama, karakter dasar dari Allah adalah tak-berasal-usul (unoriginated). Jelas hal ini tak dapat diberikan kepada sang Anak, sebab Ia berasal dari Allah. Kedua, bila sang Bapa tidak dilahirkan dan tidak melahirkan, maka sang Anak seharusnya juga tidak dilahirkan dan tidak melahirkan. Ketiga, bila sang Anak memiliki segala karakteristik (properties) yang sama dengan sang Bapa, maka Ia pun dapat melahirkan seorang Anak, dan Anak itu melahirkan lainnya, demikian seterusnya.
Penolakan kaum Arian ini kemudian menimbulkan persolan baru dalam gereja, maka untuk mengakhiri perbedaan ini, dibentuklah Konsili Konstantinopel pada tahun 381 dengan tokoh penting didalamnya adalah Athanasius Uskup dari Alexandria yang menjelaskan penerapan homo-ousios untuk pribadi Anak dan Bapa.
4.1 Athanasius merupakan uskup Alexandria pada tahun 373. Dalam perjuangannya melawan Arianisme,Athanasius bertolak dari tiga hal yakni : Pertama Karakteristik Allah. Bagi Athanasius kaum arian salah memaknai kata kelahiran, sebab persoalannya bukan pada penerusan, karakter ataupun sifat, melainkan pada ada aspek material yang sama oleh keduanya yakni keallahan itu sendiri. Athanasius menekankan bahwa sebagaimana Bapa Allah, maka Anak adalah Allah. Keallahan yang mestinya dijadikan sebagai karakteristik dari proses kelahiran yang dijadikan[44] Kedua, Hakikat Allah. Bagi hakikat Allah, antara Bapa dan Anak berbeda. Perbedaan keduanya didasari oleh aspek essensial ilahi oleh keduanya. Bapa dan Anak dalam essensinya tidak menjelaskan Allah secara langsung tetapi secara fungsional sebagai pribadi. Bapa menyimbolkan pribadi Allah yang menciptakan segala sesuatu, sumber dari segala sesuatu dan Anak menyimbolkan pribadi Allah yang menyelamatkan segala sesuatu.
Perbedaan diantara keduanya tidak menyimbolkan Pluralisme dalam diri Allah, tetapi hakekat dari Allah yang satu dalam fungsinya. Ketiga, Essensi Roh Kudus. Bagi Athanasius konsep arius yang melihat roh ada ciptaan yang berada di bawah Putra, menjadi sesuatu yang keliru dalam pandangan Athanasius, sebab Roh Kudus juga merupakan bagian dari ousios Allah antara Bapa, Anak dan Roh Kudus. Roh Kudus merupakan Roh Putra segala yang dimiliki putra dimiliki pula oleh Roh, sedemikian yang dimiliki putra adalah dimiliki Bapa. Maka ketiganya adalah hakikat Allah itu sendiri.
4.2 Ketiga Orang Kapadokia Basilius Agung, Gregorius dari Nyssa dan Gregrorius dari Nazianze.
Ketiga orang dari kapadokia ini mengembangkan terminologi yang tepat untuk membedakan antara hakikat Allah pada umumnya disatu pihak dan para pribadi individual dipihak lain. Jika para teolog sebelumnya menggunakan istilah Ousia dan Hypostasis secara campur baur, ketiga orang kapadokia menempatkan kedua isitilah ini sesuai fungsinya. Istilah ousia ditempatkan untuk mengambarkan hakikat (essensi atau kodrat) Ilahi yang dimiliki bersama oleh ketiga Diri, sedangkan hypotasis untuk eksistensi pribadi yang dimiliki oleh masing-masing Diri Ilahi. Dari hal ini ousia untuk Ketuhanan, dan hypotasis untuk diri atau pribadi.
