'Trinitas' Teory Penghujatan Kepada Roh Kudus - Yesus Allah Sejati

Yesus Allah Sejati

Yesus Allah Pencipta Langit Bumi

Artikel Terbaru

Home Top Ad

Post Top Ad

Jumat, 19 Januari 2018

'Trinitas' Teory Penghujatan Kepada Roh Kudus

'Trinitas' Teory Penghujatan Kepada Roh Kudus


Dalam iman kristen tradisi menyatakan pengakuakn kalau Allah menyatakan diri-Nya sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Penyataan diri Allah sebagai Bapa-Anak-Roh kudus ini dalam pengakuan Iman Kristen tradisi disebut Allah Trinitas. Istilah “trinitas” sendiri tidak pernah dinyatakan didalam ayat-ayat Alkitab, artinya tidak ada dasar Alkitabnya. Maka kalau suatu doktrin keimanan kristen tradisi tersebut tidak ada dasar ayat Alkitabnya, maka doktrin tersebut sudah jelas adalah suatu teory hasil olah pemikiran manusia yang berkhayal dalam mencoba menyimpulkan soal siapa pribadi Allah yang disembah dalam iman krisdten. Padahal Yesus sudah berkata untuk membatasi kelancangan manusia berteory tentang diri-Nya dengan berkata'tidak seorangpun manusia akan pernah mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak':
Kitab Matius11
11:27 Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.
Penggagas pertama istilah “trinitas” adalah manusia biasa. Ada dua pendapat soal pemuncul teory trinitas ini, yaitu: Pertama adalah Theophilus dari Antiokhia (115-181), Kedua adalah Tertullianus (160-220) di Kartago (sekarang: Tunisia). Kata“trinitas” berasal dari bentukan kata dalam bahasa Inggris, yaitu triunity (harafiah: tiga dalam kesatuan). Kata triunity tersebut berasal dari bahasa Latin, yaitu Trinitas (berasal dari “triad” yang artinya: tiga). Istilah-istilah tersebut dalam rumusan teory trinitas buatan manusia tersebut, katanya mengandung makna bahwa Allah dalam keesaan-Nya adalah Allah yang memiliki tiga diri (pribadi) sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus.

Aliran teologi “unitarianisme” oleh Tertullianus disebut dengan “monarkhianisme” (Erickson 1991, 48). Prinsip pemikiran unitarianisme atau monarkhianisme adalah menolak ke-Tuhan-an Yesus, sebab Allah pada hakikatnya adalah esa, sehingga kedudukan Yesus berada di bawah Allah (Erickson 1991, 48-49). Tokoh pertama yang menekankan makna keesaan Allah secara bilangan (absolut) adalah Adamatinus Origenes (hidup 185-255). Sebab Origenes sangat menekankan pada keesaan Allah, karena itu satu-satunya Allah adalah Allah Bapa (Seerberg 1958, 148-150). Dengan kata lain Allah Bapa yang esa itu menjadi sebab segala sesuatu yang berada. Ia adalah Allah yang ada pada diri-Nya sendiri dan tidak dilahirkan.

Konsekuensi logisnya adalah Origenes menempatkan Logos yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus memiliki pangkat yang lebih rendah daripada Allah Bapa. Sebab Logos (Anak) dipakai oleh Allah sebagai perantara untuk berhubungan dengan dunia benda. Kedudukan Logos (Anak) dalam teologi Origenes adalah gambaran Allah yang sempurna. Sejak kekal Ia dilahirkan dari Allah. Walaupun demikian Logos (Anak) tidak mempunyai awal yang temporal. Maksudnya eksistensi Logos (Anak) adalah non est quando Filius non Filius fuit (“tidak ada saat di mana Anak itu tidak ada”). Ia memiliki tabiat yang sama dengan Allah, oleh karena itu dapat dikatakan Ia satu dengan Allah, tetapi karena Ia keluar dari Allah Bapa, maka Ia lebih rendah dari Allah Bapa.