Selain dalam memperjelas terminologi teologis ketiga orang dari kapadokia juga berjasa dalam mempertajam kekhususan para pribadi Tritunggal, dibandingkan para teologi sebelum mereka. Bagi mereka Bapa mengenakan Kebapaan menjelaskan asal-usul, anak mengenakan Keputraan menjelaskan penyelamatan, dan Roh Kudus menggambarkan pengudusan menjelaskan akhir atau kepenuhan. Dari hal ini jelas ketiganya berbeda dalam pribadi yang dijalankan, akan tetapi satu dalam tujuan yang dilaksanakan.
4.3 Konsili Konstantinopel
Konsili Konstantinopel merupakan kelanjutan dari Konsili Nicea yang dinilai belum mampu diterima semua pihak dan menjelaskan essensi yang ketiga semakin luas. Adapun rumusannya sebagai berikut : Kami percaya kepada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan yang tak kelihatan.
Dan akan satu Tuhan,Yesus Kristus,Anak Allah yang Tunggal; Ia lahir dari Sang Bapa sebelum ada segala abad, Terang dari Terang. Allah benar dari Allah benar, dilahirkan, bukan dijadikan; sehakekat dengan Sang Bapa, segala sesatu dijadikan oleh-Nya, Ia turun dari sorga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, dan Ia menjadi daging oleh Roh Kudus dari perawan Maria, dan menjadi manusia, Ia pun disalibkan untuk kita pada waktu Pontius Pilatus, Ia menderita, wafat dan dimakamkan, Pada hari yang ketiga, Ia bangkit menurut kitab suci, dan Ia naik ke surga disisi Bapa; Ia akan datang kembali dengan kemuliaan untuk mengadili orang yang hidup dan yang mati; yang kerajaan-Nya takkan berakhir.
Dan akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan, Ia berasal dari Sang Bapa, Yang serta Bapa dan Anak disembah dan dimuliakan, Ia bersabda perantaraan para nabi. Akan Gereja yang satu dan kudus, Katolik dan Apostolik. Kami mengakui satu baptisan akan penghapusan dosa. Kami menantikan kebangkitan orang mati dan hidup di akhirat. Amin.
Dari pengakuan iman ini muncul sejarah baru dimana gereja untuk pertama kali memiliki pengakuan iman yang diterima dari hasil sidang yang dilakukan. Pengakuan iman ini juga menjadi titik tolak baru dari gereja baralih dari masa gereja purba. Ada perbedaan antara pengakuan iman pra konsili dan pasca konsili. Pada Pra Konsili hanya Bapa saja yang dilihat sebagai Allah, akan tetapi setelah konsili Hubungan antara Bapa, Anak dan Roh Kudus dilihat Sehakikat ( homo- ousios ) sebagai Allah yang satu, tidak ada perbedaan dalam kedudukan mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah diantara ketiganya.
5. Perkembangan Trinitas Pada Masa Pasca Konsili
Pada Masa Pasca konsili gereja didorong untuk menyatakan pengakuan iman Konstantinopel bukan sebagai refleksi akhir dari Trinitas, tetapi mesti dijelaskan lebih dalam agar umat Kristen dapat memaknai kebutuhan dari pengakuan iman tersebut. Maka tokoh yang penting pada masa pasca – konsili adalah Santo Agustinus, sebab ia berhasil mengembangkan Trinitas Pasca-Konsili dalam pemaknaan iman Kristen.
Santo Agustinus memaknai Trinitas terdapat dalam karyanya The Trinity. Buku ini ditulis selama kurun waktu ( 399-419 M ) yang merupakan karya terbesar tentang trinitas yang pernah ditulis dalam gereja pasca- konsili. Dasar pemikiran Agustinus untuk menjelaskan Pengakuan Iman Kristen diawali dengan mengemukakan dua pertanyaan penting mengenai Trinitas. Pertama, Bagaimankah menjelaskan keesaan Allah dalam tiga pribadi sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus? Kedua, Bagaimankah memahami Trinitas yang bekerja terbagi sebagai Yang Mencipta, Yang Menyelamatkan dan Yang Memberkati?.
Terkait dengan hal ini Ada 3 hal penting yang dipakai Agustinus untuk menggambarkan Trinitas, yakni:
5.1 Kesatuan Allah
Kesatuan Allah bagi Agustinus adalah Mutlak, sekalipun kesatuan ini tidak berasal dari Satu Pribadi melainkan Tiga Pribadi. Agustinus mengakui bahwa Hal ini memang sulit untuk dipahami oleh sebab itu Ia menyatakan bahwa “Dan jika ini tidak dapat ditangkap oleh pemahaman, biarlah dipegang oleh iman”.[50]
Pandangan agutinus mengenai kesatuan Allah, melihat keberadaan bukan secara substantia, melainkan essensia seperti athanasius.
Bahasa Substansi bagi Agustinus menunjukan satu Yang Mutlak menguasai semua yang berada dibawah substansi tersebut, tetapi dalam Trinitas Yang Mutlak adalah Tiga bukan satu. Maka Bahasa essensia lebih tepat dipakai untuk menjelaskan Keesaan Allah adalah hasil dari kesatuan Tiga Pribadi, bukan otoritas satu pribadi.
Pada mulanya adalah Firman, Firman itu adalah Allah. Ungkapan ini menunjukan hakekat Bapa sebagai Allah. Firman itu kemudian menjadi manusia hakekat Yesus sebagai Allah, dan ketika Firman Itu berdiam bersama kita Ia menggambarkan Hakekat Roh Kudus sebagai Allah. Hal ini menunjukan bahwa ada tiga pribadi Allah, tetapi tiga pribadi tersebut bukanlah latardepan dari Allah melainkan latar belakang dari satu essensi sebagai latar depan dari ketiganya[53]. Maka tidak dapat dikatakan bahwa hanya Bapa saja, atau Putra saja, atau Roh Kudus saja yang menggambarkan Allah, tetapi Allah menjadi nampak dari kesatuan ketiganya.
5.2 Hakikat Allah
Agustinus menggunakan kata relasi dalam menggambarkan hakekat Allah dari masing-masing pribadi Relasi. Alasannya Relasi antara Bapa, Anak dan Roh Kudus yaitu ketiga yang disebut “pribadi’ tersebut bukan sesuatu yang berbeda dalam diri-Nya sendiri, melainkan hanya berbeda dalam relasi-Nya satu sama lain dan kepada dunia. Maka paham relasi mengacu baik kepada kehidupan batin Allah (Inter-trinitas, Antara Bapa, Putra dan Roh Kudus ).
Ketiga Person memiliki sifat-sifat yang agung yang melekat pada kesatuannya (essensi Primer) berbeda dalam Fungsionalitasnya (essensi sekunder). Allah Bapa, dalam arti primer menyatakan tentang Keesaan Allah dalam Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Tetapi dalam arti sekunder, Bapa dilihat dari sudut pandang penciptaan, sumber dari segala sesuatu yang diciptakan untuk kehidupan ciptaannya. Anak dalam arti sekunder dilihat dari sudat pandang penebusan, sebagai penyelamat yang membebaskan manusia dari dosa dan kesalahannya. Sementara Roh Kudus dalam arti sekunder dilihat sebagai Pemberi berkat menggambarkan puncak dari satu ekonmi keselamatan Allah[56]. Maka dalam arti sekunder, dapat dirasakan perbedaan antara ketiga Pribadi tetapi dalam arti primer Hakikat dari ketiganya adalah satu.
5.3 Karya Keselamatan Allah
Agustinus melihat Karya keselamatan adalah cara penting untuk memandang Trinitas, sebab ketiga person adalah Allah yang satu tampil berbeda untuk memenuhi keselamtannya.[57] Bagi Agustinus bukan trinitas yang menjelma menjadi Anak, menderita, mati, dibangkitan dan naik ke surga. Secara fungsional karya keselamatan ini hanya Putra saja. Selain itu bukan trinitas yang melingkupi para murid dalam pentakosta dan pemberitaannya melainkan hanya Roh Kudus saja. Maka bukan Trinitas yang tampil sebagai pencipta tetapi hanya Bapa saja. Tetapi dalam keselamatan Allah bukan salah satu dari ketiganya, melainkan ketiganya adalah Allah satu.
6. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, tersimpulkkan bahwa pembentukan dogma Trinitas bermaksud untuk mencoba menjelaskan bagaimana satu Allah yang kekal (di luar waktu) dapat menciptakan dan memelihara dunia (di dalam waktu) yang penuh kepelbagaian, serta mengilhami dan menyelamatkan manusia dengan cara terlibat dalam sejarah manusia, bahkan menuanginya (sekali lagi, terjadi di dalam waktu).
Dalam masa perkembangannya ditemukan ada perbedaan konsep dalam tujuan dan relasi antara satu masa dengan masa yang lainnya mengenai konsep Trinitas.
1. Pada masa awal Perkembangan Gereja, Tujuan Trinitas adalah Merumuskan Kepercayaan Kepada satu Allah (Monoteisme menjawab tantangan Yahudi) dalam Hakekat Bapa, Anak, dan Roh Kudus secara Rasional (Ajaran Gnostik Budaya Helenis). Sementara Relasi Trinitas bersifat Hierarkis dimana Bapa saja yang dilihat sebagai Allah Yang Mutlak dan Menguasi semua, sementara Anak dan Roh Kudus dilihat berada dibawah Bapa sebab diciptakan dan keluar dari yang diciptakan.
2. Pada masa Konsili Nicea (325) Tujuan Trinitas berkaitan merumuskan satu bentuk Pengakuan Iman dalam Kekristenan yang diterima oleh semua Pihak untuk mencengah perpecahan dalam gereja (berkaitan dengan politik kaisar dalam pemerintahannya ). Relasi Trinitas yang terbentuk dari hal ini adalah bersifat homo-ousios ( Sejajar )antara Bapa, Anak, sementara Roh Kudus masih dilihat sebagai yang keluar dari anak sebagai pribadi yang berada dibawah Bapa dan anak.
3. Pada Masa Konsili Konstantinopel (381) Tujuan Trinitas adalah Merumuskan Pengakuan Iman Yang diakui dan diterima dalam berbagai aliran kekristenan ( Menjawab Perlawanan Arianisme dan mencengah perpecahan mendalam Gereja Barat dan Timur ). Relasi Trinitas antara Bapa, Anak dan Roh Kudus. Sebagai satu Allah dalam hakekatnya (homo-ousios), akan tetapi menjadi pribadi yang berbeda dalam fungsinya ( hypotasis).
4. Pada Masa Pasca Konsili Tujuan adalah Memberikan kejelasan mengenai Konsep Trinitas agar dapat dipahami oleh Umat Kristen sebagai Pengakuan Iman akan Allah setelah pembentukannya dalam konsili. Relasi, ketiganya sederajat. Tidak ada satu pribadi yang mewakili pribadi-pribadi lainnya. Allah bukan hanya bapa, tanpa anak dan Putra. Ketiganya adalah satu bukan tiga sebab ketiganya bukan substansi melainkan essensi. Dalam essensi yang primer ketiganya adalah satu, akan tetapi secara sekunder ketiganya bukan satu, melainkan tiga dalam fungsi dan perannya.
Referensi Global :
[1] John Hick, God Has Many Names, ( Philadelphia : Westminster Press. 1982 ). 51
[2] Komaruddin Hidayat,dkk. Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995),37-38 ; Lihat Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen dan Islam selama 4000 tahun , (Bandung : Mizan, 2002), 27
[3] John Titaley, “Negara, Agama-Agama dan Hak Asasi Manusia: Mengkaji Ulang Eksklusivisme Agama”, Makalah Caringin, Bogor, Sidang Raya PGI, 30 Nopember-4 Desember 2004,14.