Jadi dalam pemikiran Origenes, Yesus selaku Firman adalah Theos Deuteros (Allah berderajat/berpangkat dua). Demikian pula dengan Roh Kudus, dipandang sebagai zat yang ada pada Allah atau Roh Kudus merupakan pangkat ketiga dalam zat Allah. Roh Kudus ada karena Sang Logos (Anak). Lingkup kerja Roh Kudus lebih sempit dibandingkan dengan lingkup kerja dari Logos (Anak). Jadi pemahaman teologis Origenes tentang ketritunggalan Allah merupakan konsepsi yang sifatnya bertingkat. Jadi Origenes menempatkan kedudukan Allah sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus secara berpangkat-pangkat. Ia mengakui perbedaan antara Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus; tetapi meniadakan kesatuan di antara ketiga-Nya.

Tokoh kedua yang memahami makna keesaan Allah secara nominal adalah Arius (250-336), Penatua dari Alesandria. Arius dapat disebut sebagai seorang yang mendefinisikan ulang pemikiran Origenes. Ia mempertahankan transendensi Allah dan hanya mengakui Allah Bapa sebagai satu-satunya Allah yang esa. Arius menyatakan: “He is the One and only, single and incomparable” (Erickson 1991, 50). Perbedaan dengan Origenes adalah jika Origenes memahami kedudukan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus secara subordinasianisme (berpangkat-pangkat), tetapi Arius menolaknya. Jadi Arius berpandangan karena Allah itu satu-satunya yang tak dilahirkan, yaitu Ia tidak diciptakan; maka eksistensi Anak pasti diciptakan, karena itu Anak adalah ciptaan.

Perbedaan kedua, jika Origenes mengatakan bahwa Anak itu dilahirkan sejak kekal, maka Arius menegaskan bahwa yang kekal itu hanya Allah. Jadi Arius menyatakan bahwa Anak tidak dilahirkan sejak kekal. Anak mempunyai awal, walaupun Ia telah hadir sebelum dunia diciptakan. Di sini Arius mengakui Anak sebagai pencipta waktu, namun Dia pernah tidak ada. Artinya dari segi kekekalan ilahi, Sang Anak pernah tidak ada. Perhatikan perbedaan dengan Origenes yang menyatakan bahwa Anak pada hakikatnya “tidak ada saat di mana Anak itu tidak ada,” sebaliknya Arius menegaskan bahwa “ada saat di mana Anak tidak ada” (there was a time when the Son was not) (Erickson 1991, 55).

Dengan demikian, Arius mengajarkan bahwa Anak tidak mempunyai kesatuan dengan Allah Bapa (Erickson 1991, 51). Sebab Anak hakikatnya ciptaan, sehingga substansi-Nya tidak sama dengan substansi Allah. Perbedaan Yesus sebagai “Ciptaan” dengan “ciptaan pada umumnya” adalah Yesus dibuat langsung oleh Allah, sedangkan seluruh ciptaan yang lain diciptakan secara tidak langsung oleh Allah (Erickson 1991, 51). Di sini Arius menentang pandangan Origenes yang mengajarkan bahwa Firman dan Hikmat yang adalah Anak sama dengan Firman atau Hikmat yang ada pada diri Allah. Lebih jauh lagi, Arius menegaskan yaitu karena Allah adalah satu-satunya yang mutlak dan kekal, dan Anak hanya sebagai ciptaan, maka Anak itu mau tak mau harus tunduk pada perubahan dan dosa.

Dari pandangan Arius ini kita dapat melihat bahwa Arius secara konsisten menegaskan keesaan Allah, yaitu keesaan Allah secara bilangan. Bandingkan pula dalam lingkungan umat Muslim menyebut keesaan Allah secara bilangan dengan istilah tauhid. Ajaran Arius pada hakikatnya menolak ajaran Trinitas yang memahami Allah yang esa dengan tiga pribadi-Nya. Reaksi penolakan atas ajaran Arius tentu sangat hebat, sehingga kaisar Konstantinus campur-tangan dan menyelenggarakan sidang sinode di Nicea tahun 325 untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Tokoh ketiga yang menolak pengajaran Trinitas (Allah yang esa dalam tiga pribadi-Nya) adalah Sabellius yang hidup sekitar abad III (Erickson 1991, 54). Ia sebenarnya seorang Libya walaupun beberapa orang menganggap Sabellius sebagai orang Roma. Pemikiran Sabellius pada prinsipnya mempertahankan keesaan Allah. Dalam konsep Sabellius, Allah memiliki satu hypostasis namun memiliki 3 Nama. Jadi Allah yang esa dalam penyataanNya itu menampakkan diri secara modalitas atau tiga bentuk penampakan diri. Dalam Perjanjian Lama, Allah menampakkan diri sebagai Bapa yang bertindak sebagai Sang Pencipta dan pemberi hukum. Kemudian, Allah yang esa dan sama itu menyatakan diri-Nya dalam diri Sang Anak, yaitu sebagai Juru-selamat untuk menebus dosa umat manusia. Akhirnya Allah yang esa dan sama itu setelah kematian dan kebangkitan Yesus pada hari Pentakosta menyatakan diri-Nya sebagai Roh Kudus.

Dengan pola pemikiran modalisme tersebut, Sabellius memang berhasil mempertahankan keesaan Allah tetapi pada sisi lain mengorbankan segi pluralitas Allah (Turner 1977, 220). Konsep “tritunggal” menurut Sabellius sebenarnya tidak lebih sebagai proses urut-urutan cara penampakan Allah yang esa dalam berbagai momen sejarah. Karena itu pengajaran unitarisme atau monarkhianisme disebut dengan modalistik-monarkhianisme (Allah yang esa menampakkan diri-Nya dalam tiga rupa atau wujud) (Erickson 1991, 49).

Kesimpulan yang dapat ditarik dalam ajaran/pengertian yang menolak Trinitas, yaitu ajaran Unitarianisme (Monarkhianisme) adalah:
  1. Allah dipandang sebagai satu person/ satu pribadi saja, dan karena itu pemahaman yang menolak ketritunggalan Allah sering pula disebut dengan ajaran tentang “unipersonalitas” Allah (unipersonality of God).
  2. Karena eksistensi Allah dipandang dalam satu pribadi saja yang Ilahi dan transenden, maka ajaran yang menolak Trinitas pada hakikatnya menyangkal ketuhanan Yesus dan Roh Kudus.
  3. Apabila Yesus selaku Anak dan Roh Kudus dalam ajaran ini diakui “ketuhanan-Nya” tapi hanya sebatas dalam pengertian “ketuhanan” yang lebih rendah (subordinasianisme) sebagaimana yang diajarkan oleh Origenes. Yesus selaku Logos adalah pangkat kedua, sedang Roh Kudus lebih rendah lagi yaitu pangkat ketiga dari Allah Bapa.
  4. Dalam pandangan Arius, Yesus dan Roh Kudus ditolak kesamaan substansinya dengan Allah. Sebab dalam pandangan Arius, Yesus selaku Anak memang diakui sebagai pencipta waktu tetapi pada hakikatnya Yesus hanya berkedudukan sebagai ciptaan dan Ia berawal, bukan kekal. Karena Yesus hanya ciptaan, maka dalam pandangan Arius Yesus selaku Logos/Anak harus tunduk pada perubahan dan dosa. Dalam pandangan Arius, Yesus yang adalah Logos ketika menjadi Ia manusia tidak terbebas dari dosa.
  5. Dalam pandangan Sabellius, keunikan pribadi Yesus dan Roh Kudus tidak diberi tempat sama sekali. Yesus dan Roh Kudus diangap hanya sebagai salah satu bentuk modalitas (penampakan) Allah dalam karya-Nya. Eksistensi Allah yang menyatakan diri-Nya sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus dipahami hanya sekedar nama-nama diri dari satu Allah yang esa itu.
Ciri khas dan identitas iman kristen tradisi saat ini bukanlah soal Allah yang esa Absolut. Rumusan trinitas hasil teory manusia tersebut adalah menyatakan, bahwa: “Allah yang esa" di dalam Bapa-Anak-Roh Kudus.” Karena itu rumusan iman kristen tradisi soal“Allah Trinitas” disimpulkan bahwa itu adalah ungkapan pernyataan iman yang dinyatakan dalam seluruh aspek kehidupan spiritualitas umat kristen tradisi. Sebagai landasan umat kristen tradisi dalam berdoa, dibaptis, mengaku percaya (sidi), saat menikah, saat diteguhkan menjadi pejabat gerejawi, atau saat ditahbis menjadi pendeta. Dalam hal iman kristen tradisi ini, makna “keesaan Allah” tidak lagi dipahami sebagai sebuah keesaan yang absolut, namun keesaan yang dibiaskan menjadi Allah trinitas yang bersifat relasional atau majemuk. Sebab dalam rumusan teory'Allah Trinitas', mereka mendasarkannya karena ada posisi Allah kristen sebagai “Bapa-Anak-Roh Kudus”.

Ajaran tentang'Allah Trinitaris' telah dirumuskan dalam konsili gerejawi di Nicea (325 M) dan Konstantinopel (381 M). Keputusan gerejawi tersebut tercermin dalam Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, dan Athanasius. Gema dan pengaruh konsili Nicea-Chalcedon tersebut menguat kembali pada permulaan abad XX. Pada permulaan abad XX muncul kembali kebangunan doktrin Trinitas, dan ledakan penyelidikan teologi khususnya dalam relasi di antara agama-agama (Karkkainen 2013, 1). Kebangunan doktrin Trinitas pada awal abad XX dipelopori oleh Karl Barth (1886-1968), seorang teolog dari gereja Reformatoris di Swiss. Doktrin Allah yang Trinitaris tersebut ditempatkan dalam isu-isu kontemporer (masa kini), yaitu: keselamatan, komunitas, ciptaan dan eskatologi, khususnya tantangan pluralisme agama. Pembahasan Allah yang Trinitaris merupakan pokok iman Kristen yang aktual/relevan dengan kehidupan umat secara internal maupun dalam relasinya dengan sesama di sekitarnya. Ajaran'Allah Trinitas' mencoba membuat teory pemahaman soal 'keesaan Allah secara relasional' sehingga berujung pada kesimpulan  bahwa dimensi trinitas menjabarkan soal kemajemukan pribadi didalam pribadi Allah.

Entah apa yang mendasari bapa-bapa gereja merasa perlunya pembuatan teory keesaan'Allah' secara relasional'. Dan entah apa itu kegunaan teory trinitas relasional bagi pribadi Allah yang esa. Sehingga kemudian perlu dipertanyakan, memangnya siapakah bapa-bapa gereja itu sehingga hasil teory buatan mereka soal trinitas wajib adalah kebenaran mutlak yang harus dipatuhi semua manusia yang beriman kepada Tuhan?. Apakah bapa-bapa gereja itu adalah manusia suci tanpa dosa sehingga teory trinitas buatan mereka wajib adalah kebenaran mutlak yang selaras dengan diri Tuhan? Apakah bapa-bapa gereja dahulu itu adalah para pengajar yang sudah pasti semuanya memiliki kedekatan khusus kepada Tuhan dibanding umat kristen sekarang?. Apakah bapa-bapa gereja itu sedang berteory soal pribadi Tuhan atau memang Tuhan sendiri yang menyatakan diri-Nya kepada bapa-bapa gereja tersebut kalau pribadi-Nya adalah 'Allah relasional?.

Dalam fakta ayat Alkitab, sebagaimana saya singgung diatas tadi, sama sekali tidak ada dasar Alkitab yang membenarkan teory trinitas relasional. Bahkan Alkitab menentang keras teory trinitas tersebut. Yang ada sebagai sandaran mereka bapa-bapa gereja pembuat teory trinitas relasional adalah bahwa mereka sedang berkesimpulan soal pribadi Tuhan sesudah membaca-baca ayat Alkitab.

Bahkan yang lebih aneh, suatu kata ucapan Yesus yang sudah jelas berbunyi'Aku Dan Bapa Adalah Satu' masih akan diteorykan oleh mereka bapa-bapa gereja penggagas teory triniitas tersebut dengan membuat penafsiran-penafsiran yang artinya menjadi artinya'Kesatuan'. Kata'Satu' dengan kata'Kesatuan' jelas adalah dua kata yang sangat berbeda maknanya. Tetapi bapa-bapa gereja yang berteory trinitas tersebut malah tanpa merasa bersalah menyamakan artinya demi tujuan pembenaran teory trinitas buatan mereka. Kalau teory trinitas berdasarkan sejarah sudah jelas-jelas adalah merupakan hasil gagasan dan olah pikiran manusia semata dan memang tidak ada dasar ayat kitabnya, lalu mengapa manusia justru harus lancang menambah-nambahi keterangan soal diri Tuhan?
Kitab Ulangan 4
4:1. "Maka sekarang, hai orang Israel, dengarlah ketetapan dan peraturan yang kuajarkan kepadamu untuk dilakukan, supaya kamu hidup dan memasuki serta menduduki negeri yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allah nenek moyangmu.
4:2 Janganlah kamu menambahi apa yang kuperintahkan kepadamu dan janganlah kamu menguranginya, dengan demikian kamu berpegang pada perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan kepadamu.

Kitab Ulangan 29
29:29 Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini."
Kata'Satu' didalam kalimat pernyataan Yesus yang berbunyi'Aku Dan Bapa adalah Satu(Yoh 10:30)' sudah dengan tegas menyatakan adalah soal satu pribadi-Nya. Penjelasan satu pribadi ini bukanlah soal kesimpulan dalam jumlah atau soal bilangan jumlah Allah. Melainkan ucapan Yesus itu adalah satu bentuk penyingkapan surgawi yang menyatakan bahwa Ia adalah satu pribadi yang sama atau tidak berbeda dengan apa yang umum diakaui umat Yahudi sebagai Bapa yang kekal. Yesus menyatakan penegasan soal jati diri-Nya itu karena Bapa adalah jabatan atau soal posisi Yesus layaknya sebagai ayah pengayom bagi semua makhluk ciptaa-Nya. 'Bapa' itu bukan suatu sosok Allah tersendiri diluar diri Yesus. Dia adalah Bapa itu sendiri. Dalam ungkapan-Nya yang berbunyi'Aku Dan Bapa Adalah Satu' adalah suatu pernyataan diri-Nya yang adalah satu pribadi yang sama dengN Bapa itu sendiri(Yoh:14: 9).

Jikalau bersandar pada pengajaran teory trinitas relasiional, maka kalimat ucapan Yesus yang lain yang berbunyi'Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa', jelas tidak boleh diucapkan oleh Yesus jikalau ternyata Dia bukanlah Bapa itu sendiri. Karena ucapan Yesus yang demikian sudah pasti adalah kebohongan dalam standart ajaran teory trinitas relasional. Sebab menurut teory trinitas relasional'Yesus bukanlah Bapa' itu sendiri.

Kalimat ucapan Yesus'Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa' tentu berkaitan erat dengan pernyatan-Nya yang lain yang berkata'Allah itu Roh', Allah itu Sang hidup' Allah itu sumber hidup.(Yoh 4:24). Memangnya ada berapa Roh, ada berapa sumber hidup?. Dan pernyataan-Nya yang berbunyi'Aku dan Bapa adalah satu' itu juga berkaitan erat dengan ucapan-Nya yang berkata'Akulah yang tetap sama'(Yes 48:12) dan juga berkaitan dengan ucapan-Nya yang berkata'Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain!"(Yes 48:11).

Tetapi aneh bin ajaibnya mereka yang disebut sebagai bapa-bapa gereja itu justru membangun teory trinitas berdasarkan kesimpulan oleh pemikirannya sendiri sesudah membaca-baca ayat Alkitab yang menurut penulis, sangat tidak difahami maksudnya oleh bapa-bapa gereja tersebut.

Dilain sisi umat, kristen yang membangun imannya berdasar tradisi teory trinitas pada dasarnya juga mengakui secara pasti, bahwa trinitas atau tritunggal adalah suatu doktrin kekristenan yang sulit untuk dimengerti. Bahkan pengakuan yang yang paling fatal dari banyaknya argument pembenaran teory trinitas itu adalah, bahwa teory trinitas memang bukan untuk dimengerti manusia. Bukankah pemikiran seperti ini adalah sebuah pemikiran yang sangat aneh dalam melakukan pembenaran-pembenaran sesuatu yang justru tidak difahaminya?

Kelompok iman kristen tradisi sendiri tidak memahami dengan jelas apa dan seperti apa itu teory trinitas. Karena berdasar pengakuan kebanyakan kristen tradisi, trinitas adalah suatu cara pengenalan akan pribadi Tuhan yang katanya menyatakan diri dalam'Bapa' dalam 'Anak' dan dalam'Roh Kudus'. Namun kriten iman tradisi demikian sama sekali tidak tahu, bahwa teory trinitas ini banyak macam dan ragamnya. Apa yang difahami umat kristen tradisi yang berkata'Tuhan yang katanya menyatakan diri dalam'Bapa' dalam 'Anak' dan dalam'Roh Kudus', sama sekali bukanlah teory trinitas. Karerna pemahaman teory trinitas sama sekali jutru menolak kalau Tuhan menyatakan diri didalam anak dan didalam roh kudus. Kalau Tuhan menyatakan diri-Nya didalam anak dan didalam roh kudus maka itu artinnya Yesus adalah Bapa itu sendiri dan Roh kudus adalah Bapa itu sendiri. Dan iman demikian bukanlah teory trinitas. Teory trinitas justru membuat pembedaan antara Bapa yang diposisikan bukanlah Yesus itu sendiri dan bukan pula Roh kudus itu sendiri. Sehingga kesatuan yang sering diimani umat kristen sama sekali bukanlah teory trinitas.

Penulis juga dahulunya hidup dalam iman yang percaya soal teory trinitas atau tritunggal. Kehidupan iman kekristenan demikian sama sekali tidak membuat ujung pangkal tritunggal menjadi jelas. Banyak umat kristen tradisi yang membangun imannya diatas doktrin trinitas dan melakukan pembenaran seolah-olah ia sudah sangat kenal dengan Tuhan yang katanya dipertuhankannya didalam teori trinitas tersebut.

Hal itu sudah pernah penulis uji dalam sebuah kasus tanya jawab  kepada orang-orang kristen tradisi dengan bertanya kepada mereka, apakah mereka beriman kalau Yesus adalah Tuhan?. Kelompok kristen iman tradisi menjawab dengan sigap menjawab kalau Yesus adalah Tuhan menurut pengakuan bibirnya. Tetapi saat penulis menuliskan ayat Alkitab dibawah ini, lalu kemudian penulis bertanya, apakah ayat Alkitab didalam'Kitab Bilangan 18' ini adalah Firamn Yesus atau bukan?. Sebab jelas didalam ayat Alkitab tertulis kalimat'Tuhan berfirman'.
Kitab Bilangan 18
18:1. TUHAN berfirman kepada Harun: "Engkau ini dan anak-anakmu beserta seluruh sukumu haruslah menanggung akibat setiap kesalahan terhadap tempat kudus; sedang hanya engkau beserta anak-anakmulah yang harus menanggung akibat setiap kesalahan yang dilakukan dalam jabatanmu sebagai imam.
18:8. Lagi berfirmanlah TUHAN kepada Harun: "Sesungguhnya Aku ini telah menyerahkan kepadamu pemeliharaan persembahan-persembahan khusus yang kepada-Ku; semua persembahan kudus orang Israel Kuberikan kepadamu dan kepada anak-anakmu sebagai bagianmu; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya.
18:20. TUHAN berfirman kepada Harun: "Di negeri mereka engkau tidak akan mendapat milik pusaka dan tidak akan beroleh bagian di tengah-tengah mereka; Akulah bagianmu dan milik pusakamu di tengah-tengah orang Israel.
Ketika kristen iman tradisi mendapat pertanyaan dari penulis sedemikian, maka mendadak kristen iman tradisi tersebut jadi tidak tahu apakah yang tertulis didalam'Kitab Bilangan 18' adalah firman Tuhan Yesus atau bukan. Ada yang menjawab kalau itu adalah Firman Tuhan tetapi bukan firman Yesus. Sehingga jawaban kristen iman tradisi yang demikian akan memposisikan bahwa Tuhan didalam Alkitab itu ada beberapa oknum. Padahal disatu sisi bibir kristen iman tradsisi mengaku kalau Yesus adalah Tuhan. Namun malah mengatakan pula kalau Firman yang terdapat didalam'Kitab Bilangan 18' bukanlah Firman Yesus. Bukankah ini menjadi bukti ambivalennya iman kristen tradisi?

Sehingga iman plintat-plintut demikian membuktikan ketiadaan akar iman para kristen tradisi dalam pengakuannya yang bertuhan kepada Yesus. Bahkan perbuatan iman kristen tradidi yang demikian malah mengarah kepada penghujatan kepada Yesus. Padahal didalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Post Bottom Ad