[4] Ibid 15
[5] Hans Kung dan karl- josef kuschel, Etik Global, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar 1999). 80
[6] John Hick, God Has Many Names...., 52
[7] John A. Titaley, “Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual : Dalam rangka Pidato Pengukuhan Jabatan Fungsional Akademik Guru Besar Ilmu Teolgi di Universitas Kristen Satya Wacana “, Salatiga, 29 Nop 2002, 28-29
[8] John Titaley, “Negara, Agama-Agama dan Hak Asasi Manusia: Mengkaji Ulang Eksklusivisme Agama”...., 15
[9] John Hick, God Has Many Names....,
[10] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan : Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, dan islam selama 4000 Tahun, (Bandung : Mizan Psutaka 2004). 44
[11] Ibid .126
[12] Ibid 127
[13] Kirchberger, George, Allah Menggungat sebuah dogmatika Kristiani, ( Maumere: LEDALERO, 2007 ) 165
[14] Edmund J Fortman, The Triune God, A Historical Study of the Doctrines of Trinity, ( Grand Rapids, Michigan : Baker Book House. 1982 ) 41
[15] Ibid 42
[16] Nico Syukur Dister, Teologi sistematika 1…., 129
[17] J. N. D. Kely, Early Christian Doctrines, ( London ; A& C Black, 5 th. Ed. 1989) 97
[18] Ibid . 98
[19] Ibid
[20] Edmund J Fortman, The Triune God, A Historical Study of the Doctrines of Trinity…., 45
[21] Kirchberger, George, Allah Menggungat sebuah dogmatika Kristiani ….,172
[22] Ibid . 173
[23] . E. I. Nuban Timo. Allah Menahan Diri Tapi Pantang Berdiam Diri ( KDT : 2012 ) Ibid. Hal 77
[24] Ibid. 78
[25] Ibid hal 79
[26] Louis Berkhof. The History of Christian Doctrines…., 90
[27] Ibid. 91
[28] Nico syukur Dister, Teologi sistematika 1…., 140 bnd Shedd, William G.T. A History of Christian Doctrine (Charles Scribner’s Sons, 1889; reprint Minneapolis, MN: Klock & Klock Christian Publishers, 1978), 306
[29] Shedd, William G.T. A History of Christian Doctrine...., 307
[30] Louis Berkhof. The History of Christian Doctrines…., 91
[31] Ibid. 92
[32] Shedd, William G.T. A History of Christian Doctrine...., 308
[33] Linwood Urban. Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen….,77
[34] Ibid. 78
[35] Lohse, Benhard, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen….,61
[36] Ibid. 62
[37] Niko Syukur Dister, Teologi sistematika 1…., 143
[38] Dr. C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi , ( Yogyakarta : Kanisius 1988 ) hal 131
[39] Ibid. 131
[40] Ibid. 132
[41] Ibid 133
[42] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen….,79
[43] Ibid 80
[44] Ibid. 81
[45] Ibid. 81
[46] Niko Syukur Dister, Teologi sistematika 1….,149
[47] Ibid. 153
[48] Ibid. 155
[49] Millard J. Erickson, God in Three Persons: A Contemporary Interpretation of the Trinity (Grand Rapids: Baker Books,1995), 131.
[50] Ibid. 133
[51] Ibid. 156
[52] Louis Berkhouf , The History of Christian Doctrines....,94
[53] Millard J. Erickson, God in Three Persons: A Contemporary Interpretation of the Trinity....,135
[54] Berkhof, Louis. The History of Christian Doctrines...., 92
[55] Edmund J. Fortman, The Trunie God, A Histroical study of the Doctrines of Trinity….,139
[56] Seeberg, Reinhold, History of Doctrines, Trans. Charles E. Hay (Grand Rapids, MI: Baker Book House, 1977). 120.
[57] Berkhof, Louis. The History of Christian Doctrines....,95
[58] Seeberg, Reinhold, History of Doctrines ....,121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar